Jumat, 28 November 2008

Ungkal Biang: Memoar Eksistensi Seni Tradisi

Ungkal Biang: Memoar Eksistensi Seni Tradisi


Agni Malagina

Sebuah prosesi unik bernama Ungkal Biang telah dilaksanakan di sebuah tempat yang dikelilingi 78 titik situs bersejarah berupa menhir, dolmen, punden berundak, batu tapak, batu dakon, batu kursi, sumber mata air suci, Sindangabarang Bogor. Sebuah tempat yang dihembusi titik air dari Gunung Salak itu, Minggu, 16 November 2008, ungkal biang (batu induk) berupa batu tugu ciri penanda berdirinya sebuah kampung adat ditegakkan.

Sejarah ungkal biang konon sudah ada sejak jaman kerajaan Pajajaran (923 – 1579). Pada saat Sri Baduga Maharaja (1482-1521) memimpin, ia menancapkan ungkal biang disamping prasasti Batu Tulis – Bogor sebagai penanda masa kepemimpinannya. Beberapa kampung adat sunda pun memiliki ungkal biang sebagai penanda keberadaan kampung tersebut, seperti kampung Tegal Umbu di Banten Selatan misalnya. Pupuhu (ketua adat) kampung budaya Sindangabarang – Ahmad Mikami Sumawijaya – pun menegaskan bahwa ungkal biang ini juga merupakan lambang persatuan lembur (desa) Sindangbarang.

Memilih batu tugu merupakan salah satu hal yang cukup sulit. Pupuhu yang akrab dipanggil Rama Maki pun dibantu oleh budayawan Sunda – Anis Djatisunda – dalam menentukan batu tugu. Ungkal biang pun diperoleh tak jauh dari titik Taman Sri Bagenda dan Sumur Jalatunda yang sudah diresmikan menjadi situs purbakala oleh dinas pariwisata kabupaten Bogor. “Ungkal biang diangkat dari pinggir sungai oleh 30 orang,”ujar Abah Encem, sesepuh adat Sindangbarang. Prosesi dimulai dengan acara menegakkan ungkal biang. Susah payah para kokolot mendirikan batu dengan menggunakan tuas dan tambang, tiada teknologi modern ikut serta dalam pengangkatan batu tersebut. Batu tugu pun segera berdiri dengan kokohnya sembari disirami air kembang 7 mata air yang dianggap keramat bagi warga Sindangbarang sebagai simbol penghilangan energi buruk yang ada dalam batu tersebut. Prosesi di sekitar ungkal biang ditutup dengan melontar ayam jago putih ke udara. Upacara pagi hari itu pun diakhiri dengan upacara murag tumpeng atau makan tumpeng bersama.
“Tadi pada saat prosesi ada elang melintas kan?” tanya Pupuhu. Saya spotan mengiyakan. ”Itu leluhur yang ikut menghadiri upacara,”sahut Rama Maki dan menambahkan bahwa upacara menegakkan batu tugu bukanlah bentuk penyembahan terhadap batu,”ungkal biang ini hanya memoar untuk anak-cucu, bahwa di sini berdiri kampung budaya Sindangbarang.”

Pada saat yang bersamaan, semua yang hadir dalam upacara yang hanya sekali dilaksanakan oleh sebuah kampung adat itu pun dihibur oleh pelbagai kesenian Sunda, hasil kreativitas dan kontemplasi para seniman Kampung Budaya Sindangbarang yang tergabung dalam Padepokan Giri Sunda Pura. Jaipong, reog, dan angklung gubrak (dipalajari dari seniman di daerah Cipining) pun menjadi andalan kesenian kampung budaya yang baru mengalami proses revitalisasi pada tahun 2007. Rampak pencak dan parebut seeng yang memiliki dasar seni beladiri Cimande juga turut dikembangkan menjadi seni pertunjukan. Di kampung yang juga memiliki ratusan pengrajin sepatu inilah, seni tradisi Sunda dikembangkan. Sebuah usaha untuk membentuk ketahanan budaya dengan proses modifikasi sebagai penyesuaian terhadap tuntutan masyarakat yang dekat dengan paradigma globalisasi. Komodifikasi seni tradisi pun menjadi salah satu alternatif untuk menggenjot gairah berkesenian. Sembari tetap berharap, seni tradisi tetap eksis bersama berdirinya sebuah replika kampung adat. Kreativitas atau revitalisasi berkesenian bukan untuk menghilangkan budaya tradisi, namun membuatnya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang dekat berbaur dengan kekinian.

Dikungkung sang Kumbang: seni tradisi menuju mati

Dikungkung sang Kumbang: seni tradisi perlahan menuju mati

agni malagina


Sebuah fenomena budaya yang mengharu biru terjadi di sebuah desa kecil di tapal batas Kabupaten Brebes. Sindangheula dan Salem, Kecamatan Banjarharja, dua daerah di kaki gunung Kumbang dan gunung Sagara (terkenal dengan nama gunung Gora). Dua daerah yang memiliki masayarakat adat bernafaskan tradisi Sunda di Jawa Tengah. Pada jaman kerajaan Sunda, daerah ini merupakan daerah batas terjauh kerajaan Sunda (Pajajaran) pada masanya sekitar abad 15 – 16 Masehi, dengan Sungai Cipamali sebagai batas penegasnya. Bahkan nama gunung Kumbang pun masuk dalam catatan legendaris dari sebuah perjalanan seorang Bujangga Manik.[1]

Eksotika alam pegunungan daerah Sindangheula dan Salem mampu membuat masyarakat Sunda yang berada di Jawa Tengah ini bartahan dalam sejarah. Keberadaan Sindangheula dimulai dari legenda, terus berpacu dengan jaman bertahan dalam ikatan tradisi kampung adat Sunda. Sempat luluh lantak saat diserbu DI/TII pada tahun 1950, tidak melunturkan keberadaan kampung adat ini. Terlebih hembusan anginnya yang dikenal dengan angin kumbang merupakan kekuatan alam yang mampu menghalau hama bawang merah sehingga pertanian bawang merah di sekitar gunung kumbang ini bebas pestisida. Daerah lingkung gunung ini terasa sangat terpencil bahkan sinyal operator telepon selular manapun tiada mampu menembus bebayang sang Kumbang. Mungkin hanya Satphone yang mampu berjaya di daerah ini.

Jauhnya jarak ketiga kecamatan ini dari akses jalur pantura (pantai utara) membuat orang-orang Priangan (Jawa Barat bagian Barat) sering menyebut mereka yang kebanyakan giat bertani bawang ini sebagai golongan ‘Sunda Mualaf’[2], orang sunda yang tinggal di Jawa Tengah. Asimilasi kadang dapat merubah sebuah komunitas yang berada di daerah dengan kebudayaan yang berbeda. Namun lain dengan yang terjadi di Kecamatan Salem, Banjarharja, dan Bantarkawung, tiga wilayah berpenduduk Sunda di antara 18 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Brebes. Beranak pinak di wilayah geografi Jawa Tengah selama ratusan tahun, tetap membuat masyarakat Sindangheula dan Salem masih memegang erat seni dan tradisi Sunda walaupun sinarnya perlahan mulai tertelan gemerlap globalisasi. Musik pop mulai menggeser tradisi membaca pantun dan wawacan[3]. Sinetron khas metropolitan perlahan menggantikan teater tradisi, organ tunggal pun ikut menggusur kecapi suling. Kesenian dan tradisi yang masih bertahan hanya tinggal beberapa saja seperti upacara khas sunatan, tradisi menghitung hari baik, tradisi mengubah nama untuk laki-laki yang menikah, penggunaan bahasa Sunda yang tidak mengenal ‘undak usuk basa’[4] dan pembuatan batik tulis.

Seni tradisi di Sindangheula sampai saat ini masih hidup di beberapa titik. Pantun gunung Kumbang pun masih memiliki penerus walaupun tak lagi belia. Biasanya seorang juru pantun adalah orang tua buta yang memiliki kemampuan membawakan isi naskah pantun Sunda tanpa membaca naskah, dibawakan semalam suntuk dengan upacara ritual Sunda yang sudah dipengaruhi gaya Islam. Mencari penerusnya sangat sulit, karena ilmu membaca pantun sambil memetik kecapi ini hanya bisa diturunkan kepada orang yang bersedia untuk menjadi buta. Entah mengapa menjadi buta, sampai saat ini misteri itu belum pernah terkuak. Tradisi menghitung hari baik di Sindangheula masih berlaku di kalangan sesepuh adat. Sistem penghitungan hari baik ini sama seperti masyarakat Baduy, dihitung berdasarkan rumus paten yang sudah berusia ratusan tahun. Salah satu yang menarik adalah tradisi penggantian nama seorang laki-laki yang menikah. Jika seorang laki-laki Sindangheula menikah, maka dia sudah dianggap dewasa, dan nama kecil pun harus diganti berdasarkan perhitungan hari baik. Tradisi ini masih berlaku sampai sekarang walau terkadang sering menimbulkan masalah ketika berhubungan dengan tertib administrasi pemerintahan. Masih banyak warga yang menjalankan tradisi ganti nama ini. Ada pula yang tidak lagi menjalankan tradisi karena menganggap seni tradisi Sunda tidak sesuai dengan Islam. Sampai pada titik ini sesepuh adat mampu bersikap demokratis kepada warganya dalam memilih adat dan agama.

Batik Salem, mungkin sebuah merek yang jarang didengar oleh masyarakat luas dibandingkan nama batik Lasem, batik cirebon, batik Jogja, batik Solo dan batik Pekalongan. Tradisi membuat batik Salem diklaim sebagai batik khas tradisi Sunda oleh warga Salem. Tradisi batik tulis sampai saat ini masih tetap berlangsung dengan kepanikannya menuju kepunahan. Pada tahun 1940-an, batik Sunda di Brebes ini memiliki pasarnya sendiri. Pada waktu itu daerah pembuatan batik tulis ini masih cukup luas, bahkan sampai mendekati daerah Ketanggungan dekat pesisir pantura dengan motif yang halus. Sekarang batik Sunda Salem hanya ada di Salem dengan kesendiriannya. Karakter batik Salem sangat unik, dasarnya terdiri dari warna tanah dengan motif flora fauna berwarna gelap, berbeda dengan batik Cirebon dan Lasem yang cerah cerita terpengaruh motif dari Cina dan India. Sangat disayangkan bahwa batik Salem ini jarang dikenal orang. Bahkan perlahan, pengrajin batik tulis ini pun berkurang. Seni membatik khas Sunda pun seakan bernasib sama dengan kesenian tradisi yang pamornya mulai surut. Tampaknya pembangunan berbasis teknologi dan era informasi global mampu mengubah cara pandang masyarakat di beberapa kampung adat, di antaranya adalah kedua basis masyarakat adat Sunda di Brebes ini, pada masa kini seni tradisi mulai tidak diperhatikan masyarakatnya, dan pelan-pelan menuju mati.



[1] Lihat J. Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV.
[2] Istilah ini saya dapatkan dari Kang Hermawan Aksan
[3] Wawacan adalah tulisan berbentuk pupuh (aturan teks nyanyian) Sunda, dengan isi cerita bersifat dongeng, legenda, mitos, sejarah, dsb. Wawacan terkumpul dalam bentuk buku yang pada masa dahulu ditulis dengan tulisan tangan. Hurufnya ada yang menggunakan huruf Arab gundul, Cacarakan Sunda, Aksara Jawa, dan huruf Latin. Pembacaan wawacan dipertunjukan dengan cara dinyanyikan, biasanya dilakukan oleh kaum lelaki pada malam hari. Di wewengkon (daerah) Priangan, acara mamaca disebut dengan istilah beluk. Populer hingga tahun 1980-an, sekarang sangat jarang dipertunjukkan.
[4] Tingkat tata krama bahasa

Kenangan trauma coping Pangandaran 2006

Si kecil yang brutaaaal!

agni malagina


Catatan dari Komendan:



Alhamdulillah, selesai sudah rangkaian kegiatan FIB UI Program“Trauma Coping for Children”, Pangandaran 10 Agustus – 3 September 2006 yang didukung oleh Sekar Telkom dan Wanadri. Melepas segerombolan mahkluk kecil yang brutal dari Madasari Bulak Benda adalah hal terberat yang kami rasakan. Rasa tunai sudah bakti kami dihajar oleh rasa cinta dan perhatian lebih pada adik-adik yang semakin menjauh. Saat menatap mentari senja yang mulai suram, perlahan menelan bayangan mereka yang makin jauh. Entah kapan bisa bertemu mereka lagi. Entah kapan bisa melihat celoteh cerewet bawel bandel bangornya mereka. Entah kapan….?!
Semakin sunyi senyap….angin laut yang membawa angin dingin dari Benua Australia mulai melukai hati kami yang ditinggalkan bayang-banyang anak senja di pantai Cidadap. Perlahan kami yang tersisa di pantai mulai bergerak kembali ke base camp.
Malam turun bersama dingin angin yang bertiup. Para fasilitator mulai berdatangan dari mengantar anak-anak pulang. Rapat evaluasi pun dimulai.
Pukul 20.00, baru kali ini rapat evaluasi diadakan tepat waktu. Dan semua dalam keadaan tertib. Satu persatu mulai bicara melaporkan kegiatan hari ini. Cerita yang mengharu biru pun menghiasi ajang curhat terakhir. Evaluasi kegiatan tetap dalam jalur formal dengan tambahan evaluasi kegiatan secara umum. Evaluasi tanggal 3 September termasuk evaluasi pergerakan tambahan acara perpisahan dengan semua anak-anak wilayah Legok, Logodor, Cidadap dan Madasari. Dengan acara bebas, termasuk main flying fox untuk siapa saja. Sampai pada kesimpulan kegiatan berhsil dilaksanakan sampai tutup program. Namun dengan berbagai catatan tambahan.
Kerja belum usai, masih harus evaluasi hasil yang berkala.
Anak-anak di beberapa tempat masih perlu mendapat perhatian lebih. Seperti anak-anak camp Madasari RT 08 yang jauh dari pemukiman desa. Menyebabkan anak-anak agak terisolir. Beberapa anak di beberapa daerah sudah putus sekolah, dan banyak lagi yang terancam putus sekolah.
Trauma tidak hanya terjadi pada anak-anak. Trauma pada orang tua justru menjadi penghalang anak untuk bermain ke pantai. Trauma orang tua seringkali mengekang anak untuk kreatif.
Sarana dan kegiatan bermain anak-anak masih sangat kurang. Besar kemungkinan dari kurangnya anak bermain akan mengurangi aktifnya kemampuan motorik mereka. Yang akan berakibat penurunan daya cipta dan kreativitas anak.
Beberapa daerah camp pengungsi mulai kekurangan logistik dan berbagai kebutuhan. Bahkan ada camp yang membutuhkan jam dinding. Saran air bersih dan MCK masih sangat minim. Keadaan tenda yang sangat sederhana mulai menimbulkan masalah ketika menjelang musim hujan. Bahkan ditemukan lipan di bawah alas tidur.
Ketengangan yang timbul dengan sebuah organisasi relawan dari sebuah partai merupakan catatan khusus bagi kami. Satu kasus muncul di Camp Cidadap. Ketika program yang akan kami laksanakan bentrok dengan program pildacil yang akan diadakan organisasi tersebut. Menurut informasi warga, acara tersebut sangat mendadak. Sampai kami harus sedikit main keras. Karena hanya ada dua pilihan, program di Cidadap dilanjutkan atau dibatalkan. Namun kami menyerahkan semua keputusan pada warga. Alhamdulillah, warga mengijinkan anak-anak bermain bersama kami selama dua hari.
Selesai evaluasi dari fasil dan tim teknis, dilanjutkan acara curhat dadakan. Semua uneg-uneg, dendam, suka, syukur, sedih, maaf, berbagai rasa dan ekspresi dikeluarkan. Kang Dadang ketua puun sekaligus ketua rombongan Wanadri mulai angkat bicara. Berondongan ucapan terima kasih dan sapaan-sapaan akrab datang bertubi-tubi. Dilanjutkan dari kawan-kawan yang mengungkapkan hal yang senada. Sangat menyenangkan berada diantara kalian! Kondisi kerja yang kondusif, aktif, atraktif menjadi semangat untuk menyelesaikan program. Tak jarang muncul masalah intern atau ekstern yang tidak dapat dihindari. Sampai harus bersitegang atau bahkan berurai air mata. Namun semua tetap semangat sampai titik darah penghabisan. Alhamdulillah….selesai….
Catatan hari Senin, 4 September 2006
Senin pagi, hari ini adalah hari pergeseran semua relawan ke Pangandaran. Semua sisa logistik sudah dibagikan. Paket buku peralatan sekolah dan bantuan baksos dari mahasiswa baru FIB UI (program reguler S1 dan Diploma D3) sudah dihasbiskan. Dan abeberapa dus akan diserahkan di dua daerah yang pernah kami singgahi, yaitu Karang Jaladri dan Cikembulan. Sumbangan buku peralatan tulis dari FIB UI yang disertai surat cinta dari kakak-kakak di Depok merupakan sentuhan sayang kepada anak-anak. Pada saat perjalanan pulang tim yang menggunakan motor bertemu dengan anak-anak di penyeberangan, ada yang bertanya “kak, itu buku-buku dan alat tulis dari siapa ya?”
Kami menjawab, “itu dari kakak-kakak yang ada di Depok. Kakak-kakak yang tidak bisa datang ke sini. Suka nggak?”
Serentak menjawab, “sukaaa….ada suratnyaaaaaa!”
Kami menjauh meninggalkan mereka yang berdiri di seberang. Kapal mungil mulai bergerak membawa kami menjauhi mereka. Sempai kami ambil foto mereka dan mereka berpose layaknya foto model!
Saat motor berjalan melewati camp, ada yang berteriak,” Kakaaaaaak…kakak….”
Saya menoleh..beberapa anak berdiri di depan tenda mereka. Dan berteriak lagi,”Kapan datang lagi ke sini?”
Saya hanya melambai tangan. Tak terasa, mata mulai panas. Semakin melambaikan tangan, semakin terlihat mereka bergerak mengejar. Tapi rupanya larinya sang motor sangat kejam. Memisahkan kami dengan adik-adik yang ada dibelakang kami.

Sampurasuuun

Kenangan trauma coping pangandaran 2006

Kenangan-kenangan
Trauma Coping Pangandaran 2006
agni malagina



Adikku, kembalilah ke lautmu!

adikku sayang,pertama kali aku mendengar keluh kesah ibumu...tampak beban di matanyadapat kurasa....separuh beban ibumu adalah kamusaat melihat kamu menangis, dia sedihsaat melihat kamu tidur dalam mimpi burukmu, diadia terlukasaat melihatmu tak lagi ceria, dia gundahsaat melihatmu tak lagimau kembali kelautmu....dia resah...adikku sayang,jangan ingat laut yang dulu bergejolak menggulungombaknyajangan ingat laut yang dulu menghancurkanrumahmuayoo..tatap lautmulaut itu milikmulaut itu hidupmujangan kau takuti diajangan kau jauhi diakarena dia adalah lautmu!

Pangandaran 17 Agustus 2006



Sekapur Sirih

Bencana alam tsunami di Pangandaran yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 merupakan salah satu kejadian yang mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah wilayah yang rawan bencana akibat pergeseran lempeng bumi dan aktifitas gunung berapi. Bencana yang terjadi di Pangandaran serupa dengan yang terjadi di Aceh 26 Desember 2004 dengan skala bencana yang lebih kecil. Bencana di Pangandaran memang tidak menimbulkan kerugian sebesar tsunami di Aceh, namun data (terlampir) menyebutkan banyak korban dan kerusakan total yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa Barat tersebut dan beberapa tempat di pantai selatan Jawa Tengah. Daerah yang mengalami kerusakan terparah ada di Kecamatan Cimerak, Kecamatan Cijulang, Kecamatan Parigi, Kecamatan Sidomulih, dan Kecamatan Pangandaran.
Hal penting yang menjadi catatan bagi tim relawan Pusat Krisis Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya selama berada di Pangandaran (20 Juli – 4 Agustus 2006) adalah timbulnya masalah hilangnya mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah nelayan, masalah dalam konsentrasi pengungsi setelah korban langsung kembali ke daerah tempat tinggalnya yang hancur pada saat berakhirnya masa tanggap darurat, masalah trauma (anak dan dewasa), dan masalah pendidikan (beasiswa dan pemenuhan alat belajar).
Tsunami yang terjadi di daerah Pangandaran menimbulkan suatu kondisi trauma yang membuat anak-anak korban bencana merasa takut terhadap pantai, laut, ombak, bahkan lebih ekstrim lagi; takut terhadap air. Karena bencana, seorang anak yang bertempat tinggal di pantai kini menjadi takut pantai. Hal ini merupakan suatu ironi yang patut mendapat perhatian lebih. Ketakutan seorang anak terhadap tempat tinggalnya tentu akan menghambat proses tumbuh kembang seorang anak. Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman yang tidak terpenuhi oleh lingkungannya sendiri akan membatasi anak dalam proses pengembangan potensinya.
Kami anggota Pusat Krisis FIB UI tergerak untuk memberi bantuan sesuai dengan kekuatan Puskris FIB dengan segera. Puskris memutuskan untuk berangkat pada hari Kamis, tanggal 20 Juli 2006. Dan terus bertahan sampai selesai masa tanggap darurat. Kami kembali ke Jakarta pada tanggal 3 Agustus 2006. Kembali ke Jakarta dengan beberapa catatan. Diantaranya adalah membantu anak-anak korban tsunami Pangandaran untuk kembali ke laut. Ceria dan gembira bermain di laut. Anak tidak akan lepas dari bermain. Dengan bermain kami rasa dapat membatu anak mengurangi ketakutannya atau kekhawatirannya menghadapi laut. Program anak pun menjadi PR bagi kami.
Sekembalinya kami ke ibu kota, kewajiban membuat laporan sesegera mungkin membuat kami segera bergerak dan melaporkan semua kegiatan kepada Dekan FIB, Ketua Pusat Krisis FIB, dan kepada pihak rektorat. Rencana program berikutnya pun bergulir dengan banyak kekhawatiran. Program Trauma Coping for Children pun menjadi wacana yang perlu segera diwujudkan.
Proses mewujudkan program outbound anak-anak korban tsunami ini sangat panjang. Kesabaran dan kegigihan kami di Jakarta sedang diuji. Tanggal 4 Agustus 2006 kami menghadap pihak rektorat berkenaan dengan akan diberangkatkannya batuan logistik dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang dianggap kurang tepat guna. Pihak rektorat menghimbau kami relawan yang sudah lama tinggal dalam operasi tanggap darurat untuk memberi saran kepada BEM. Sampai pada tahap negosiasi dengan BEM, kami dan BEM bersepakat untuk berangkat pada tanggal 9 Agustus 2006 dengan misi kemanusiaan UI yang keluar satu pintu, menghindari kasus relawan UI di Bantul terulang kembali. Pada tahap ini pun, kepastian dana bantuan yang ditawarkan dari rektorat atau UI AID belum juga terlihat titik terang. Hanya proposal kegiatan yang kami ajukan sudah sampai di rektorat.
Masa tegang kami terjadi pada tanggal 15 Agustus 2006. Kami mendanai operasional dengan dana pribadi yang kami salurkan lewat Pusat Krisis FIB. Sudah semakin menipis, dan kepastian dari rektorat dan surat ijin kegiatan dari Direktur Hubungan Mahasiswa dan Alumni sudah tidak dapat kami peroleh. Bahkan dana pun tidak ada. Keuangan kami hanya cukup untuk tarik mundur pasukan yang ada di Pangandaran. Saat itu siang menjelang sore, saya selaku “komendan” meminta Ken Miryam (koordinator lapangan) untuk menarik mundur semua pasukan. Entah apa yang terjadi, tidak lebih dari 30 menit, Ken menghubungi saya, meminta agar pasukan tidak ditarik mundur karena DPP Sekar Telkom akan membiayai sisa flight. Alhamdulillah, saya menarik nafas yang sudah terikat dengan emosi syukur yang tak tertahan. Bersama titik air mata, syukur terucap. Alhamdulillah, kami bisa melanjutkan program untuk anak-anak di Pangandaran sampai Cimerak. Alhamdulillah, kami bisa mengajak adik-adik kami di pengungsian untuk bermain ke laut. Menghadapi laut, kembali ke laut. Rasa susah sedih dan derita yang lalu tak terasa lagi. Hanya keinginan melihat wajah adik-adik kami yang membuat kami segera bergabung dengan tim advance.
Apa yang kami lakukan ini mungkin hanya sedikit meringankan beban saudara kita yang terkena bencana, namun semua kami lakukan dengan gembira. Kami ingin berbagi sedikit pengalaman dalam menangani trauma bencana pada anak, walau mungkin yang kami tampilkan ini sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, mudah-mudahan laporan ini bisa memberikan gambaran kerja yang telah kami lakukan. Ada gaya bertutur yang sedikit menyerupai feature, namun kami berharap dapat disajikan untuk memberikan gambaran dari kerja yang telah kami lakukan. Pengalaman ini kami sajikan dengan agak lebih panjang secara hari per hari untuk memberikan gambaran kemajuan yang dialami oleh anak-anak korban tsunami. Cerita pendek yang sangat panjang. Maaf…
Mohon maaf kami sampaikan kepada seluruh donatur, rekan-rekan realawan, rekan-rekan kampus yang selalu mendukung kami, aparat, warga sepanjang lintasan Trauma Coping FIB UI. Terima kasih banyak untuk para fasil...hanya karena kalianlah...kita dapat bertahan untuk bermain dan bermain.
Berikut ini adalah intermezzo yang harus kami tuliskan dalam lembaran ini. Karena tanpa beliau-beliau yang kami sebutkan di bawah ini, program kami tidak akan terlaksana.

Ucapan terima kasih kami haturkan kepada:

1. Prof. Dr. Ida Sundari Husen, Dekan FIB UI, yang telah memberikan ijin dan semangat bagi kami tim teknis dan fasilitator utnuk berangkat ke Pangandaran dengan fasilitas dan kemudahan dari FIB UI.
2. Bapak Prapto Yuwono, yang telah memberikan dorongan dan semangat serta berbagai kemudahan birokrasi dan perlengkapan teknis posko.
3. Bapak Cecep Eka Permana, yang telah memberikan ijin jalan kepada kami dan tim fasilitator untuk bergabung dengan tim advance yang sudah lebih dulu ada di Pangandaran.
4. Bapak Luthfi Zuhdi, dan Dewan Penasehat Pusat Krisis FIB UI, yang telah memberi bantuan moral dan material sejak bencana Bantul sampai dengan Pangadaran.
5. Ketua DPP Sekar Telkom, yang telah mendengar uneg-uneg mahasiswa ini dan memberikan bantuan suntikan dana operasional program flight Madasari-Cidadap-Legok-Logodor.
6. Ibu Ira dan Ibu Ida, Sekar Telkom, yang sudah melancarkan urusan pendanaan, dan sudah hadir di camp Cidadap. Maaf, pada saat Ibu datang, acara tertunda karena kesalahan teknis dan data kegiatan. Human error yang ada pada kami perlu dievaluasi. Maaf Bu.
7. Kang Erie, yang telah mengijinkan kami untuk tetap berjaya di Jln Raya Pangandaran 273! Sekaligus menjadi pencerahan bagi tim ”Papap Pangandaran”.
8. TELKOM, yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran komunikasi relawan. Kami dapat berhubungan dengan keluarga di Jakarta. Jarak yang jauh tak terasa. Bersama TELKOM kami aman!
9. Ketua Dewan Pengurus Wanadri, Kang Febby, yang sudah memberikan bantuan pengiriman logistik alat games dan ijin jalan tim teknis Wanadri.
10. Bang Ben (Imam Mawardi), dari Earth Color, yang sudah dengan cerah ceria meminjamkan alat games flying fox yang sekarang melegenda di Pangandaran. Bang, terima kasih, jasamu abadi! Salah satu sponsor utama yang berjiwa besar!
11. Para donator, terima kasih kepada Ibu Riris K.Toha Sarumpaet, Ibu Tuty Nur. Mutia Muas, IbuTjindarsih Wemmy, Ibu Djuariah PPIG UI, yang telah menjadi donator Pusat Krisis FIB UI sejak masa tanggap darurat (17 Juli - 4 Agustus 2006), sumbangan sudah kami salurkan kepada korban yang membutuhkan. Terima kasih sudah mendukung kegiatan kami.
12. Kang Dadang Abdul, yang bersedia kembali ke Pangandaran bersama kami, membina adik-adik mahasiswa untuk belajar berbagai macam hal. Diantaranya bagaimana mengambil keputusan pada saat genting. Sekaligus bagaimana cara bernyanyi yang baik. Terima kasih atas bantuan moral dan material yang diberikan.
13. Mba Anna RRD, yang telah menyediakan transportasi untuk mengangkut barang baksos dari kampus FIB UI.
14. Pak Dar, yang sudah mengantarkan barang baksos mahasiswa baru FIB UI sampai tengah malam di Cidadap.
15. dr. Monang Tampubolon, Opung kita tersayang, yang telah membuat kami selalu sehat. Terima kasih sudah rutin diperiksa, ditensi dan diberi suplemen. Terima kasih Opung sudah merawat kami yang sakit. Terima kasih Opung sudah membuat kami bertahan. Menyelesaikan mimpi bersama ini.
16. dr. Merry, ibu dokter cantik yang satu ini sudah bersama kami sejak masa tanggap darurat. Dan masih bersedia kembali ke Pangandaran untuk membantu Opung dan Tim Papap. Terima kasih telah memberi kami kekuatan!
17. Suster Dona, terima kasih sudah menemani kami sepanjang perjalanan, termasuk menjaga kami untuk tetap sehat.
18. Terima kasih untuk Wanadri: Kang Ozos, Kang Jokop, Kang Anset, Kang Psoy, Kang Dewa, Kang Handoko, Kang Dudy, Kang Kolotok, Kang Ade, Kang Fajar yang sudah sangat membantu kami untuk operator alat games. Kisah bersama kalian tidak akan terlupakan. Bahkan sesaat bersama kalian pun adalah kenangan yang akan kami simpan dalam hati. Kalian adalah semangat kami untuk selalu ada di lapangan dan tepi api unggun saat panas menyengat dan dingin terhebat.
19. Kang Karawang dan Kang Kolotok, yang telah menjaga kualitas Dapur Umum tetap prima. Papap Karawang, terima kasih atas layanan kesehatan yang diberikan. Celoteh papap dan kang Klotsky membuat hari-hari kami yang berat tak terasa. Kegembiraan bersama kalian berdua adalah hal yang sangat langka. Papap, namamu abadi bersama milis kita!
20. Kang Toing Se, yang sudah mengantar kami ngebut kemana-mana.
21. Kang Dudy, Kang Anset, Kak Ocid, Icy, yang sudah dikutuk menjadi tim dokumentasi. Kang Dudy yang telah dengan sangat jagoan mampu mengambil momen dan ekspresi wajah-wajah anak-anak, ekspresi yang sebenarnya dari fasil dan nyawa dari kegiatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata. Ada ribuan kata dan emosi yang terpatri dalam gambarmu! Kang Aset, Kak Ocid, Icy, terima kasih syutingannya…sebuah dokumentasi audio visual yang sangat berharga.
22. Kang Dewa, yang telah sangat berjasa dalam urusan data informasi, perbaikan instalasi listrik sampai perawatan komputer!
23. Kak Ocid dan Lola, yang sudah membuat urusan sekretariat menjadi lancar, lengkap, dan terorganisir. Lola, terima kasih sudah membuat file lengkap. Juga sudah dengan sabar menerima teror tanda tangan rokok selama flying camp.
24. Wa Kacus, terima kasih untuk foto-foto dadakan dan support kepitingnya.
25. Para koordinator camp pengungsi di Madasari, Legok Jawa, Cidadap, Legodor, Karang Jaladri, Batu Karas, Pangandaran, yang telah mempermudah kegiatan kami.
26. Aci, Rafi, Ade, Nanin, Citra, Atre, Amalia Septianingsih, Dharmestya, Angka, Nindi, Anindita Puspajati, Amel, Is, Arieska Kurniawaty, Arif Aprizal, Arifah Sakti N, Asep, Asep Wahyudin, Bunga, Chicha, Christanty, Dian Prastiti Utami, Edi Sunardi, Fifi, Galih Putri, Hajat, Heggy Kearens, Ina Maulinda, Lola, Liesta, M. Hidayat, Meity, Moch. Ariyo F.Z., Nimitta Kusumastuti, Nursanti Budianto, Nurul Hidayah, Rara Ayuningtyas Pramudita, Sofyan Suri, Syarif, Teuku Andhika Mulya, Triyana Sulistari, Triyaniarrinita, Vicky, Yopie Pieters, Angga, Ozi, Eby, Mul, Zainal, Atek, teteh Devi, Dea, yang sudah menjadi fasil yang baik. Sangat baik. Cinta kasih kepada adik-adik kecil itu dapat membuat mereka menjadi lebih ceria dan gembira. Mereka sudah kembali ke lauuut! Semangaat yaaa! Kalian memang paling hebat. Tanpa kalian program ini tidak mungkin terlaksana! (fasil-fasil tercinta….sudah tersebut semua belum siy Ken? Aduuh, maaf apabila ada yang terlewat ya? Mohon segera lapor ke sekret!)
27. Bapak RT 2 Cidadap yang sudah merelakan rumahnya untuk kami tempati. Walaupun kaca pecah, angin berhembus kencang, di dalam rumah, kami merasa hangat. Belakangan setelah kembali ke Jakarta, kami baru diberitahu tim teknis Wanadri bahwa rumah yang kami tempati pernah menjadi rumah penampungan mayat sementara ketika masa SAR. Hebat, kami aman bersama Wanadri! Body system ternyata ampuh…!
28. Emak, terima kasih sudah membantu menyediakan sarapan, makan siang, makan malam para relawan yang ganas-ganas ini.
29. Kawan-kawan IKPD FIB UI dan maba program Diploma FIB UI, yang telah mengumpulkan buku tulis dan peralatan sekolah untuk adik-adik di Pangandaran-Cimerak. Terima kasih sudah menulis surat cinta untuk mereka, surat dari kawan-kawan membuat mereka senang. Semoga adik-adik kecil kita akan termotivasi untuk belajar giat dan menyusul kalian masuk Universitas Indonesia. Anak pantai dengan kulit hitam dan rambut pirang di sana sangat cerdas. Mereka pasti bisa!
30. BEM, yang telah datang bersama ke posko gabungan sekaligus droping logistik dan membantu program anak pada saat awal program. Maaf apbila pelayanan kami dinilai kurang memuaskan. Mohon maaf telah bersitegang dengan kawan dari BEM karena mungkin program kami dianggap kurang tepat guna. Karena hanya menangani anak saja. Tidak senergi dengan penanganan trauma pada orang dewasa. Maaf, kemampuan kami hanya sebatas mengajak anak kecil bermain.
31. Mohon maaf kepada Ketua Senat FKUI sempat meminta agar relawan FK tinggal di posko membantu operasi medis, kami khilaf karena relawan dari FK ada di bawah tanggung jawab Anda, sehingga kami tidak bisa sembarangan menahan relawan yang juga ingin tinggal. Kami sadar betul, Anda yang bisa menilai kompetensi relawan FK. Kami yang ada di lapangan tidak bisa.
32. Senat Mahasiswa FIB UI, yang telah dengan “sigap cepat tanggap” merespon kegiatan kami. Sumbangan mahasiswa baru berupa logistik keperluan wanita dan alat sekolah anak yang dikoordinir oleh SM FIB sangat membantu korban yang ada di pengungsian.
33. Terima kasih juga kami haturkan kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu. Mohon maaf apabila ada khilaf kami selama pelaksanaan program.

Giloooooooooo: catatan seorang agi yang ngikutan bikin laporan trikenya wanadri-menegpora

Pergaulan gw dengan Wanadri memang belum lama. yaaaa...dimulai sejak gw sama Kani ke Pangandaran waktu tsunami dulu tea. yaa..banyak ceritanya. sampai kemudian tgl 7 juli 2008 gw ikut menyelesaikan penulisan beberapa feature ttg perjalanan trike mereka. Mufti, adikku tersayang, pun ikut dalam penulisan feature. kami menulis sesuai dengan pembagian daerah yang disepakati
gw ga menyelesaikan kewajiban gw menulis sampai selesa...karena pada tanggal 7 itu banyak kejadian yang merubah jalur hidup gw. salah satunya dengan meninggalnya Ka Didi, kakakku yang sabar membimbing aku memahami budaya Sunda. saat dia mengajak gw ke baduy minggu2 sebelum tgl 7 Juli, gw menolak karena gw membantu pembuatan laporan trike...sedihnya tak terkirakan...sesalnya tak tergantikan...pun banyak hal yang membuatku tertekan...
sediiih sekali...
sampai suatu ketika gw memutuskan untuk memuat artikel yang gw tulis. Yemo wakulu memang menyebalkan...(gw nyesel ngasi nomer telpon temen gw yang dia kejar2, eee..pas udah mau tu temen gw, ternyata yemo nikah sama perempuan lain? ga sangka...tapi yemo hebat deh, bisa menyembunyikan calon istrinya dari temen gw itu. yaaa...yemo pasti punya alasan atas perbuatannya, tapi bagi gw...udah Y CORET!! hahaa) tapi gw tetap memliki hak atas tulisan gw kan? hak cipta tetap punya gw kaaan?
tulisan ini gw upload karena gw menghormati Wanadri...tapi gw cukup kecewa dengan beberapa person saja. terutama yang sok campur urusan gw, bahkan ada yang mulutnya lebih parah dari wanita penggosip...hahaha....tapi gw sadar, semua orang berhak dengan sikapnya.
tekanan yang gw rasakan beberapa lamanya...terobati dengan hadiah kecil dari Ibu Hermin tersayang. beliau yang paling tahu kegundahanku dan penderitaanku, dan berangkatlah gw ke taiwan untuk beberapa waktu....
guys....
gw hanya ingin berbagi pengalaman gw yang unik ini
terima kasih untuk yemo wakulu
terimakasih untuk Abah Iwan yang khusus menyanyikan Randu untukku
terimakasih untuk uwa Usol yang sudah merelakan groudcrew-nya ditulis dengan acak-acakan
terimakasih semua

salam,
agni malagina

tulisan ini untuk sahabat2ku: kani, lola, prima, mamir, kak o, risna, riri, kang mumu, pak agus, ibu hermin, teh novi
juga untuk orang yang kusayangi sekali, yang sudah sabar dan berjuang untukku...maaf Kang...: Kang Klotok W 730 ERA

Ekspedisi trike Wanadri Menegpora 2008: Babar

Saumlaki, Babar: Dia yang Hanya Melintas Saja
agni malagina


Sender: +6281383806xxx
20 Mei 2008, 20:33
Di sini lampu mati bergiliran, spt kota mati, orgnya tdk bisa bergaul, ada hiburan sangat mahal, skrg lagi hujan badai, gw sendirian lg ditemani lilin kecil


Dibalas,
hahaha loe puitis melankolis gitu. Ya udah mau gak mau kan harus dilalui juga. Hiburan mahal? Hiburan apaan tu?

Sender: +6281383806xxx
20 Mei 2008, 20:54
Bir aja 40 rb/botol, , itupun cuma 1 tempat, wah sudah ga mungkin! gw cuma sdkt boring aja, tp gw siap melewatinya, KOMANDO!

dibalas
Siap...naa itu baru Wanadri, ok lanjut, KOMANDO...!!!! baru ini yang bisa kita berikan untuk bangsa. Slmat bertugas

Itulah gambaran haru perasaan seorang groundcrew menghabiskan malam – malam di Saumlaki. Dengan fasilitas genset satu hari genset menyala, satu hari mati, yang hidup pun hanya pada setengah malam saja. Kejenuhan dalam bertugas tak terelakkan. Pesan-pesan pendek itupun dikirim untuk staf puskodal di Jakarta.
Perjalanan Andreas Ariano dan Erwin Gumay berlanjut setelah meninggalkan Anset di Kisar. Dengan menumpang kapal Abadi Permai, mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Babar dan menurunkan 2 jerigen. Di pulau Babar kapal hanya berhenti untuk lego jangkar sekitar 1 – 2 jam sehingga mereka hanya memerlukan waktu singkat untuk menurunkan jerigen dan berkoordinasi dengan Pemda setempat. Segera mereka melanjutkan perjalanan ke Saumlaki untuk menurunkan 4 jerigen BBM dalam waktu berlayar selama 2 hari. Kali ini mereka menginap satu malam. Keesokan harinya Erwin harus melanjutkan perjalanannya ke Tual, Andreas tetap tinggal di Saumlaki untuk meneruskan perjalanan dorlog BBM menuju Pulau Babar.
Setelah berpisah dengan Erwin, Andreas mengontak Camat Babar (Ari Kilikili) yg sedang berada di Saumlaki untuk menginap, namun ada saat itu tidak memungkinkan. Diputuskan untuk menginap di penginapan. Mengingat kondisi keuangan yang tidak berlebih, maka muncul inisiatif mencari rumah yang kamarnya dapat disewakan untuk satu bulan. Koordinasi kembali dilakukan dengan Pak Camat untuk mengetahui jadwal kapal Abadi Permai untuk perjalanan menuju Pulau Babar.
Tanggal 23 Mei 2008 berangkat dari Saumlaki menuju Babar. Perjalanan menyita waktu selama 2 hari. Sebelum masuk Tepa (Pelabuhan Babar), kapal terlebih dulu masuk Kroing di Kecamatan Babar Timur. ”Pada saat itu ada 4 camat dengan keluarga-keluarganya. Camat Babar Timur, Pulau-Pulau Babar, Moa, dan Donahera. Kita berada dalam satu kapal, karena saya tamu kehormatan, di kapalpun KALWEDO. Di kantin hanya tersedia Red label, bukan sophie. Saya minum supaya nyenyak tidur karena gelombang lumayan tinggi. Setelah minum malah tambah goyang. Kacau. Minum bersama 4 camat dan Mualim 1. Si gondrong juga ikut,” ujar Andreas tak kuasa menolak tradisi Kalwedo dengan Red Label.
Andreas tiba di Kroing keesokan siang harinya. Kapal tidak bisa berlabuh karena ombak tinggi. Cukup lama kapal tertahan di perairan Kroing, para camat pun turun. Alasannya baru diketahui keesokan harinya bahwa dari Kroing ke Tepa ternyata bisa melalui jalur darat. Dari Kroing menuju Tepa harus melewati Pulau Sermata kemudian kembali ke Babar. Jalur ini pun berombak tinggi. Gelombang datang dari kanan kiri muka belakang. Posisi kapal pun oleng selalu. ”Kondisi kapal memprihatikan. Semua goyang dan semua bau. Akhirnya muntah juga!” kata Andreas yang mengaku hanya sekali mabuk laut.
Andreas akhirnya sampai di Tepa dan tinggal selama 3 minggu. Saat melakukan survey lokasi rencana pendaratan di Letwurung di Kecamatan Babar Timur, banyak didapati sungai-sungai, baik besar maupun kecil. Perjalanan ditemuh dalam waktu 5 jam. Apabila ada fasilitas jembatan perjalanan dapat ditempuh dengan 2 jam. Jalur Tepa - Letwurung sebenarnya mudah dilalui bila proyek pembangunan jembatan cepat dikerjakan sampai tuntas. Pada kenyataannya di lapangan banyak proyek yang terbengkalai. Entah karena kekurangan dana atau dana dilarikan oleh kontraktor nakal.
Perjalanan menggunakan motor pun wajib masuk ke dalam sungai. Sungai Air Besar merupakan salah satu sungai yang paling sulit diseberangi. Dengan lebar sampai 20 meter dan kedalaman hampir mencapai ½ meter, motor yang melalui sungai itu bisa saja terbawa arus sungai yang cukup deras bila tidak berhati-hati dan penuh perhitungan. Di antara pulau-pulau di MTB (Maluku Tenggara Barat ). Babar merupakan pulau tersubur dengan area pegunungan dan hutan yang cukup besar. Pulau Babar merupakan pulau yang paling banyak sumber mata air nya dibandingkan pulau-pulau lain di kawasan MTB dikarenakan Pulau Babar adalah daerah pegunungan yang sangat banyak hutannya. Tanahnya subur sehingga daerah ini banyak menghasilkan rempah-rempah seperti: pala, lada, kopra, kayu putih, dan lain-lain. Hewannya pun beragam seperti sapi, kambing, babi, baik yang dipelihara maupun liar di dalam hutan. Untuk hasil lautnya terdapat seperti ikan laut, teripang, dan ikan hiu.
Survey panjang di Letwurung (Babar Timur) selesai. Persiapan sudah dilakukan, penyambutan sudah direncanakan dengan baik. Antusiasme warga menyambut pesawat pun tampak dari persiapan yang dilakukan, memotong ayam, memasak daging dan lain-lain. Dalam rencana operasi, Pulau Babar merupakan RTB (Return to Base). Artinya, pada tanggal 7 Juni 2008, Pulau Babar akan disinggahi bila terjadi sesuatu masalah pada pesawat atau cuaca buruk. Dan pada hari H, PKS 205 tidak mendarat di Babar. Informasi RTB ini sudah diinformasikan sebelumnya kepada Camat dan semua kepala desa sehingga mereka mengerti ketika pesawat tidak mendarat di Babar, berbeda dengan warga yang belum mendapatkan informasi tersebut sehingga mereka sedikit kecewa. Namun apa daya, ketika Puskodal memberi kabar bahwa pesawat sudah aman melewati Babar menuju Saumlaki, warga pun bersama-sama membuat keriaan.
Persiapan keluar Babar sendiri menjadi cerita seru. Pada saat memutuskan pulang, kondisi di lapangan sudah lewat 1 kapal. Menurut informasi, baru minggu depan ada kapal datang dari Kupang. Andreas menambahkan, “Jadi saya menunnggu kapal lagi. Bisa menunggu kapal yang geser ke Kupang atau ke Ambon. Namun lebih aman dari Babar ke Ambon, 3 hari, naik kapal cepat. Kalo ke Kupang 5 hari. Sementara ke Surabaya 9 hari. Bisa berlumut di jalan itu.” Sambil menunggu kapal datang, Andreas banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan kreatif yaitu memancing dan berburu. Sejarah Babar juga berhasil menarik perhatian pemuda ini. Di antaranya adalah kisah pembunuhan massal di Babar yang terjadi pada jaman jepang di sekitar daerah Emplawas, tepatnya 500 m dari Emplawas. Sejarah pembantaian tersebut diteliti dan dituangkan dalam skripsi yang ditulis oleh istri camat Babar. Kisahnya, saat itu ada tentara Jepang yang menggoda warga di sebuah warung. Karena warga marah, salah seorang tentara dibunuh dan yang lain berhasil kabur untuk kemudian kembali ke desa itu dengan membawa tentara yang lebih banyak. Semua masyarakat dikumpulkan di sepanjang garis pantai. Tiada yang tersisa di rumah. Warga barbaris dan ditembaki. Mati. Tak bersisa. Beberapa tahun kota itu sempat menjadi kota mati. Sampai saat ini kenangan tersebut diabadikan dalam sebuah monumen.
Setelah menunggu selama satu minggu, Andreas pun berhasil keluar dari Babar pada tanggal 15 Mei 2008 menuju Saumlaki dan bergerak ke Ambon. Pulang ke Jakarta adalah tujuan akhir perjalanannya sembari membawa sebundel catatan harian dari Babar.
Sekelumit perjalanan Andreas dalam 45 hari mungkin hanya dapat disajikan dalam beberapa paragraf saja. Kekuatan, keuletan, kesabaran, dan ketabahan para groundcrew di lapangan tentu bervariasi. Intinya mereka semua memberikan yang terbaik pada Ekspedisi Trike ini. Semangat kebersamaan, nasionalisme dan kebangsaan yang digaungkan oleh seorang Kang Ujang dari Sabang sampai Merauke pun dapat dimaknai oleh banyak masyarakat Indonesia di sepanjang jalur pendaratannya.

Ekspedisi Trike Wanadri menegpora 2008: Dobo 2

Catatan dari Dobo: Survey Cakar Bongkar sampai Cenderawasih Dobo
agni malagina

Kami sama-sama punya kenangan dengan Ibu Darto. Tiket transportasi tempat pun diurus oleh keluarga Darto. Ada juga proses ”oranyenisasi Dobo tampak dari munculnya kacang wanadri sampai mobil pun dinamai mobil wanadri, bahkan adapula kapal terbang wanadri” (ada pesawat di Bandara dobo, tidak ada baling-balingnya).
Johnny Edward (WK 092)



Masih ingat kisah perjalanan saudaraku Erwin Gumay ketika menunaikan tugas dorlog BBM-nya sampai ke Dobo? Ketika serah terima BBM dengan Pak Darto Kepala Bandara Dobo sudah terlaksana, maka jalur BBM untuk Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora RI pun positif dalam keadaan GREEN LIGHT pada tanggal 23 Mei 2008. BBM Dobo sedianya akan diugunakan oleh Kang Ujang pada tanggal 14 Juni 2008 untuk terbang menuju Timika.
Tim groundcrew Dobo yang terdiri dari Aries Muzaqier (W 694 TL), Iwan ’Karawang’ Nirwana (W 660 TL), dan Jhonny (WK 092) semula direncanakan masuk Dobo pada tanggal 7 Juni 2008 Namun mereka baru dapat tiba di Dobo pada tanggal 10 Juni 2008 karena perjalanan Tual – Dobo terhalang kendala teknis transportasi, ada kapal tetapi tidak ada bahan bakar!!! Belum lagi harus terhalang cuaca yang semena-mena sering berganti rupa. Kadang terang, tiba-tiba hujan. Kadang hujan, tiba-tiba badai. PKS 205 sendiri direncanakan tiba di Dobo pada tanggal 10 Juni 2008 namun karena cuaca buruk di beberapa tempat penerbangan pun tertunda. Akan tetapi, kondisi ini ternyata bisa dibilang ”menguntungkan”. Karena apabila PKS 205 menepati jadwal, maka Kang Ujang bisa lebih dulu masuk Dobo sebelum groundcrew merapat ke Dobo.
”Kalau tidak ada yang ’mengatur’, bisa kejadian.! Lu mau disambut Kang Ujang?! Bisa ditempiling itu! Saha maneh!” celetuk Ketua Ekspedisi sambil tergelak ketika mendengar kisah para groundcrew Dobo yang sulit masuk – keluar Dobo.
”Kita di Tual 4 malam, lho. Cuaca buruk. Kita mondar – mandir pelabuhan. Nongkrong di pelabuhan. Kalau cuaca bagus baru berangkat. Kita bisa berangkat kapan saja. Kita sudah siap, sudah packing, tapi syahbandar tidak mengijinkan berangkat,” ujar Aries menyambung kisah Karawang. Karawang menambahkan bahwa selama mempersiapkan kedatangan PKS 205, koordinasi dengan banyak pihak berjalan lancar. Sambutan masyarakat Dobo juga sangat menggembirakan.
Tanggal 13 Juni 2008, Kang Ujang tiba di Dobo pukul 08.45 WIT. Penyambutan pun berlangsung meriah. Hingar bingar kegembiraan para pemuda – pemudi Dobo mengawali rangkaian kegiatan Kang Ujang di Dobo. Anak – anak sekolah dasar pun tampak gembira menyambut Kang Ujang dengan pesawat mininya. Setelah upacara penyambutan, diadakan dialog antara masyarakat Dobo dengan sang pilot. Para pemuda terlihat sangat antusias. Bahkan banyak komentar-komentar untuk pemerintah. Namun sekali lagi Kang Ujang mengatakan “JANGAN TANYAKAN APA YANG BISA NEGARA BERIKAN UNTUK KITA, TAPI TANYAKAN APA YANG BISA KITA BERIKAN UNTUK NEGARA!” Kalimat ini membuat banyak pihak terharu. Salah satunya adalah Kepala Diknas Dobo yang kemudian berinisiatif ingin membuat kegiatan yang bisa membangkitkan rasa nsionalisme pemuda–pemudi Dobo. Menurut beliau, kegiatan macam trike ini sangat positif untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Bahkan pertukaran pelajar yang sekarang menjadi program tahunan di Dobo dianggap tidak efektif untuk membangkitkan nasionalisme.
Dobo merupakan titik pendaratan yang dianggap cukup menegangkan, karena jalur Dobo–Timika adalah jalur penyeberangan bandara to bandara yang terpanjang. Terpanjang melewati permukaan laut, sekitar 316 km. Diceritakan pula bahwa Kang Ujang tampak tegang sebelum terbang meninggalkan Dobo.
”Ngomel-ngomel terus, euy, si Babeh mah!”, ujar Karawang ketika ditanya bagaimana keadaan Kang Ujang.
”Beh, pocari tambahan nya (Beh, pocari ditambah ya),” lanjutnya.
”Teu kudu, di pesawat loba! (tidak usah, di pesawat banyak!), jawab Kang Ujang.
”Eeh, aripek teh’ Isuk – isuk pas rek terbang mah, eweeuh..!(pagi–pagi pas akan terbang tidak ada!),”ujar Aries menambahkan. Maka semuapun menjadi tegang. Kemudian Kang Ujang meminta air mineral untuk dibawa terbang. Semua pun bertambah panik. Dengan sigap Karawang berlari menuju rumah, mengambil sekenanya botol air mineral sisa minum Kang Ujang semalam, dan diisi kembali dengan air mineral baru. Tanpa angkat bicara lagi, Karawang menatap ketika sang botol air mineral itu dibawa terbang menuju Timika. Kang Ujang sempat dalam keadaan stress ketika melihat keadaan berkabut. Akan tetapi semua bersyukur kabut sedikit demi sedikit mulai buyar.
Setelah Kang Ujang lepas landas pukul 06.15 wit, para groundcrew bersama Pak Darto berkumpul di ruang radio.
“Kita memantau terus. Pak Darto sudah berkomunikasi dengan radio pantai. Berhubungan juga dengan nelayan - nelayan di sekitar jalur pantai Dobo-Timika. Ketika pesawat masuk area Timika, Dobo terus memantau, begitu PKS 205 mendarat semua yang di Dobo tenang. Pak darto sangat membantu penerbangan Dobo–Timika. Sampai 69 mil pun masih tetap berusaha mengontak” ujar Aries.
”Malam harinya kita langsung ke pantai, bakar ikan. Mengikuti adat Dobo dalam menjamu tamu. Sekaligus ber-kalwedo-ria!” sambung Karawang.
”Pada dasarnya kita menghormati Pak Darto dan tardisi masyarakat setempat kan ya,” lanjut Johnny kalem.
Salah satu pengalaman para groundcrew yang lucu adalah ketika Mbak Ana Kodal (staff Puskodal) menanyakan keberadaan mereka sekaligus mengontak groundcrew untuk morning call, begini ceritanya,
”Pak Iwan, sudah bangun? Apakah sudah di Bandara?” tanya Ana dari ujung telepon di Jakarta.
”Aman, Mbak Ana. Kita sudah di Bandara! Kadang sebelum Mba Ana menelpon kita, saya sudah memberikan konfirmasi terlebih dahulu. Dan sebenarnya kita tinggal di dalam bandara! Jadi kalo kodal telpon bertanya apakah kita sudah dibandara apa belum, ya kita jawab kita sudah di bandara. Padahal mah lagi ngopi-ngopi’ Ya orang rumahnya Pak Darto ada di dalam bandara!”ujar Karawang sambil tertawa.
Kedekatan trio groundcrew dengan keluarga Darto menjadi catatan tersendiri bagi Erwin Gumay ketika bertugas dorlog BBM, begitu juga dengan tim groundcrew Dobo. Sesungguhnyalah isu kacang Wanadrilah yang mempersatukan mereka.
”Kami sama – sama punya kenangan dengan Ibu Darto. Tiket transportasi tempat pun diurus oleh keluarga Darto. Ada juga proses ”oranyenisasi Dobo”, dari kacang wanadri sampai mobil pun dinamai mobil Wanadri, ada kapal terbang Wanadri (ada pesawat di Bandara Dobo, tidak ada baling-balingnya),” ujar Johnny Edward mengenang keluarga Darto. Bahkan mereka berhasil mengangkat rahasia cara Ibu Darto memasak kacang Wanadri setelah Erwin gagal mendapat resep tersebut.
”Kacang dimasak biasa kok, dibumbui sedikit, dan dimakan Erwin. Jadilah kacang Wanadri! Entah mungkin Ibu Darto akan segera mematenkan merek dagang ini!” ujar Karawang diiringi derai tawa panjang.
”Sebenarnya kacang Wanadri khusus persembahan untuk Erwin, kata Bu Darto,” jelas Karawang, ”dan mendengar ini kami sangat terharu.”
Setelah berita PKS 205 mendarat di Timika, tim Dobo sudah dapat bersantai, lepas tugas dan siap untuk kembali ke Jakarta. Namun mereka harus keluar Dobo menuju Tual terlebih dahulu. Menunggu keberangkatan ke Tual pun menjadi cerita unik bagi para groundcrew ini. Dikarenakan masalah cuaca yang tidak bersahabat, yakni ombak tinggi antara Tual–Dobo, kapal perintis dari Tual belum dapat merapat ke Dobo. Alhasil, tim Dobo pun terkunci di Dobo. Namun bukan Wanadri jika mereka tidak berhasil mencari kebahagian hidup di Dobo dengan teknik ’survival’-nya.
”Kita jalan-jalan mengelilingi Dobo!,”jelas Edward bersemangat.
”Pantainya menarik, sangat indah. Banyak nelayan. Kita ketemu teteh Tasik yang menjadi pengusaha perikanan di Dobo,” lanjut Aries.
”Kita dijamu 20 buah lobster oleh Teteh Tasik. Potensi daerah Dobo yang terkuat adalah seafood. Banyak yang dikirim ke Jakarta, Singapur, Hongkong. Ada 1 orang sampai punya 20 kapal, namun tetap hidup sederhana. Hebat sekali Dobo ini!,”sambung Karawang. Tak kalah menariknya, Dobo memiliki sejumlah bahasa daerah yang mulai tidak digunakan oleh penduduknya.
”Ada 12 bahasa daerah. ada linguis dari Amerika yang datang meneliti bahasa di Kepulauan Aru. Sampai anak-anaknya bisa berbahasa daerah itu lho. Hebat, ya?. Sedangkan orang Aru-nya sudah meninggalkan. Orang Dobo juga sudah tidak bisa,” ujar Karawang. Mereka semua mengaku sudah menjelajahi sudut wisata Dobo. Namun sayang, semua objek wisata tersebut kurang dikelola dengan baik. Padahal Dobo yang merupakan ibu kota kepulauan Aru ini memiliki keistimewaan tersendiri. Kabupaten kepulauan terbesar di dunia. 58 pulau. Dan 8 pulau garis depan Indonesia dimiliki oleh Dobo. Cenderawasih pun merupakan salah satu spesies burung cantik yang berasal dari Dobo.
“Ada dongeng tentang Cenderawasih,” kata Karawang,”asalnya dari Dobo. Ketika Cendrawasih terbang ke Irian, si Cenderawasih teh kecemplung di laut, bulunya jadi redup. Makanya Cenderawasih di Dobo masih cerah, tapi di Irian, cenderawasih sudah berbulu buram.”
“Pokoknya di Dobo indah banget. Kita juga dioleh-olehi mutiara Dobo. Wah, sempat snorkling juga lho!” lanjut Johnny sekaligus diiyakan oleh Aries.
Tiba – tiba ada celetukan dari salah seorang anggota tim dorlog BBM timur, “Wah...wah...Dobo itu kan memang pusatnya hiburan untuk Maluku Tenggara Barat. Makanya mereka (tim Dobo) pura – pura ketinggalan kapal tuh.!,”ujar Andreas, sesaat suasana hening, semua mata pun tertuju kepada tim Dobo. Dan tawa pun segera memecahkan keheningan sejenak itu.
“Di sana juga ada pasar ‘cimol’ kaya di Bandung lho,”kata Aries,” tuh Karawang survey cakar bongkar! Di sana dia dapat 2 loreng!”
“Buat seragam PDW (Pendidikan Dasar Wanadri), Beh!,”sambung Karawang.
Mereka ‘terdampar’ di Dobo sejak tanggal 9 – 19 Juni 2008, dan pada tanggal 19 Juni mereka meninggalkan Dobo dengan dilepas isak tangis haru Ibu Darto. Mereka berangkat menuju Tual menggunakan kapal perintis. Aries mengatakan bahwa selama perjalanan menggunakan kapal perintis dari Dobo ke Tual juga merupakan perjuangan tersendiri. Belum lagi karena kendala cuaca.
“Pake kapal barang. Tiga hari digoyang, di kapal Gelap,” ujar Aries
“Sare meureun poek mah! (gelap karena tidur tuh)” Karawang menyela.
”Kita sampai di sana sebenarnya tidak pas waktunya. Sedang masuk angin timur. Di kapal kepanasan. Menunggu kapal lama. Bisa menanti kapal dari pagi sampai sore. Kapal belum merapat pun para penumpang sudah berloncatan,” kata Aries.
“Sagala aya (semua ada) di perahu. Kambing sampai kulkas butut juga ada. Belum lagi wc-nya ampuun,” sambung Karawang,” Tapi syukurlah mereka tiba di Tual dengan selamat. Tanggal 23 Juni 2008 mereka kembali ke Jakarta dengan membawa kenangan Tual-Dobo dalam hati mereka. Pasukan siap tempur ini memberi catatan khusus atas tawaran dari pihak Dispora Dobo yang menginginkan kerja sama dalam rangka pembinaan wawasan kebangsaan pemuda Dobo. Semoga cita – cita mulia ini segera terlaksana....!!

Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora 2008: Tual Dobo

Tual, Dobo, dan Kacang Wanadri
agni malagina

“Saya namakan kacang ini, kacang Wanadri!”
(Bapak Sudarto, Kabandara Dobo)

Erwin Gumay melanjutkan perjalannannya seorang diri setelah meninggalkan Anthony ”Anset” Setiawan di Kisar dan berpisah dengan Andreas Ariano di Saumlaki. Perpisahan dan kesendirian memaksanya untuk terus berjalan menuju titik terakhir dorlog BBM wilayah timur yang harus ia selesaikan, Tual dan Dobo. Sempat timbul keraguan dalam hatinya ketika dalam perjalanan kapalnya melewati ombak tinggi di perairan Aru. Ingin rasanya singgah agak lama di Saumlaki untuk melepas penat, “Tetapi tugas dari puskodal mengamanatkan untuk segera bergerak ke Tual, tetapi kapal tertahan sampai sore, tetapi akhirnya jadi juga berangkat menuju Tual. Malam hari kapal digoyang oleh gelombang ombak, tapi syukurnya sampai juga di Tual, lalu dilanjutkan ke Dobo.”
Tanggal 22 Mei 2008 Erwin tiba di Tual dan segera menuju bandara Dumatubun Tual untuk melakukan serah terima BBM. Erwin kemudian melanjutkan perjalanan menuju Dobo pada tanggal 23 Mei 2008 sekaligus menemui kepala Bandara Dobo – Pak Darto – untuk menyerahkan BBM. Tuntas sudah tugas serah terima BBM. Erwin mendeklarasikan bahwa jalur BBM Larantuka – Dobo dalam posisi GREEN LIGHT! Sempat tinggal di Dobo bersama keluarga Darto, menikmati seafood, jalan-jalan, dan mencicipi kacang buatan Ibu Darto yang belakangan tersohor dengan nama KACANG WANADRI. Erwin pada saat itu diminta merapat ke Saumlaki. Namun kapal Abadi Permai sudah lewat. Sehingga tidak bisa menyusul ke Saumlaki. Setelah 3 hari di Dobo, hari ketiga Erwin setengah memaksa ke Pak Darto untuk pulang. Karena Erwin belum mengadakan koordinasi dengan pihak terkait di Tual. Erwin mengatakan bahwa jika ia tidak keluar pada hari itu, tidak mungkin ada kesempatan keluar dalam waktu dekat. Pada saat itu ada kapal Maruka Ehe, dari Merauke menuju Ambon dan melewati Tual. Erwin memutuskan untuk keluar Dobo bersama Maruka Ehe. Kabarnya, kapal tersebut merapat pukul 12.00 WIT. Ternyata kapal baru berangkat pukul 17.00 WIT menuju Tual. Pak Darto kembali lagi untuk menemani Erwin di Dermaga sampai Erwin berangkat. ”Karena hanya semalam, saya tidak menyewa kamar. Hanya di bangsal saja, di dek 2 dengan tempat tidur dari besi alas matras dalm kondisi berlubang-lubang,” kata Erwin dan melanjutkan, “WC pun tidak ada air, harumya seperti di Abadai Permai, waktu di Abadi Permai tidak mandi 7 hari. Tidak gosok gigi hanya kumur-kumur saja. Untung perjalanan Dobo Tual hanya sebentar!” Tak disangka muncul celetukan, “Wanadri!! Jangankan yang engga ada air, ada air juga pada engga mandi!” Kembali suasana penuh gelak tawa muncul mengingat peristiwa itu. Erwin bercerita bahwa malam itu kapal oleng air masuk. Setelah cukup panik membuang air, kapal tenang kembali. Kisah di dalam ruang kapal Maruka Ehe berlanjut, Erwin bertutur,”pintu kamar mandi yang terombang- ambing gerakan kapal itu membuka menutup. Terus-terusan,tak berhenti. Ada drum sampah besar di dalam kamar mandi. Menjelang malam suara pintu selalu gubrak-gubrak. Seseorang berusaha mengikat pintu dengan tali. Untuk 5 menit pertama aman, tapi kemudian talinya putus.” Akhirnya erwin memutuskan untuk mengikat pintu dengan webbing. Tidak ada orang yang masuk kamar mandi. Namun gangguan lagi terjadi. Drum sampah di dalam kamar mandi beguling-guling. Dengan singkat kata, di dalam kapal tersebut tidak ada ketenangan sedikitpun.
Sesampainya di Tual pada tanggal 27 Mei 2008, Erwin langsung bergerak menuju penginapan dan setelah itu berencana bertemu dengan Bupati Tual, tapi ternyata Bupatinya tidak ada karena sedang ke Jakarta untuk mengundurkan diri dalam rangka mencalonkan diri kembali. Di Tual akhirnya bertemu dengan jajaran militer setempat dan melakukan koordinasi dengan Danlanal yang sangat mendukung kegiatan ini. Koordinasi juga dilakukan dalam rangka penyediaan tim medis, acara penyambutan PKS 205, pembuatan base di Mess AU, pengambilan data cuaca, dan survey akomodasi untuk Kang Ujang.
11 Juni 2008, PKS 205 mendarat di Langgur/Dumatubun Tual dengan sambutan dari warga Tual, jajaran pemerintahan, Pramuka dan lain-lain. Tim yang bertugas di Tual pada saat itu adalah Erwin Gumay, Rudi Faisal (W 681 TL), dan Sura Sasmita Albushiri (AMW 2056 HR). Selesai acara diskusi dan ramah tamah, tim beristirahat. Kang Ujang juga menjalani pemeriksaan kesehatan oleh tim dokter AU. Tanggal 12 Juni 2008, PKS 205 direncanakan terbang menuju Timika. Namun niat tersebut urung karena hujan turun. Pada tanggal 13 Juni 2008 PKS 205 terbang menuju Dobo. Erwin mengungkapkan, ”Ada 2 ketakutan pada saat itu, keadaan di tengah laut dan ketakutan melepas Kang Ujang ke Dobo. Itu beban moral kalau terjadi apa-apa. Ketika tim Dobo mengatakan bahwa PKS sudah mendarat di Dobo, sangat melegakan. Kami bertiga di ATC sangat lega. Hal ini tentu dialami oleh semua tim, rasa aman ketika Kang Ujang mendarat di tempat berikut. Namun tim terdekat dengan pendaratan kang ujang belum begeser untuk menjaga pelbagai kemungkinan. Dengan kawan ngobrol, didatangi kang usol bukan senang, tapi kwatir.” Puskodal pun berkomentar,”semua groundcrew sadar, ketika Kang Ujang mendarat di titiknya, groundcrew akan dilihat dipantau oleh seluruh ’dunia’. Pada saat itu para groudcrew diamati secara batin, visual, dan komunikasi. Semua groundcrew dipantau. Jadi wajar semua groundcrew yang kedatangan PKS berharap ’jangan sampai apes’. Para groundcrew akan berbuat mendekati ideal. Oleh karena itulah tekanan semakin besar. Begitu masuk Timika baru Tual geser. Banyak hal yang dipikirkan groundcrew untuk sesempurna mungkin dalam ekspedisi ini. Dalam keadaan tertakan seperti itu wajar, groundcrew merasa takut. Banyak variabel yang dapat menentukan sikap groundcrew di lapangan.” Syukurlah Kang Ujang sudah sampai di Dobo. Semua lega. Tanggal 15 juni 2008, tim Tual mendapat berita bahwa PKS 205 selamat mendarat di Timika setelah melewati badai aru di atas perairan sepanjang perjalanan Dobo – Timika. Tanggal 16 Juni 2008, tim Tual meninggalkan Tual menuju Jakarta.

Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora 2008: Timika

Timika: Sky Has No Limit, There is No Room for Error! Zero Accident!

agni malagina

Danlanud dan pejabat setempatnya pun merasa haru dengan kejadian ini. Kang Andryana berperan sebagai mata Kang Ujang saat Kang Ujang tidak mampu melihat dalam kepungan badai di atas perairan Arafuru.
(Sandy Taruni, groundcrew Timika)


Jika ditanya dari seluruh lintasan PKS 205 jalur manakah yang menegangkan? Tentu akan dijawab, semua jalur sudah pasti menegangkan.Akan tetapi hasil jejak pendapat menyebutkan bahwa Dobo – Timika merupakan jalur yang paling menegangkan. Hal ini sudah pasti dirasakan oleh groundcrew yang bertugas di Timika. Syarif Hidayat (WK), Fajar Nugroho (W 770 ARA), dan Sandy Taruni ‘Uni’ (Boogie) menceritakan pengalamannya, terlebih ketika hanya ada titik air mata haru saat Kang Ujang melakukan sujud syukur mencium pertiwi di Bandara Moses Kilangin, Timika – Papua.

Tugas mereka di Timika diawali dengan kedatangan trio ini pada tanggal 12 Juni 2008. Tim disambut Kang Andryana (WK) dan diperkenalkan kepada para staf Airfast tempat Kang Andryana bekerja sebagai salah satu pilot Airfast.Tim lalu diantar ke penginapan. Setelah check in dan melakukan rapat singkat pada pukul 10.00 WIT, para groundcrew sepakat bertemu dengan Bapak Bupati dan staf beserta Kapolres setempat untuk berkoordinasi. Pada tanggal 13 Juni 2008, groundcrew berkoordinasi dengan Danlanal dan Danlanud Timika sekaligus mendapat susunan acara untuk penyambutan PKS 205. Selesai koordinasi, groundcrew bertemu dengan tim official (Abah Ukok, Kang Yayoen, dan Rovina). Hari itu juga mereka menyelesaikan koodinasi dengan Muspida Timika. Secara garis besar, persiapan pendaratan PKS 205 dan penyambutannya sudah disiapkan dengan matang oleh Kang Andryana. Berkat koordinasi jauh hari sebelumnya, tugas groundcrew dari Jakarta menjadi ringan. “Bahkan bisa dibilang kita tidak melakukan apa-apa,” Syarif sempat mengungkapkan isi hatinya.

Tanggal 14 Juni 2008, kesibukan di bandara sudah terlihat sejak pagi. Koordinasi dengan groundcrew di Dobo juga terus terjadi sampai Kang Ujang berangkat dari Dobo pukul 06.15 WIT. Untuk masalah BMG, groundcrew Timika sulit untuk mendapat data yang akurat, namun masalah data BMG dapat ditangani oleh Andryana, sehingga groundcrew fokus untuk penyambutan dibantu oleh TNI AD, AU, AL, Pramuka, dan anak-anak sekolah. Suasana mencekam terjadi pada saat Kang Ujang sudah melewati waktu pendaratan di Timika, cuaca mendung dan PKS 205 kehilangan kontak dengan ATC di bandara. Sementara itu Syarif dan Fajar segera membuka akses di bandara untuk dapat kontak dengan Kang Ujang. Perjuangan tidak sia – sia, komunikasi dengan PKS 205 akhirnya terbuka pada 60 mil ke arah Kokonao. Namun pada 30 mil arah Kokonao berita buruk tersampaikan ke ruang komunikasi di atas tower bahwa Kang Ujang mendapatkan hambatan yang serius berupa hujan badai dan awan tebal. Kapten Pilot Andryana mengambil alih ruang ATC di atas tower dan memposisikan dirinya sebagai mata dari PKS 205 yang sudah tidak mampu melihat dalam kepungan badai di atas perairan Arafura. PKS 205 dipaksa untuk bisa sampai di Timika. Sementara groundcrew sempat tegang karena takut Kang Ujang mengalami kecelakaan. Pukul 09.18 WIT ratusan pasang mata menyaksikan suatu mukjizat dari akhir suatu penantian yang mendebarkan, tiba – tiba PKS 205 yang dipiloti oleh Kang Ujang muncul di atas landasan pacu. Semua tertegun termasuk para groundcrew beserta para official. PKS 205 sukses mendarat di bandara Moses Kilangin. Suasana haru biru mengiringi Kang Ujang turun dari dalam pesawatnya dan mereka saling berpelukan.

”Tak seorang pun percaya kalau PKS 205 dapat melewati jalur dengan kondisi medan dan cuaca yang sangat buruk seperti yang baru dialaminya. Saat ini sudah dibuktikan oleh seorang Soleh Sudrajat yang notabene jam terbangnya masih sangat minim, perjalanan tersulit telah dilaluinya. Seorang pilot yang sudah mahirpun bahkan tidak akan memilih jalur ini!!!” ujar Fajar yang sempat menangis ketika melihat PKS 205 mendarat. Sebenarnya bisa saja Kang Ujang memutar balik menuju Dobo, tapi hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena sebelum mencapai Dobo lagi bahan bakar pasti sudah habis. Satu-satunya pilihan adalah maju terus dengan kekuatan yang ada, harus melewati badai, dan berjuang sampai Timika.

Sesaat setelah mendarat, Kang Ujang terlihat pucat setelah mengalami g force (gravity force) – gaya tarik gravitasi yang dapat mengakibatkan kecelakaan terbang, tetapi beliau tetap tenang dan tak terlihat labil setelah kejadian badai yang menimpanya. Pesawat dapat mendarat selamat dengan berbagai kerusakan yang dialami oleh pesawat seperti baling-baling rusak akibat terkena kerikil es di dalam badai (dalam suhu di bawah nol), kabin mesin terisi air, dan kamera metro tv yang rusak. Selanjutnya pesawat segera diamankan di hangar. Pesawat dibersihkan dan mulai diperiksa kelengkapannya. Baling-baling yang ditemukan rusak segera didokumentasikan. Foto pun dikirim ke Puskodal Jakarta untuk dibawa ke Lido dan diperiksa oleh Mas Sutiono (mekanik PKS 205). Saat itu Mas Tio memutuskan bahwa PKS 205 tidak memiliki toleransi untuk terbang. Di udara, tidak diperbolehkan ada kesalahan!


Beratnya medan yang baru dilalui dapat terlihat dari propeller yang rusak cukup parah dan harus diganti demi keselamatan penerbangan. Groundcrew segera mengirim informasi ke Jakarta untuk memberangkatkan Mas Tio sebagai teknisi mekanik yang mendukung lancarnya Ekspedisi Trike ini serta membawa propeller baru yang dipinjamkan oleh Bapak Reni yang sedang berlatih trike di Lido. Selanjutnya Mas Tio datang dari Jakarta untuk mengurus kerusakan yang dialami oleh pesawat. Sesampainya di Timika pada tanggal 16 Juni 2008, Mas Tio terlebih dulu memeriksa propeller, ternyata memang tidak layak terbang. Propeller baru pun segera dipasang. Kang Ujang terlihat kurang puas ujar Mas Tio. Dan begitu propeller selesai dipasang, Kang Ujang langsung mengadakan uji terbang. Selanjutnya pesawat tak jadi berangkat menuju Merauke tepat pada waktunya karena alasan cuaca dan keamanan pesawat. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 2008, pukul 09.40 WIT, PKS 205 terbang menuju Merauke dan singgah bermalam di Agats. Mas Tio menambahkan, penggantian propeller baru rupanya membawa efek pengurangan kecepatan. Propeller yang semula dapat mendorong pesawat sampai dengan 70 mil per jam. Dengan dipasangnya propeller yang daya dorong pesawat hanya menjadi sampai 48 mil per jam. Namun demikian, hal ini menyebabkan pesawat lebih irit bahan bakar. Syukurlah penerbangan Timika – Agats tidak ada masalah dengan teknis pesawat.

Sky has no limit, there is no room for error!!! Dengan kata lain ZERO ACCIDENT!!

Ekspedsi Trike Wanadri Menegpora 2008: Alor

Alor: Penerbangan yang tertunda


agni malagina


Alor menjadi pilihan singgah PKS 205 sebelum pesawat mini ini memasuki Pulau Kisar. Dahsyat W 553 ER dan Anthonius Hutagalung W 861 HR menceritakan pengalaman tim groundcrew Alor menyambut PKS 205 medio 31 Mei - 8 Juni 2008.

Dahsyat mengaku memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan ekspedisi ini. Ia mengatakan bahwa ada semangat kuat yang dimiliki oleh setiap anggota ekspedisi untuk menumbuhkan nilai-nilai kejuangan dan semangat kebangsaan. Ia manambahkan bahwa keberangkatannya bersama Anton tidak hanya membawa semangat Ekspedisi Trike saja. Misi eksplorasi wilayah menjadi salah satu akspek yang menarik dalam perjalannya. Apabila Anton mengaku lebih banyak menghabiskan hari-harinya untuk persiapan teknis pendaratan dan pemberangakatan pesawat Kang Ujang, maka Dahsyat mengatakan lebih banyak berkoordinasi dengan pelbagai pihak sekaligus mengamati bagaimana kondisi ekonomi sosial budaya masyarakat Alor.

Setibanya di Alor tanggal 31 Mei, mereka segera melapor kepada pihak terkait terutama dengan pihak Danlanud Eltari. ”Kita lapor pada pihak-pihak terkait di daerah tersebut. Sebenarnya ada rasa bingung apa yang harus kita hadapi di daerah baru tersebut. Kita menjelaskan misi kegiatan Trike juga termasuk menjelaskan misi tentang penggalangan dana untuk membangun rumah sakit. Saya pikir daerah-daerah perlu memanfaatkan kegiatan ini. Alor juga bisa mempromosikan daerah itu. Ternyata respon dari mereka pun positif,” ujar Dahsyat. Dahsyat mengaku senang berada di Alor, terlebih ketika melakukan koordinasi. Termasuk ketika berhubungan dengan nelayan di Alor. “Angkatan laut cuma punya 1 kapal di Alor. Sedangkan ada ratusan kapal nelayan yang selalu beroperasi. Kita minta ke syahbandar untuk membuka komunikasi dengan para nelayan, untuk meminta dukungan pantau. Semua kapal barang dan ikan memberikan respon positif. Pada saat itu dijelaskan kondisi pesawat yang akan datang dan meninggalkan Alor. Mereka siap untuk memantau perjalanan Trike dari laut Kekuatan yang Dahsyat,” ujar Dahsyat. Pada saat yang bersamaan, keberhasilan koordinasi komunikasi Mali – Kupang tidak dibarengi dengan kelancaran komunikasi Mali – Kisar. Saat itu hubungan dengan groundcrew atas nama Anthony”Anset”Setiawan W 793 ARA terputus.


Kendala komunikasi menjadi catatan penting pada titik pemberhentian kali ini. Tak ingin berpanjang sedih, Dahsyat dan Anton berusaha mengkondisikan lapangan. Koordinasi dengan BMG pun dilakukan jauh hari sebelum PKS on position di Alor. Segera setelah urusan teknis selesai, Dahsyat dan Anton melakukan koordinasi dengan Pemda untuk upacara penyambutan.
Pesawat Trike yang akan mendarat bisa mencuri perhatian pelbagai pihak. Dengan BBM yang tidak mahal, pesawat ini bisa digunakan untuk memantau wilayah daerah sekitar. Dukungan para warga, ojek nelayan dan kelompok – kelompok pemuda pun turut membantu. Mereka ingin terlibat mendukung kegiatan, termasuk menjaga pesawat. Bahkan ketika pesawat sudah mendarat di Alor pada tanggal 4 Juni 2008, lebih dari 1.000 orang berfoto bersama pesawat. Pada saat Kang Ujang beraudiensi pun antusiasme dari para pemuda daerah, dari siswa SMP, SMA, serta para pencinta alam sangat besar. Masalah nasionalisme dan kebangsaan pun menjadi pembicaraan hangat saat itu. Sambutan warga di sana sangat bagus. Kang Ujang bercerita kisahnya terbang dari sabang sampai titik dia mendarat. Semua orang terharu, seperti tersihir.
Rencana keberangkatan Kang Ujang dari Alor menuju Kisar terhambat karena kerusakan pada sistem pelacakan udara (aircraft tracking system).

Akhirnya Anset pun contact tim Mali pada tanggal 5 Juni 2008 pukul 07:00 WITA. Sempat sehari sebelum terbang Kang Ujang dalam keadaan tegang karena sudah 2 hari tertahan di Alor. Mereka juga mengatakan sempat menghadapi situasi sulit menghadapi karakter Kang Ujang yang keras. ”Pernah Kang Ujang ingin berangkat ingin lebih awal. Pun harus dibilang ada jemputan dengan mobil Bupati, tapi Kang Ujang malah nekat naik motor. Terpaksa kita berkelit kepada Bupati dengan alasan Kang Ujang harus menangani pesawatnya sendiri,” kata Anton yang merasa bahwa pada waktu itu tidak bisa berbuat banyak. ”Terjadi kesalahan fatal,” ujar Dahsyat, ”saya lupa membantu petugas radio bandara. Kebetulan kita sudah dekat dengan warga. Dengan segera Bapak penjaga radio tersebut datang sangat awal. Akhirnya radiopun aman.” Alhamdulillah Kang Ujang bisa terbang pada tanggal 6 Juni 2008 menuju Pualu Kisar. Ketegangan sempat terjadi karena Kang Ujang dan pesawatnya sempat menghilang dari pantauan. Namun setelah mendapat kabar bahwa Kang Ujang sudah sampai di Kisar, semua tenang.


Dahsyat yang gemar jalan-jalan pun tak melewatkan kesempatan mengamati keadaan di Alor. ”Saya sempat mengunjungi pulau sekitar Alor. Bahkan ada warga Alor yang tidak tahu daerah tersebut Sangat indah. Tenun pun sangat indah. Seharusnya ada komunikasi dengan warga guna meningkatkan kesejahteraan dengan kegiatan perniagaan. Cengkeh, vanili, kemiri adalah produk yang dapat dijadikan primadona dari daerah ini!” ujar Dahsyat yang sempat menyebarkan ”paham” semangat menanam pohon pada warga.
”Alor memiliki potensi perikanan yang besar juga, perlu diperhatikan!” tambahnya.

Ekspedisi Trike lintas Sabang – Merauke agaknya membawa efek domino permasalahan kebangsaan. Cinta tanah air ......

Ekspedisi Trike Wanadri menegpora 2008: Ewer Agats

Ewer – Agats: Kisah Dewa Udara dari Tanah Jawa
agni malagina


“Bapak, kita semua sudah menjaga landasan ini. Kalo ada apa-apa itu orang kami tombak! Kami ingin melihat Pirsimbit*
(Pemimpin salah satu suku di Agats Asmat)


Setelah di Timika Kang Ujang mengalami perbaikan blade (baling-baling) dan propeler pesawatnya, titik persinggahan PKS 205 selanjutnya adalah Ewer – Agats. Kang Ujang berangkat dari Timika pukul 09.40 WIT, dikarenakan cuaca baru terbuka cerah saat itu. PKS 205 sampai di Ewer – Agats pada pukul 11.20 WIT dengan menggunakan bahan bakar sejumlah 47 liter Pertamax Plus. Tiba di Ewer, 2 orang groundcrew – Sarbini (WK 095) dan Isra Yandi ’Ulil’ (W 751 KL) sudah menanti dengan kisah perjuangan masuk Ewer – Agats yang cukup menegangkan.
Ulil membagi kisah perjalanannya masuk Ewer. Ulil, suami Rovina yang juga ikut mengabadikan perjalanan PKS 205 sepanjang lintasan Sabang – Merauke, awalnya mengaku masuk tim ekspedisi Wanadri – 92 Pulau Garis Depan Indonesia. Ketika ada tawaran masuk Ekspedisi Trike sebagai groundcrew, Ulil langsung bergabung walaupun belum tau akan ditempatkan di posisi mana. Ulil sempat terkejut ketika namanya tercetak dalam lembaran posisi groundcrew dengan posisi daerah di Agats. Tak sempat tau letak daerah tersebut, tapi ia bertekad akan menjalankan tugasnya demi Wanadri.

“Awalnya saya berangkat ke Lampung pada tanggal 1 Mei 2008 untuk menjalankan tugas Dorlog BBM jalur barat Jakarta – Lampung – Palembang – Jambi – Pekanbaru – Dumai – Medan – Lokshemawe – Sabang. Selesai bertugas tanggal 18 Mei 2008, kemudian mendapat tugas ke Agats,” jelas Ulil mendahului kisahnya sampai tiba di Agasts bersama Sarbini.
Seharusnya Ulil dan Sarbini berangkat tanggal 5 Juni 2008, namun pemberangkatan dimajukan menjadi tanggal 2 Juni 2008. Dari Jakarta mendarat di Timika dan sempat disambut oleh Kapten Adryana (pilot helikopter Airfast yang juga menjadi supervisor teknis dalam Ekspedisi Trike). Malamnya Ulil dan Sarbini harus bergerak menuju Ewer. Meraka menyangka sudah ada kapal on position yang sudah siap berangkat menuju Ewer. Ternyata, mereka masih harus menunggu beberapa hari.

”Saya pikir kapalnya ukuran besar, nyaman enak. Ternyata tidak. Kita naik kapal perintis. Kapal kayu kecil. Informasinya kapal akan berlayar selama 12 jam. Ternyata di lapangan sampai 20 jam. Dihantam badai dan ombak besar pula. Kami sampai tidak bisa berdiri,” jelas Ulil dan Sarbini. Kemudian kapal memasuki Teluk Flamingo. Sore hari sekitar pukul 5, kapal masuk perairan Flamingo. Ulil menceritakan bahwa di tengah laut kapal diutar-putar oleh ombak. Ternyata arus bawah membuat kapal berputar-putar sampai 3 kali putaran. Nahkoda sempat menjelaskan bahwa kapal harus mengikuti putaran tersebut. Tidak boleh melawan karena kapal akan terbalik. Sekitar 1 jam, kapal terlepas dari putaran dan kemudian masuk perairan Agats. Masuk Agats, kapal menghadapi 3 muara besar. Kapal pun diputar arus kembali, tapi kali ini Ulil dan Sarbini mengaku sudah tidak panik lagi. Pukul 6.30 sore, kapal sudah merapat di Agats. Kapten kapal dan ABK langsung berdoa, ”Alhamduliah Bapak bisa selamat.” Katanya kapal itu belum pernah membawa orang lain. Duo Wanadri ini sempat terkejut. Namun apa daya, mereka telah selamat tiba di Ewer. Akhirnya kapal bisa bersandar dan dijemput taksi air – sejenis kapal kecil yang menjembut penumpang dari kapal besar untuk menuju dermaga. Diperlukan biaya sebesar Rp 50.000 menuju dermaga ferry. Begitu turun taksi air, Ulil dan Sarbini sudah ditunggu orang – orang angkut dengan gerobak. Mereka berdua berusaha menjelaskan bahwa mereka sedang dalam perjalanan ekspedisi, namun para kuli angkut pelabuhan tidak peduli dan berkata, ”Bapak orang luar to! Hati - hati Bapak bisa mati!” Tak ada hujan tak ada angin Ulil dan Sarbini hanya bisa saling pandang dengan menebar senyum. Mereka memutuskan untuk segera menuju hotel setelah mengontak Kepala Bandara Ewer yang kebetulan sedang berada di Merauke. Kepala Bandara meminta mereka untuk menghubungi perwakilannya, Bapak Philipus. Tak lama menunggu, Bapak Philipus datang dan mengantar mereka menuju hotel Asmat. Mereka mengambil kamar VIP. ”Harganya lumayan. Saya pikir dengan Rp 375.000,- bisa mendapat fasilitas bagus. Wah, tetapi hanya mendapat kipas angin,” ujar Ulil.

Pak Tori, Wakil Bupati Agats, menyambut mereka dengan sangat baik. Waki Bupati Agats ini bercerita tentang Ekspedisi Trike yang dikabarkan akan memasuki daerah Timika, tetapi Pemda Agats tidak mengira bahwa daerah mereka menjadi salah satu titik persinggahan pesawat tersebut. Setelah mereka selesai bercerita, barulah Ulil dan Sarbini mengeluarkan surat tugas Ekspedisi Trike dan menjelaskan misi mereka. Wakil Bupati dan jajarannya terkejut seperti layaknya akan kedatangan menteri atau presiden.”Daerah kita masuk to, mau didatangi pesawat to, harus bagaimana kita?” kata sang Wakil Bupati. Sontak mereka sibuk dan mengadakan kontak dengan pelbagai pihak di Agats dan luar Agats, seperti Timika dan Merauke. ”Ini kesempatan besar, merupakan jembatan memperkenalkan Agats kepada luar!” tambah Pak Tori bersemangat. Tanpa diminta mereka membantu memberikan beragam informasi, fasilitas, dan kemudahan lainnya. Mereka (PEMDA) mengatakan akan memberikan semua yang diperlukan oleh tim Ekspedisi Trike.

Setelah 2 hari di Agats, mereka menemui masalah ganti rugi tanah di sekitar Bandara Ewer. ”Awalnya, perang suku memperebutkan tanah bandara. Ada tradisi di Ewer, jika kita membeli tanah pada A, 20 tahun kemudian anak si A akan menagih urusan tanahnya. Pada saat itu perjanjian jual beli tanah antara bandara dengan si A sudah habis. Dan tanah itu bukan urusan si A lagi, tapi sudah menjadi urusan anak si A. Bandara tersebut dipalang dan dipagari, orang – orang perhubungan hendak kabur malam itu, baru pagi harinya orang dinas perhubungan menyelematkan diri, keluar Agats dengan menggunakan speed boat,” jelas Ulil. Ketika Ulil sampai di Bandara Ewer, ia mengira ada penyambutan khusus untuk tim groundcrew yang datang.

”Ada warga sudah dengan tombak dan panah mengarah pada kami. Saya tidak bertanya lagi apakah ini penyambutan untuk saya. Saya bertanya pada keamanan. Dijelaskan bahwa suasana panas. Saya pikir panas karena cuaca. Ternyata mereka sedang demo!” Ulil menjelaskan ternyata saat itu ada demo menuntut ganti rugi tanah bandara sampai mencapai nominal 60 milyar rupiah. Akhirnya dengan kesepakatan, turun menjadi 2 M. Selama beberapa hari mereka bolak balik Agats – Ewer – Agats untuk menyelesaikan urusan koordinasi.

Mereka memberi laporan dari perkembangan situasi di Ewer – Agats kepada Puskodal di Jakarta. Sempat mereka diperingati Pemda Agats untuk segera meninggalkan Agats apabila selesai bertugas. Namun pesan dari Puskodal mengatakan mereka belum bisa menginggalkan Agats sebelum pesawat mendarat di Merauke. Setelah itu Bupati dan staffnya mengadakan rapat. Pemda mengatakan kepada warganya bahwa akan ada pahlawan dari udara, membawa pesawat kecil, dan akan mendarat di Ewer. Saat itu masyarakat antusias untuk mendukung. Bersamaan dengan itu permasalahan pembebasan tanah sudah dalam posisi aman.

Pesawat tiba di Bandara Ewer – Agats pada tanggal 17 Juni 2008, pukul 11.20 WIT. Sambutan warga sangat luar biasa. Mereka datang dari pelosok-pelosok Agats menuju Bandara Ewer. Ulil dan Sarbini hanya berpesan pada petugas bandara agar pesawat jangan didekati untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan. Ulil menceritakan bahwa saat itu warga sangat kooperatif. Ulil mengenang kata-kata salah seorang pemimpin suku yang datang ke Ewer, “Bapak, kita semua sudah menjaga landasan ini. Kalo ada apa-apa itu orang kami tombak!”

Sarbini menambahkan bahwa banyak tentara yang sudah berjaga-jaga di sekitar bandara. Namun, masyarakat yang berjaga lebih banyak dari tentara. Dan mereka ingin melihat sang pahlawan yang datang dengan pesawat kecil itu. Sekali lagi, mereka mengatakan ingin melihat Dewa Udara. Dewa Udara yang datang dari tanah Jawa. Saat itu warga hanya dapat melihat sang Dewa Udara dari jendela. Ulil menjelaskan bahwa julukan Dewa Udara ini merupakan suatu penghargaan besar dari masyarakat Agats Asmat untuk Kang Ujang, sang pemberani.
Tanggal 18 Juni 2008, PKS 205 bergerak menuju Merauke pukul 06.03 WIT. Setelah pesawat lepas landas, mereka (pimpinan) datang menemui Ulil dan minta ijin untuk pulang. Ulil pun masih bisa mengingat saat itu banyak sekali masyarakat yang keluar dari pinggir-pinggir hutan. Mereka bergerak beriringan berjalan meninggalkan Bandara Ewer untuk kemudian bayangan mereka pun hilang di balik pepohonan rindang. Masih ada beberapa kelompok masyarakat yang masih setia menanti di Bandara Ewer sampai Kang Ujang sampai di Merauke pada pukul 10.23 WIT. Kegembiraan terpancar di wajah-wajah mereka saat Ulil meneriakan bahwa Dewa Udara sudah mendarat selamat sampai di Merauke.

“Apa yang saya dapat dari masyarakat sungguh di luar dugaan. Kita dikatakan telah menyentuh hati masyarakat Agats Asmat. Walau hanya dengan makan bersama mereka, makan dengan daun, minum dengan batok kelapa. Hal itu sama dengan menghargai mereka. Dekat dengan 1 keluarga maka akan dekat dengan seluruh warga suku tersebut. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketakutan saya ada 2, pertama ketakutan dari awal datang sampai pesawat berangkat dari Agats menuju Timika. Kedua, takut mengahadapi masayarakat yang konon masih suka memakan daging orang. Termasuk takut terkena malaria tropicana yang tersohor mampu mematikan korbanya dalam hitungan 1 hari saja. Cerita – cerita seram itu seketika hilang semua, saat selesai misi PKS 205.”

Ulil masih sempat mengamati kehidupan masyarakat Agats Asmat yang terkenal dengan kerajinan ukiran kayunya. Totem – totem yang begitu terkenal hingga mancanegara. Harga barang – barang di Agats sangat mahal. Biaya hidup sehari-hari pun cukup tinggi. Untuk sekali makan dengan menu sederhana bisa mencapai harga Rp 45.000,- sampai Rp. 65.000,-. Sarbini menambahkan bahwa di Agats juga tidak ada transportasi angkutan. Masyarakatnya juga tidak mengenal mobil dan motor. Mereka lebih akrab dengan speedboat dan twin otter – sejenis kapal udara pengangkut penumpang dengan kapasitas kecil. Mata pencaharian masyarakat Agats pada umumnya adalah menjadi nelayan, pengrajin ukiran dan penjual anggrek.

Dalam pandangan Ulil dan Sarbini, perjalanan menjadi groundcrew Ekspedisi Trike lintas Sabang – Merauke mempunyai makna tersendiri. Mereka mengaku dapat melihat keberagaman yang dimiliki Indonesia dan mereka belajar untuk menghargai kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan mereka mengatakan bahwa mereka menjunjung tinggi peribahasa yang mengatakan ”lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” dan ”dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Agaknya peribahasa ini pun sangat kental dirasakan oleh para groundcrew yang bertugas di semua lintasan PKS 205. BRAVO!!!


* Pirsimbit (Bahasa Asmat) memiliki arti Dewa Udara

Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora 2008: Kisar, Babar, Saumlaki, Tual, Dobo

Kisar, Babar, Saumlaki, Tual, Dobo:
Kalwedo Kinabela! Kita Semua Bersaudara!

agni malagina




”Mereka masuk ke titik yang tersulit. Jika mereka tidak bisa tembus maka ekspedisi gagal. Anset terpaksa ditinggal di Kisar. Andreas langsung ke Babar dan Saumlaki, Erwin bergerak ke Tual dan Dobo. Tanpa mereka operasi di timur gagal.” Yemo Wakulu. W 638 TORA
(Ketua Ekspedisi Trike)


Pada hari Kamis, tanggal 8 Mei 2008 diberangkatkan 3 orang anggota Wanadri yaitu Erwin Gumay (WK 078), Andreas Ariano (W 640 BARA), dan Anthony”Anset”Setiawan (W 793 ARA) dari Jakarta menuju Kupang untuk menyambung dorongan logistik (dorlog) BBM dari Larantuka ke arah Timur Indonesia yaitu Pulau Kisar, Pulau Babar, Saumlaki (Kep. Tanimbar), Tual (Kep. Kei)sampai titik terakhirnya Dobo (Kep. Aru). Sebelumnya, dorlog BBM Jakarta – muaLarantuka sudah dilakukan oleh tim dorlog BBM yang terdiri dari Budiono (W 372 RL), Rizal (WK) dan Didi Supriadi (W 789 ARA).
Di sela-sela waktu senggang mereka setelah menunaikan tugas ekspedisi, kami berhasil mendapatkan kisah-kisah behind the scene yang tak mungkin terungkap dalam laporan teknis ekspedisi. Ekspresi, mimik, air muka dari kenangan perjalanan pun menjadi kunci pengungkapan kisah tersembunyi. Penggalan-penggalan kisah riang gembira, haru biru, suka duka, menjadi satu dan tak mungkin terlepas dari perjalanan Ekspedisi Trike Wanadri-Menegpora RI.


Kupang – Maumere – Larantuka
Erwin, Andreas dan Anset berangkat dari Jakarta 09.13 WIB. Berbekal perlengkapan tempur dan surat sakti dari Presiden RI serta Menegpora, mereka sampai di Kupang pukul 13.05 WIT. Pesawat Sriwijaya Air yang mereka tumpangi sempat transit di Surabaya untuk kemudian melanjutkan perjalan ke Kupang. Sesampainya di Kupang mereka melakukan koordinasi dengan pelbagai pihak, salah satunya adalah Dinas Pemuda dan Olah Raga. Pergesaran tim ini diawali dengan pergerakan pada hari Jumat 09 Mei 2008, menuju Maumere dengan menggunakan pesawat Trigana Air, yang sempat transit di Ende. Tiba di Maumere tim dorlog timur sudah dijemput tim dorlog Budiono dkk. Setelah makan siang mereka berpisah. Tim segera bergeser ke Larantuka menggunakan jalur darat dengan menyewa mobil seharga empat ratus ribu rupiah. Sesampainya di Larantuka, mereka segera berkoordinasi dengan Syahbandar untuk mencari kapal menuju Kalabahi, Pulau Alor. Usaha untuk mencapai Kalabahi agaknya merupakan salah satu momen tersulit yang dialami oleh tim ini, karena tidak ada kapal yang bergerak ke Kalabahi dalam waktu dekat. Dalam kondisi tertahan di Larantuka untuk mencari kapal menuju Kalabahi, mereka dihadapkan dengan resiko jarak tempuh yang jauh dan ombak besar. Keadaan tersebut menyebabkan jarang ada kapal yang ke Kalabahi, apalagi untuk sampai ke Kisar. Untuk sementara, mereka bertiga ”menghapus” kata Kisar dari kamus perjalanan mereka. Sebelumnya ada masukan dari Pak Boy staff Dispora Kupang untuk tarik mundur ke Kupang bila ingin melanjutkan perjalanan ke Pulau Kisar, karena kapal yang ke Pualu Kisar ada dari Kupang. Masukan itu kita terima tetapi tidak kita lakukan, mengingat waktu yang akan terbuang. Begitu lama lagi bila kita harus ke Kupang dulu. ”Pokoknya bagaimana caranya ke Kalabahi! Budget tidak mencukupi untuk menyewa kapal yang sangat mahal, pun belum ada kapal yang mengakut orang dan BBM!” sambung Anset dengan nada khawatir. Kasak punya kusuk, mereka mendapat informasi penyewaan kapal nelayan dengan bermacam variasi harga, dari harga 7 juta sampai harga 50 juta. Erwin mengakui pada saat itu kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk menyewa kapal besar yang bernilai sampai puluhan juta. Beruntung Pemda Larantuka yang menunjuk Bapak Isack (Kabag Umum) sangat membantu kelancaran pengiriman BBM ke Kalabahi. Setelah mendapat kapal nelayan yang siap untuk disewa menuju Kalabahi, Pemda Larantuka membantu pembiayaan kapal sebesar Rp. 3.500.000,- dari total biaya Rp. 7.500.000,-. Segera kapal yan membewa 13 orang ABK (anak buah kapal) dan tiga orang Wanadri beserta muatannya meluncur menuju Kalabahi, melalui laut luas dengan ombak yang cukup tinggi – 3 sampai 4 meter.


Larantuka – Kalabahi (Pulau Alor)
Dari Larantuka dengan membawa 15 jerigen Pertamax Plus, mereka tiba pukul 06.00 pagi. Ketika akan memasuki Kalabahi, kapal harus melewati celah yang panjang. Malam itu hujan turun, berkabut dan gelap di sekeliling menambah suasana mencekam dalam kapal. Kapal hanya dibekali GPS (global posistion system) sederhana. Tiada peralatan canggih, setengah manual. Beberapa abk berdiri di depan untuk menerangi jalur dengan lampu senter. ”Kita takut terjadi sesuatu, dalam hati bertanya, akankah sampai di Kalabahi?” ujar Erwin dengan suara sedikit tercekat mengenang perjalanan saat itu. Andreas menambahkan bahwa dalam kondisi sekeliling yang gelap dan hanya berpegang pada GPS, diketahui bahwa di depan telah menanti sebuah pulau karang, pulau yang tersohor dengan nama Pulau Buaya. Entah jalur mana yang harus dilewati. Hanya berbekal pengalaman sang kapten biasa disebut dengan juragan mengemudikan kapalnya melalui medan sulit tersebut dalam tempo 3 – 4 jam untuk mencapai posisi aman. Kecepatan kapal pada saat itu juga diperlambat. Kapten tidak berani memacu kapalnya lebih cepat lagi karena takut menabrak karang. ”Itu pengalaman yang menegangkan, kita tidak bisa tidur. Ombak tinggi memaksa kapal bergoyang kian kemari dalam kecemasan tiada tara. Cemas akan kemungkinan kapal menabrak pulau karang,” Erwin menambahkan. ”Belum lagi kondisi jerigen sudah dalam keadaan menggembung. Kami takut tejadi ledakan. Merokok saja kami harus jauh-jauh dari kamar BBM,” sambung Anset.
Setibanya di Kalabahi, kordinasi dengan Syahbandar juga dilakukan guna memperhitungkan kedatangan kapal untuk perjalanan selanjutnya. Saat itu didapat informasi kapal Nemberala dari Kupang masuk Kalabahi pada hari Rabu tanggal 14 Mei 2008. Tim kembali bergerak. Bergerak menuju Kisar pada hari itu juga pukul 19.31 WITA.


Kalabahi – Kisar
Lepas maghrib menjelang malam, pada hari Kamis tanggal 15 Mei 2008, mereka sampai di Pulau Kisar pukul 18:45 wit yang memiliki nama asli Pulau Yotowawa Taihuli (baca: Deihuli) artinya pulau karang yang terpencil yang dapat dilewati ketika berlayar. ”Kita menyewa kamar dua ratus ribu rupiah, kamar kapten, untuk menyimpan BBM, Supaya BBM tetap aman dan tidak menarik perhatian banyak orang. Belum lagi kami harus memakai trik dengan mengatakan jerigen tersebut berisi oli kapal. Kan tidak boleh membawa BBM menggunakan kapal reguler yang mengangkut penumpang,” ujar Andreas. Setibanya di Kisar, tim melakukan koordinasi ke syahbandar dan pada saat itu mereka memperoleh informasi bahwa akan ada kapal Abadi Permai masuk Pelabuhan Kisar. Tim yang baru tiba di Kisar malam hari mengakui sangat sulit mengenali medan Kisar saat itu. Beruntung koordinasi dapat dilakukan dengan bantuan Babinsar – Pak Athen. Keesokan harinya tim berkoordinasi untuk kegiatan drop BBM. Sayang pada saat itu tidak ada kegiatan penerbangan di bandara Kisar – hanya senin, kamis dan jumat ada penerbangan. Pada saat itu juga kepala bandara Kisar Bpk. Josua Surlia sedang berada di Tual. Serah terima BBM dilakukan dengan bantuan Pak Athen dan Nona Atha. Segera Pak Athen menghubungi Nona Atha sebagai ATC dan petugas harian yang membantu kelancaran di lapter (lapangan terbang).
Malam itu juga tim ini mengadakan evaluasi pergerakan dan rencana keberangkatan esok hari dengan kapal Abadi Permai yang akan segera berlabuh di Kisar menuju Pulau Babar. Dengan memperhatikan perhitungan waktu, tim akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Anset di Pulau Kisar, seorang diri saja. Sebelumnya sempat ngobrol dengan Bapak. Ampi (Dephub Darat Saumlaki) di penginapan Vilien Jaya, karena beliau sudah 2 minggu terdampar di Pulau Kisar disebabkan salah perhitungan transportasi yang tidak bisa ditebak kapan kapal berlabuh dan kapan kapal berlayar, sedangkan Andreas dan Erwin akan melanjutkan perjalanan menuju Pulau Babar, Saumlaki, Tual, dan Dobo. Keputusan tersebut diambil karena apabila mengikuti rencana awal, bila Anset mengikuti perjalanan ke Pualu Babar, Saumlaki, dan Tual, maka Anset yang bertugas di Kisar akan datang pada hari yang sama ketika PKS 205 tiba di Kisar. ”Saat itu bisa kejadian Anset yang disambut Kang Ujang lho...! Kalau Anset tidak tinggal mungkin akan terjadi Kang Ujang yang menyambut kedatangan groundcrew, bukan groundcrew yang menyabut PKS 205!” celoteh Erwin Gumay. Disambung dengan celetukan Pangkodal,”Hayang ditampiling kitu ku Kang Ujang (Mau ditempeleng oleh Kang Ujang?).” Derai tawa saat wawancara berlangsung pun tak terelakkan. Keputusan meninggalkan Anset di Pulau Kisar diakui Erwin dan Andreas sebagai keputusan yang sangat berat. Dalam waktu singkat harus membuat keputusan yang mengharuskan keduanya meninggalkan si bungsu sendiri di sebuah pulau yang baru dikenalnya sehari pada tanggal 16 Mei 2008. Seorang Anset masih mengingat akhir perpisahannya dengan Erwin Gumay dan Andreas Ariano yang akan menaiki kapal Abadi Permai siang itu. ”Hanya 3 kata yang diucapkan Andreas, HATI-HATI, JAGA DIRI, WANADRI! sisanya hanya tatap-tatap mata dengan kilatan yang hendak menyampaikan isi hati,” kenang Anset.



Kisar – Babar
Perjalanan menuju Pulau Babar berlanjut setelah meninggalkan Anset di Pulau Kisar. Dengan menumpang kapal Abadi Permai, Andreas bersama Erwin Gumay melanjutkan perjalanan ke Saumlaki, Pulau Tanimbar. Perjalanan dari Kisar menuju Babar, kapal sempat melalui Kepulauan Leti yang terkenal dengan koleksi rempah-rempahnya macam pala, kemiri, lada, dan lain-lain. Dengan kondisi laut yang agak ramah, ketinggian ombak hanya mencapai 3 meter, dan peralihan angin timur, kapal tidak mengalamai hambatan yang berarti. Hanya saja kondisi kapal yang mirip pasar induk Kramat Jati, sempat membuat 2 orang laki-laki ini cukup gentar menghadapi riuh rendahnya suasana. ”Ada sosok mahsyur di kapal ini, Si Gondrong namanya! Dia itu orang terkenal di sepanjang jalur Surabaya – Tual! Raja mabuk tapi baik hati, petangguh yang disegani orang-orang sepanjang jalur perjalanan Abadi Permai!” celetuk Andreas dan Erwin. ”Bersamanya kami aman. Walau sangar dan gahar, hatinya lembut bak hati seorang pujangga!” sambung Erwin. Perjalan Kisar – Babar menghabiskan waktu selama 2 hari. Menuju dermaga Tepa yang terletak Babar bagian utara, kapal menyusuri selat di antara Pulau Wetar (baca:Wetang bahasa daerah) dan Pulau Babar. Suasana siang itu sangat indah. Ibarat sekali merengkuh dayung dua pulau terlampui, keindahan pesisir Pulau Babar dan Pulau Wetang pun dapat dinikmati dalam sekali laju si Abadi Permai. Ketika itu sore menjelang, dari kejauhan Pulau Babar seperti tidak berpenghuni, banyak pegunungan. Lautnya jernih, air kebiruan, dan abadi permai meluncur sampai dermaga Babar yang terletak di Tepa (ibu kota kecamatan Pulau – Pulau Babar). Di kota yang cukup ramai, jalan protokol di penuhi toko-toko milik etnis Cina, mereka hanya sempat melakukan drop BBM selama 2 – 3 jam, itu pun dengan kuasa Camat Tepa (Bapak Ari KiliKili) untuk menghentikan kapal Abadi Permai untuk tetap setia menanti 2 orang pahlawan yang sedang dijamu dan ber-kalwedo-ria bersama Pak Camat. Perjalanan pun dilanjutkan setelah menurunkan bbm 2 jerigen 40 liter di Babar. Erwin dan Andreas bergerak menuju Saumlaki dengan membawa 9 jerigen BBM.



Pulau Babar – Saumlaki (Ibukota Kepulauan Tanimbar)
Duo Wanadri beda angkatan beda usia ini mengaku sudah matang dan sangat kompak di lapangan. Pengalaman dan jam terbang yang cukup agaknya mampu mempertemukan dua orang penggemar seafood ini dalam perjalanan laut yang sangat panjang. Saling mengisi dalam pelbagai hal, bahkan mengambil tindakan pun dilakukan secara bersama-sama. Termasuk keputusan bersama ketika harus menghadapai tradisi Kalwedo! Kesepakatannya adalah Erwin harus mengikuti tradisi minum Sophie – sejenis arak – dari Babar. Ditambah mereka pun memutuskan untuk tidak mandi selama seminggu ketika dalam perjalanan dari Kisar menuju Babar. ”Dengan gaya dinginnya Erwin mengatakan, Ndre, gw udah niatin 1 minggu enggak akan mandi!” kata Andreas sambil menjelaskan bahwa kondisi kamar mandi di kapal sangat buruk plus menggunakan air laut. Perjalanan mereka menuju Saumlaki sering dibarengi celetak-celetuk lucu keduanya dalam menghabiskan waktu memerangin kejenuhan di perjalanan. ”Kadang Erwin tampak sering melamun, kangen sang anak,” kata Andreas, lajang berusia 35 tahun yang mengaku jenuh tertahan dalam jarak langkah terbatas dalam kapal. Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari 2 malam, mereka tiba di Saumlaki. Pertama kali tiba di dermaga Saumlaki mereka segera mencari penginapan dan membawa 4 jerigen BBM untuk titik pendaratan Saumlaki. Sisa jerigen ditinggal di dalam kamar khusus Abadi Permai karena Abadi Permai berencana bermalam di Saumlaki. Hari itu juga Kisar tetap menjadi agenda penting bagi kedua Wanadri spesialisasi gunung hutan. Anset yang ditinggal di Kisar sampai saat mereka merapat di Saumlaki belum juga dapat dihubungi. Sempat selama 7 hari sejak Anset berdiam di Kisar, komunikasi Jakarta – Kisar, Kisar – Saumlaki terputus. Keberadaan Anset sempat menghilang dari jaringan komunikasi, sampai akhirnya Kodim Maluku Tenggara Barat (MTB) berhasil mengadakan kontak dengan Anset dan disambungkan ke Andreas. Setelah tersambung dengan Kisar, semua tenang. Setelah itu Andreas tinggal di Saumlaki, Erwin melanjutkan perjalanan menuju Tual dan pemberhentian terakhir dorlog BBM di Dobo.


Saumlaki – Tual
Perpisahan antara Andreas dan Erwin tidak seharu ketika duo gaek ini meninggalkan Anset di Pulau Kisar. Hanya dengan tatapan tau sama tau, mereka pun berpisah. Pengalaman dan jam terbang terujilah yang mengantar keberangkatan Erwin. Tak disangka tak dinyana Kapal Abadi Permai yang direncanakan berangkat siang itu pada hari Selasa tanggal 20 Mei 2008, karena ternyata terjadi kesalahan teknis pemberangkatan pun dialihkan sore esok harinya. Mungkin karena pertimbangan maju salah mundur pun salah, Erwin memutuskan menghabiskan malam itu di kamar kapal. Perjalanan dari Saumlaki menuju Tual cukup panjang. Erwin dihadang gelombang tinggi yang membuat kapalnya selalu oleng. “Televisi yang ada di rak dekat tempat tidur saya sampai jatuh! Untung tidak menimpa kaki saya! Dahsyatnya gelombang itu!” ujar Erwin. Saat pemberangkatan selanjutnya kapal pun berlabuh di dermaga Tual lewat tengah malam. Karena terbentur oleh jarum jam yang menunjuk angka 02.00 WIT, Erwin pun memutuskan menunggu waktu shubuh. Sekitar pukul 06.00 WIT pagi, ketika mentari mulai memunculkan serabut kemerahannya, Erwin menghubungi saudara kawannya di Tual. Tak lama kawan itu pun datang menjemput. Siang harinya, BBM diserahkan kepada Danlanud Tual. Segera setelah bukti serah terima ditandatangani, Erwin mengejar kapal yang akan mengantarnya ke titik akhir perjalanan yang melelahkan – Dobo.


Tual – Dobo
Bagi Erwin, Dobo layaknya tugas terakhir yang harus ia penuhi. Kejenuhan, kegelisahan, dan keraguan pun menjadi kawan seperjalanan tim dorlog BBM Larantuka – Dobo. Tak jarang mereka harus melawan goyangan ombak di atas kapal, tidak bisa tertidur walau hanya sekejap. Kadang mereka pun harus menghadapi kondisi alam yang tak bersahabat. Mereka pun harus menahan rindu kepada orang yang terkasih. Entah berapa banyak rasa yang mereka miliki kala itu. Hanya semangat ekspedisi, hakekat dan janji Wanadri yang meneguhkan hati mereka. “Sudah sampai Tual, segera menuju Dobo,” kenang Erwin. “Sementara itu rasa ketakutan kami apakah kami akan selamat sampai tujuan juga terlintas, karena ada beberapa hal yang mengganggu sampai perjalanan ke Dobo. Gelombang di Laut Aru begitu terkenal tinggi juga ikan hiunya yang terkenal banyak dan sangar di daerah ini,” tambahnya sambil meringis seakan menelan ketakutan dan kekhawatirannya supaya pecah dalam perut.
Kisah punya cerita, tibalah Erwin di Pulau Dobo dan berhasil menyerahkan BBM kepada kepala bandara Dobo yang sering dipanggil Pak Darto. Perjalanan tugas dorlog BBM Larantuka – Dobo tunai sudah. Malam itu Erwin menikmati hidangan seafood. Erwin ditantang untuk memakan 5 buah lobster sekaligus. Tak berdaya, Erwin hanya bisa menghabiskan 3 ekor lobster yang disediakan. Celetuk kembali terdengar saat itu, ”Aaaaah...bukan Wanadri lu, Win!” Erwin kemudian berbincang dengan Pak Darto sambil memakan kacang goreng buatan ibu Darto. Penasaran Erwin menanyakan rahasia kelezatan kacang goreng tersebut tapi Ibu Darto diam seribu bahasa. Rasa penasarannya dilampiaskan dengan memakan kacang tersebut dengan serius. Kacang pun habis laris manis. “Saya namakan kacang ini Kacang Wanadri’” ujar Pak Darto. Gelak tawa menyertai suasana wawancara dengan Erwin sore itu. Celetukan celoteh jail para anggota Wanadri yang kebetulan ikut mendengarkan cerita WK ini ikut
menambahkan informasi terbaru, “Iya, dari Larantuka ke Kalabahi kita juga pake Kapal Wanadri!!” Selidik – selidik dengan membongkar koleksi foto digital perjalanan Larantuka – Kisar, ternyata kapal Wanadri adalah kapal nelayan yang dipasangi bendera Wanadri. Kira-kira hal ini mungkin bisa dikategorikan kepada “klaim sepihak” para caraka Wanadri yang gemar berseloroh.
Mengamati perjalanan ketiga orang groundcrew ini seperti mengamati mozaik pecahan-pecahan kisah hidup mereka selama puluhan hari. Anset dengan 41 hari perjalanannya, Andreas dengan 45 harinya, dan Erwin dengan 41 harinya merupakan rekapitulasi kisah yang tiada mungkin dituliskan kembali hanya dalam 16.000 karakter Times New Roman untuk menembus ruang dan waktu saat ini. Hanya ada rasa yang diungkapkan untuk melengkapi laporan teknis para groundrew. Rangkuman perjalanan tim dorlog BBM Larantuka, Kalabahi, Kisar, Babar, Saumlaki, Tual, Dobo ini barulah menjadi awal kisahan dari Anthony Setiawan, Andreas Ariano, dan Erwin Gumay.


“Sedikit yang kami berikan, tapi semua itu tulus dilakukan untuk Indonesia.”
WANADRI JASAMU ABADI !!!