Jumat, 28 November 2008

Ungkal Biang: Memoar Eksistensi Seni Tradisi

Ungkal Biang: Memoar Eksistensi Seni Tradisi


Agni Malagina

Sebuah prosesi unik bernama Ungkal Biang telah dilaksanakan di sebuah tempat yang dikelilingi 78 titik situs bersejarah berupa menhir, dolmen, punden berundak, batu tapak, batu dakon, batu kursi, sumber mata air suci, Sindangabarang Bogor. Sebuah tempat yang dihembusi titik air dari Gunung Salak itu, Minggu, 16 November 2008, ungkal biang (batu induk) berupa batu tugu ciri penanda berdirinya sebuah kampung adat ditegakkan.

Sejarah ungkal biang konon sudah ada sejak jaman kerajaan Pajajaran (923 – 1579). Pada saat Sri Baduga Maharaja (1482-1521) memimpin, ia menancapkan ungkal biang disamping prasasti Batu Tulis – Bogor sebagai penanda masa kepemimpinannya. Beberapa kampung adat sunda pun memiliki ungkal biang sebagai penanda keberadaan kampung tersebut, seperti kampung Tegal Umbu di Banten Selatan misalnya. Pupuhu (ketua adat) kampung budaya Sindangabarang – Ahmad Mikami Sumawijaya – pun menegaskan bahwa ungkal biang ini juga merupakan lambang persatuan lembur (desa) Sindangbarang.

Memilih batu tugu merupakan salah satu hal yang cukup sulit. Pupuhu yang akrab dipanggil Rama Maki pun dibantu oleh budayawan Sunda – Anis Djatisunda – dalam menentukan batu tugu. Ungkal biang pun diperoleh tak jauh dari titik Taman Sri Bagenda dan Sumur Jalatunda yang sudah diresmikan menjadi situs purbakala oleh dinas pariwisata kabupaten Bogor. “Ungkal biang diangkat dari pinggir sungai oleh 30 orang,”ujar Abah Encem, sesepuh adat Sindangbarang. Prosesi dimulai dengan acara menegakkan ungkal biang. Susah payah para kokolot mendirikan batu dengan menggunakan tuas dan tambang, tiada teknologi modern ikut serta dalam pengangkatan batu tersebut. Batu tugu pun segera berdiri dengan kokohnya sembari disirami air kembang 7 mata air yang dianggap keramat bagi warga Sindangbarang sebagai simbol penghilangan energi buruk yang ada dalam batu tersebut. Prosesi di sekitar ungkal biang ditutup dengan melontar ayam jago putih ke udara. Upacara pagi hari itu pun diakhiri dengan upacara murag tumpeng atau makan tumpeng bersama.
“Tadi pada saat prosesi ada elang melintas kan?” tanya Pupuhu. Saya spotan mengiyakan. ”Itu leluhur yang ikut menghadiri upacara,”sahut Rama Maki dan menambahkan bahwa upacara menegakkan batu tugu bukanlah bentuk penyembahan terhadap batu,”ungkal biang ini hanya memoar untuk anak-cucu, bahwa di sini berdiri kampung budaya Sindangbarang.”

Pada saat yang bersamaan, semua yang hadir dalam upacara yang hanya sekali dilaksanakan oleh sebuah kampung adat itu pun dihibur oleh pelbagai kesenian Sunda, hasil kreativitas dan kontemplasi para seniman Kampung Budaya Sindangbarang yang tergabung dalam Padepokan Giri Sunda Pura. Jaipong, reog, dan angklung gubrak (dipalajari dari seniman di daerah Cipining) pun menjadi andalan kesenian kampung budaya yang baru mengalami proses revitalisasi pada tahun 2007. Rampak pencak dan parebut seeng yang memiliki dasar seni beladiri Cimande juga turut dikembangkan menjadi seni pertunjukan. Di kampung yang juga memiliki ratusan pengrajin sepatu inilah, seni tradisi Sunda dikembangkan. Sebuah usaha untuk membentuk ketahanan budaya dengan proses modifikasi sebagai penyesuaian terhadap tuntutan masyarakat yang dekat dengan paradigma globalisasi. Komodifikasi seni tradisi pun menjadi salah satu alternatif untuk menggenjot gairah berkesenian. Sembari tetap berharap, seni tradisi tetap eksis bersama berdirinya sebuah replika kampung adat. Kreativitas atau revitalisasi berkesenian bukan untuk menghilangkan budaya tradisi, namun membuatnya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang dekat berbaur dengan kekinian.

Tidak ada komentar: