Senin, 24 Juni 2013

Cap Gomeh di tanah Timor: Meramu kesadaran menciptakan harmoni multikultur

Beberapa saat lalu baru saja kita memasuki tahun Kelinci, Imlek 2526. Jika perayaan Imlek tidak tampak hingar bingar, maka lain dengan perayaan Cap Gomeh, yaitu perayaan 15 hari setelah Imlek yang diisi dengan pawai-pawai budaya. Perayaan Cap Gomeh di Indonesia perlu diamati sebagai sebuah gejala budaya multidimensi. Mari kita tengok berita beberapa tahun belakangan. Cap Gomeh dirayakan secara besar-besaran di beberapa titik pusat komunitas etnis Tionghoa seperti di Medan, Pontianak, Singkawang, Makassar, Jakarta, Bogor, Semarang, dan Surabaya. Parade pawai – gotong toapekong, atraksi liong dan barongsai, serta tatung-tatung – yang menelan perhatian dan dana yang cukup besar sehingga festival Cap Gomeh menjadi ikon perayaan budaya sebuah kota maupun propinsi. Singkawang terkenal dengan Festival Cap Gomeh yang sudah menjadi bagian integral dari masyarakat Singkawang sejak masa orde lama dan orde baru. Pada masa orde baru, pawai Cap Gomeh tidak berhenti total. tetap semarak walaupun dalam skala kecil. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Pulau Jawa, kegiatan pawai Cap Gomeh ini nyaris tidak pernah terjadi selama kurang lebih 30 tahun masa pemerintahan Orde Baru. Lain dulu lain sekarang, pawai Cap Gomeh sudah menjadi konsumsi publik nasional. Bogor contohnya yang telah berhasil menyelenggarakan pawai Cap Gomeh 4 tahun berturut-turut dengan mengusung semangat multikultural dalam kegiatannya. Kegiatan yang selalu diawali dengan upaca potong lidah ini kemudian dilanjutkan dengan pawai keliling kota. Menarik karena dalam pawai ini dapat terlihat kelompok kesenian sisingaan dan kelompok adat kampung sunda yang ikut meramaikan pawai. Atau mari kita lirik kegiatan pawai di Jakarta beberapa tahun lalu, selain toapekong barongsai liong, terlihat pula grup reog ponogoro, kelompok tarling Cirebon, atau penari-penari dari Jawa Tengah. Menarik, bahwa pawai Cap Gomeh menjadi ‘melting pot’ meminjam istilah dalam multikulturalisme yang populer di Amerika. Hal ini kemudian diperkuat dengan slogan kegiatan seperti ‘Pesta Rakyat’ pada pawai Cap Gomeh di Bogor, Jakarta, Makassar, Ternate, dan lain-lain. ‘Pesta Rakyat’ ini digunakan sebagai slogan kebersamaan, bahwa perayaan Cap Gomeh bukan saja menjadi perayaan di kalangan etnis Tionghoa saja, melainkan pula perayaan milik seluruh masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional. Budaya ketiga dari transnasional diaspora etnis Tionghoa di Indonesia berusaha untuk mengadopsi konsep multikulturalisme dengan menggandeng pelaku-pelaku seni tradisi dari etnis lainnya. Secara sederhana, multikultur agaknya dipahami sebagai ‘kebersamaan’ dalam konteks menampung kegiatan seni tradisi multietnis dalam sebuah pawai yang nota bene merupakan pawai Cap Gomeh. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik ketika peristiwa pawai Cap Gomeh menjadi lokal atau dilokalkan akibat proses difusi multikultural yang menjadi salah satu agenda pemerintah Republik Indonesia. Fenomena yang sama pun terjadi dengan didirikannya anjungan Tionghoa dan rumah ibadah Klenteng di komplek Taman Mini Indonesia. Tak kalah menariknya ketika anjungan Tionghoa TMII pun mengadakan kegiatan menyambut Cap Gomeh dengan pelbagai acara seperti pameran, pertunjukan seni, dan gerai ramal meramal. Wacana multikultural yang dilokalkan mejadi salah satu ciri khas multikultural di Indonesia yang berusaha mengumpulkan bermacam manusia Indonesia berlatar suku, ras, dan agama yang berbeda. Etnis Tionghoa yang terlupa di tanah Timor Jika titik komunitas etnis Tionghoa tampak solid di beberapa daerah yang telah disebutkan di atas, tak ada salahnya jika kita tengok persiapan perayaan Cap Gomeh di sebuah kota kecil yang bernama Atambua. Sebuah kota kecil yang terletak di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), tepat di perbatasan Republik Indonesia – Timor Leste. Sampai saat ini, belum ada kajian studi Cina yang mendalam tentang etnis Tionghoa di daerah ini. Padahal, etnis Tionghoa di daerah kecil ini memegang peran penting dalam perekonomian transnasional lintas batas RI-Timor Leste. Kebanyakan mereka memegang peran penting sebagai pedagang perantara antar negara yang menyuplai bahan kebutuhan pokok, elektronik, bahan bakar, sandang, furnitur dan pelbagai macam kebutuhan warga Timor Leste. Tak pelak, perputaran uang di lintas batas ini sangat besar. Selain bidang ekonomi, etnis tionghoa Atambua pun sangat aktif berkegiatan politik. Data menunjukkan setengah dari anggota DPRD kabupaten Belu adalah keturunan Tionghoa. Jika etnis Tionghoa di Atambua tetap dijuluki pemain ekonomi handal memang masih tepat – sesuai dengan peran mereka sebagai pedangang perantara (Bonacich, 1973 menyebutnya sebagai middleman minorities) sejak masa kolonial – namun kenyataan ini berbanding terbalik dengan pemertahanan budaya leluhur mereka. Menarik ketika memperhatikan fenomena kebudayaan etnis tionghoa di kantong-kantong etnis tionghoa seperti Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar yang tampak hingar-bingar setiap tahun merayakan Imlek dan Capgomeh. Hal sedemikian rupa tidak terjadi pada kelompok tionghoa di Atambua khususnya, NTT pada umumnya. Kebanyakan etnis tionghoa di daerah ini asing dengan kata ‘tionghoa’. Hal ini disebabkan kebanyakan dari mereka adalah keturunan dari pedagang-pedagang Cina Makau dan Hongkong yang sudah melakukan perjalanan perdagangan pada abad 14 untuk mendapatkan kayu cendana dan lilin terbaik di dunia dari tanah Timor. Atapupu sendiri merupakan bekas pelabuhan ramai yang diakui dunia karena nama Atafufus (Atapupu) dapat ditemukan dalam peta dunia yang dibuat oleh Diego Ribero pada tahun 1539. Kemudian banyak di antara mereka menikah dengan putri-putri raja Timor dengan sistem kawin masuk (naik rumah/saenona), dengan kata lain, setelah menikah, seorang pria Tionghoa akan menanggalkan marganya, bahkan anak-anaknya kelak akan menggunakan nama keluarga ibunya. Nama Tionghoa boleh diberikan sebagai alias dan dianggap tidak sah. Dimulai dari sini, pemertahanan budaya etnis tionghoa yang memegang teguh garis keturunan laki-kali (patriarki) di tanah Timor seolah memudar. Terbukti pula, tidak ada klenteng tua yang bertahan di daratan ini. Sumber tutur lisan pernah menyebutkan adanya klenteng di Atapupu (Atambua), saat ini masih tersisa pondasi yang diyakini sebagai bekas klenteng yang dibangun pada tahun 1512. Kemudian pemiliknya menjual tanah dan bangunan tersebut pada misi gereja Portugis pada tahun 1883. Satu-satunya yang tertinggal di tanah Timor adalah Rumah Abu Keluarga Lay yang terletak di Kupang, berdiri sejak tahun 1865. Tradisi yang nyaris pudar Imlek di Atambua tampak sunyi senyap. Seolah mengikuti sepinya hari Imlek di seluruh dunia. Namun aktivitas etnis tionghoa yang banyak menganut agama Katolik (serani tua) atau Kristen (serani muda) dalam merayakan tradisi leluhur masih berjalan. Dalam kelompok mereka pun terbagi antara yang tidak lagi menjalankan tradisi dengan yang masih dan atau mencoba merevitalisasi tradisi leluhur. Beberapa kelompok kelompok yang lebih suka disebut keturunan Cina bukan Tiongha, mengatakan bahwa mereka merayakan Imlek dengan acara keluarga, saling mengunjungi sanak saudara. Cap Gomeh? Tidak, tidak ada perayaan sama sekali. Kebanyakan dari mereka menggunakan momen Cap Gomeh untuk berkumpul dengan keluarga, makan kue bulan, dan menceritakan makna makan kue bulan di hari ke 15 Imlek. Generasi tua selalu menceritakan sejarah kedatangan nenek moyangnya sampai terjadi asimilasi sempurna yang menurunkan etnis Tionghoa bermarga Bitin Berek, Halitaek, Sally, Umaklaran, Surik, Mahakbas, Pareira, Lopez, da Silva, da Costa dan lainnya. Mereka hidup di tanah Timor dan menjadi orang Timor. Mereka menyambut tamu sahabat dengan sirih pinang. Mereka pun hidup berdampingan dengan masyarakat suku asli Timor. Tiada persiapan pawai Cap Gomeh atau bahkan tari barongsai yang telah mengglobal dari pusat perbelanjaan sampai panggung kampanye partai politik. Sungguh berbeda dengan fenomena kecinaan di Indonesia bagian barat yang nyaris selalu dililit konflik SARA. Mari kita kembali melihat pudarnya tradisi dan orientasi budaya Tionghoa di Kabupaten Belu – Atapupu, Atambua, Besikama – yang disebabkan banyak faktor, diantaranya adalah faktor asimilasi sempurna dan agama. Selain memeluk Katolik, banyak juga di antara para keturunan Tionghoa ini memeluk Islam. Mereka hidup rukun dan meminimalisasi konflik antar etnis yang mungkin terjadi di antara mereka. Toleransi beragama dan tenggang rasa di antara masyarakat kabupaten Belu terasa sangat tinggi, minim hubungan mayoritas-minoritas. Gambaran ini sangat jauh dari maraknya konflik berbau SARA yang sedang ramai dibicarakan semenjak kasus penyerangan pada kelompok Ahmadiyah di Banten, maupun kasus insiden Temanggung yang mengakibatkan rusaknya beberapa gereja. Agaknya masalah SARA di Indonesia perlu ditengarai sebagai hal penting dan tidak boleh diabaikan oleh pemerintah dalam menjaga stabilitas NKRI. Peran seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan keharmonisan bernegara pun tak kalah penting. Permasalahan struktur dan kultur dalam konflik SARA perlu ditelisik lebih lanjut dengan meningkatkan semangat toleransi dan tenggang rasa dalam tatanan sosialisasi bernegara. Apakah momentum 10 tahun desentralisasi di Indonesia dapat menguatkan bangsa sebagai bagian ‘kampung global’ yang mengedepankan semangat menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)? Apakah semangat reformasi hanya digunakan untuk mengumbar kebebasan berpendapat dan beraksi sehingga menimbulkan anarki? Selamat menikmati lontong Cap Gomeh! agni malagina, pengamat naga Februari 2011

Geliat Barongsai nan Eksotis: Dari global ke lokal, kembali ke global

Satu hal yang mencolok terjadi setelah Peristiwa Mei 1998 adalah munculnya Barongsai dan tarian singa dan naga di banyak kota di Indonesia. Mula-mula hanya pada perayaan tahun baru Imlek saja tarian itu diperagakan. Tapi selanjutnya tarian Barongsai (demikian disebut di Indonesia) diperagakan di banyak kesempatan. Misalnya, pada kesempatan pembukaan sebuah mall, atau peristiwa-peristiwa penting semacam pembukaan pesta olah raga, pawai di jalan protokol, dan lainnya. Dengan kata lain terjadilah boom tarian Barongsai, suatu hal yang mengagumkan, karena untuk jangka waktu yang amat panjang (30 tahun) tarian ini dilarang sama sekali diperagakan di tempat umum di seluruh wilayah Indonesia. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh Presiden Abudrahman Wahid tarian Barongsai segera hidup lagi dan menjadi atraksi yang memikat di seluruh Indonesia. Saat ini di banyak kota Indonesia telah muncul banyak kelompok penari Liong (Naga) dan Barongsai, yang berciri profesional bahkan kormersil. Tak dapat diingkari bahwa maraknya tarian Barongsai ini akan menghubungkan Indonesia kepada gejala yang sama yang terjadi di seluruh kota-kota di Asia Tenggara yang didiami oleh etnis Cina. Di Kuala Lumpur misalnya diadakan lomba Barongsai internasional, yang mempertemukan kelompok Barongsai di Asia Tenggara. Peristiwa ini dengan sendirinya menghubungkan kelompok-kelompok serupa yang ada di Hong Kong, Taiwan, bahkan juga Daratan Cina. Lewat kelompok Barongsai ini Indonesia terhubung dengan simpul-simpul yang mementaskan tarian Barongsai. Tulisan ini bermaksud menanggapi geliat Barongsai yang sedemikian menggejala di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ini merupakan ekspresi kebebasan yang dialami oleh etnis Cina akibat Reformasi 1998? Ataukah ini merupakan kegiatan yang setelah 10 tahun sebenarnya sudah meluas, tidak ada terbatas pada etnis Cina, tapi telah menjadi ekspresi kebudayaan orang Indonesia pada umumnya? Makalah ini memaparkan tentang barongsai, tidak termasuk tari liong didalamnya. Pada bagian pertama dari makalah ini menyajikan asal usul tarian singa yang lebih sering kita kenal sebagai Barongsai. Bagian ini akan menguraikan sejarah tari singa di negeri asalnya, Cina. Pada bagian kedua diuraikan perkembangan Barongsai di Indonesia dengan menggunakan data wawancara yang dikumpulkan pada bulan Mei 2009 karena sumber tertulis masih sedikit yang dapat diperoleh.[1] Sementara pada bagian ketiga akan diuraikan bagaimana wacana Barongsai yang menggeliat cantik erotik di Indonesia bersinggungan dengan wacana kontestasi politik dan etnisitas yang berkembang di dunia. 1. Pementasan Barongsai ”Barongsai” yang dikenal dengan舞狮wǔshī merupakan tari tradisional rakyat Cina yang sudah ada sejak abad 3 SM. Hal ini berhubungan dengan kisah mitologi yang berkembang pada masa Dinasti Tang (618 – 906). Suatu ketika salah seorang raja bermimpi bertemu dengan mahluk yang menyelamatkanya. Keesokan hari sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dan menceritakan bentuk mahluk yang hadir dalam mimpinya. Menteri mangatakan bahwa mahluk itu adalah singa yang datang dari Barat (India). Raja kemudian memerintahkan agar menteri membuat replika mahluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu singa menjadi simbol keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Walaupun singa bukan binatang asli Cina, kreasi bentuknya digunakan sebagai hadiah bagi kaisar dari generasi ke generasi. Ragam hias bentuk singa pun tidak terlau banyak muncul dalam ragam hias Cina tradisional karena ragam ini diperkenalkan oleh pengaruh Budhisme yang masuk ke Cina sebagai simbol pembela kebenaran dan penjaga bangunan suci. Biasanya Barongsai dipentaskan pada kesempatan pesta atau perayaan tradisional Cina, misalnya Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Tarian ini biasanya ditampilkan sebagai sebuah tarian yang diiringi oleh tabuhan kendang dan genderang, juga simbal, alat-alat musik khas Cina. Suasana amat riuh dan sekaligus mengairahkan. Barongsai berbentuk seekor singa, yang berkepala besar sekali, dengan mulut menganga, gigi lancip dan taring besar serta mata yang melotot keluar, kelihatan menyeramkan. Tapi wajah dan kepala singa dihias indah, sehingga malah berkesan lucu. Tubuh singa bersisik-sisik, dan pada bagian belakang terdapat ekor yang kecil. Satu Barongsai dimainkan oleh dua orang, bagian kepala dan bagian badan. Dua orang ini memang harus sangat kompak sehingga Barongsai benar-benar kelihatan menari, dengan indah dan lincah. Tidak jarang Barongsai dipentaskan dalam gerak akrobatik yang memukau sekaligus mendebarkan. Inilah yang menambah daya tarik Barongsai. Selain diiringi genderang dan simbal, Barongsai juga sering dipentaskan dengan iringan letupan petasan, yang memekakkan telinga. Petasan dipercayai dapat menakut-nakuti serta menghalau roh jahat, dan sekaligus membawa keberuntungan dan kemakmuran. Untuk membuat tarian semakin atraktif, ditambahkan juga permainan bola (要狮子y1osh9z-) yang dimainkan oleh dua orang (laki-laki). Bola-bola ini dihias dengan warna-warna mencolok. Bola ini sering dimaknai sebagai matahari, tapi ada pula sebagai telur, simbol kekuatan alam. Konon singa barongsai ini dapat menghasilkan susu dari telapak kakinya. Maka penonton meletakkan bola dalam aneka macam corak yang dapat digunakan oleh singa untuk bermain-main dan menghasilkan susu untuk mereka. Dalam ragam hias, yang biasanya dalam bentuk arca, singa jantan digambarkan sedang membawa bola, sedangkan singa betina ditemani singa kecil atau kerincingan alat musik. Singa ini pun muncul menjadi ragam hias utama bak dua naga yang bertarung berebut mutiara kehidupan. [2] Sebelum pementasan diperlukan persiapan-persiapan khusus. Wawancara dengan kelompok Barongsai dari klenteng Ho Tek Ceng Sin, Bogor, mengungkapkan bagaimana persiapan-persiapan dijalankan, ketika perayaan Imlek akan dilaksanakan. Para pemainnya harus berpuasa tidak makan daging, hanya makan sayuran, selama dua minggu sebelum upacara berlangsung untuk menyucikan diri dari nafsu duniawi. Mereka pun harus melakukan beberapa ’ritual’ seperti membersihkan barongsai, kemudian meletakkannya di atas altar yang sudah tersedia sesaji buah jeruk atau apel yang berjumlah ganjil simbol kesejahteraan. Ritual ini dilakukan agar upacara dan pertunjukkan berjalan lancar. Sebelum upacara para pemain bersembahyang terlebih dahulu. Kemudian sebuah kertas mantra yang ditulis dengan ’darah’ dari upacara potong lidah pun ditempelkan pada kepala sang barongsai oleh sang saman yang sudah ’kerasukan’ roh leluhur. Setelah proses ini selesai, barongsai pun beraksi hampir selama 30 menit. Waktu 30 menit adalah waktu yang cukup lama untuk memainkan barongsai tanpa berganti pemain. Beberapa di antara pemain ini mengatakan bahwa sangat sulit mempertahankan stamina kekuatan, kecepatan, kelenturan dan ekpresi Barongsai pada kesempatan pertunjukan di luar klenteng agar tetap menarik di hadapan penontonnya. Namun tidak demikian jika mereka melakukan pertunjukan di klenteng. Odhi yang menganut agama Budha mengatakan bahwa bermain selama 30 menit tidak akan terasa lelah, bahkan ketika ada rasa lelah datang, tiba-tiba mereka sekan-akan memperoleh kekuatan baru untuk bermain sampai akhir. Para pemain ini pun mengaku merasakan dorongan kekuatan tersebut datang tiba-tiba dan mereka percaya bahwa kekuatan tersebut datang dari berkah para leluhur yang ’hadir’. Lain lagi jika barongsai dimainkan di lingkungan para praktisi kungfu. Sebuah sekolah kungfu belum disebut sekolah kungfu apabila belum memiliki tim Barongsai. Dalam membawakan tarian ini diperlukan kekuatan, stamina, kelenturan, keseimbangan dan kemampuan untuk memvisualisasikan serta memunculkan gerakan dan ekspresi dramatik. Pemain Barongsai berjumlah dua orang yang masing-masing memegang bagian kepala dan menjadi ekor. Kepala Barongsai sangat berat – biasanya dibebani logam, memerlukan bahu dan lengan yang kuat. Sedangkan pemain di bagian ekor lebih memerlukan kekuatan di pinggang dan kaki serta kecepatan ketepatan mengikuti gerak kepala Barongsai.[3] Apabila Anda penggemar Jet Li dan sempat menyaksikan film kungfu berjudul Once Upon Time in China (1991) dengan tokoh utamanya adalah Wong Fei Hung, Anda akan menyeksikan barongsai digunakan sebagai alat berkomunikasi adu kekuatan antar perkumpulan kungfu se-Cina yang sedang giat-giatnya mengobarkan semangat revolusi melawan Dinasti Qing. Kemudian muncullah tokoh legendaris Wong Fei Hung sebagai master barongsai. Pada saat itu barongsai memiliki fungsi sebagai wacana kekuasaan yang dimunculkan melalui representasi, simbol kekuatan dan ritus resistensi terhadap kekuasaan hegemoni. Selama beberapa abad, barongsai diturunkan dari guru di sekolah kungfu kepada muridnya. Seiring dengan diaspora etnis Cina, barongsai pun kemudian menyebar bersama diaspora etnis Cina ke segala penjuru dunia. 2. Barongsai di Indonesia Kata “barongsai” tidak dikenal dalam bahasa asal permainan ini. Kiranya ada pergeseran dalam hal pengucapan. Christin Bachrun dalam tulisannya “Barongsai: singa atau naga?”[4] menyebutkan bahwa kata ‘Barongsai’ bisa sepenuhnya berasal dari Bahasa Hokkian ‘bbu lang say’ (舞弄狮w&l$ngsh9) dilafalkan ‘bulangsai’ oleh kelompok masyarakat berbahasa Hokkian dan terdengar ‘barongsai’ oleh penduduk lokal.[5] Sejarah masuknya barongsai ke Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Kemungkinan barongsai muncul dan berkembang di Indonesia pada masa keemasan ketika warga Cina masuk dalam kategori penduduk Hindia Belanda golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) [6]. Pada masa kolonial, para imigran Cina yang datang ke Indonesia sudah cukup mapan untuk mengadakan acara pertunjukan barongsai. Pada masa itu barongsai menjadi bagian dari kegiatan di klenteng-klenteng yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Klenteng Dhanagun (Bogor), misalnya, didirikan pada abad ke-18 dan memiliki kelompok pemain barongsai. [7] Saat itu pertunjukkan Barongsai masih erat kaitannya dengan tradisi dan upacara keagamaan. Tradisi Barongsai masuk ke Indonesia diperkirakan datang bersama para imigran Cina yang berasal dari Provinsi Guangdong, sebagai terlihat dari bentuk barongsai yang ada di Indonesia.[8] Di Indonesia ditemukan varian lain dari barongsai, yaitu Kielin. Kielin (麒麟q0l0n)yang dimiliki oleh kelompok silat PGB[9] ”Bangau Putih” ini merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia. Oleh karenanya Kielin satu-satunya ini sangat dihormati oleh semua Barongsai yang ada di Indonesia. Bersama tiga binatang lain yaitu burung Hong, Naga, dan Harimau, Kielin dianggap sebagai binatang suci. Tarian Kielin ini dibuat dengan karakter Kielin binatang tunggangan para dewa dalam tradisi Cina klasik. Kielin menjadi istimewa karena karakteristik tarian yang jauh dari kesan dinamis, walaupun tetap atraktif.[10] Memasuki masa Republik Indonesia, Barongsai tetap dapat dipentaskan. Barongsai dimainkan pada acara dan festival etnis Cina, seperti Tahun Baru Imlek. Klenteng-klenteng biasanya menjadi pusat kelompok Barongsai. Salah satunya adalah Bio Hok Tek Ceng Sin di Bogor, yang sudah berdiri sejak tahun 1950-an. Dalam jangka waktu 30 tahun lebih barongsai lenyap dari wilayah publik di Indonesia. Kalau toh dimainkan, hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi. [11] Suharto jatuh pada Mei 1998, dan sebelumnya pecah Peristiwa Mei 1998 yang terdiri dari penjarahan dan pembakaran toko-toko milik etnis Cina. Dua peristiwa ini secara kebetulan membuka ruang kebebasan etnis Cina. Kemarahan dan frustrasi akibat Peristiwa Mei itu menemukan penyalurannya begitu pintu “reformasi” dibuka setelah Suharto dilengserkan. Bersama dengan kelompok-kelompok lain, kelompok etnis Cina juga menuntut diakhirnya otoritarianisme di Indonesia. Pada kesempatan yang sama etnis Cina mengambil langkah membebaskan diri dari kungkungan peraturan yang diskriminatif dari masa Suharto. Barongsai muncul sebagai bentuk ekspresi kebebasan ini. Tanpa mengindahkan peraturan maupun perundangan yang masih berlaku, permainan Barongsai dimainkan lagi di beberapa tempat. Tapi baru pada tahun 2000 Barongsai secara resmi boleh dipentaskan, yaitu sejak Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) mencabut Keputusan Presiden RI no.14/1967 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden no. 6 tahun 2000. Barongsai dari klenteng Bio Ho Tek Ceng Sin, misalnya, resmi aktif memulai latihan pertamanya pada tahun 2000. Kelompok yang memiliki anggota senior berusia sekitar 70-an itu pun kembali menggelar latihan tari barongsai dan liong di area klenteng. Tidak ada lagi agenda latihan sembunyi-sembunyi. Mereka generasi tua pun mengajari tehnik dasar bermain Barongsai kepada penerusnya yang tidak menguasai ilmu bela diri seperti mereka. Pada awal latihan, pesertanya adalah para pemain muda yang pernah berlatih era tahun 80 dan 90-an, berasal dari etnis Cina. Ditambah beberapa pemain baru yang terbilang masih ’hijau’ dan masih berasal dari kalangan etnis Cina. 3. Popularitas Barongsai Saat ini, menjadi pemain Barongsai tidak lagi memerlukan kemampuan bela diri berlatar belakang kungfu. Pemain hanya perlu berlatih kuda-kuda kokoh dan gaya utama. Latihan rutin merupakan kunci menguasai tari Barongsai dengan cepat, seperti Redi dan Robin yang mampu manguasai Barongsai dalam waktu enam bulan. Odhi pun mengakui hal yang sama, ia tidak membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk mengusai teknik dasar dan puluhan variasi gaya yang dihasilkan dari proses kreatif kerja tim antara ’kepala’ dan ’ekor’. Kedua kelompok ini mengaku bermain di hadapan publik tidak pernah lebih dari 15 menit. Konsentrasi dan teknik memunculkan ekpresi Barongsai yang lucu adalah tantangan utama bagi setiap kelompok Barongsai. Semakin lucu ekspresi dan tingkah laku sang ’Barongsai’ semakin banyak akan mendapat perhatian penonton dan tentu akan mendapatkan angpao. Jika barongsai pada awalnya dimainkan oleh orang-orang dari kelompok etnis Cina, yang beragama Budha, kini dipentaskan oleh mereka yang beragama non-Budha. Rudi (22 tahun), Robin (16 tahun) dan Regi (13 tahun), keduanya dari etnis Cina tapi beragama Katolik. Keduanya menjadi anggota kesenian barongsai (Bogor) sejak tahun 2005. Mereka memilih ikut berlatih barongsai karena senang melihat barongsai dengan ekspresi lucu mampu bergerak cepat dan berloncatan tanpa terjatuh. Keduanya ikut berlatih pada sore hari, dua kali dalam seminggu. Rudi (22 tahun) mengatakan bahwa kedua anak tersebut merupakan pemain pemuda dengan gaya, kekuatan, dan kelenturan yang tak kalah dengan seniornya. Bahkan keduanya mampu mengembangan tehnik pertunjukan yang kreatif. Permainan barongsai juga menarik kelompok dari etnis lain non-Cina. Kini ditemukan banyak kelompok pemain barongsai yang beranggotakan pemuda dari etnis Jawa atau Sunda. Kelompok Kesenian Barongsai (KKB) di Bogor, misalnya, terdiri dari pemain etnis Cina dan juga kelompok suku lain. Bahkan jumlah pemuda dari suku Jawa dan Sunda lebih banyak. Perkembangan semakin jauh dengan adanya kelompok barongsai di Bogor yang didirikan oleh etnis Jawa atau Sunda dengan tujuan untuk mengembangkan barongsai sebagai salah satu cabang olah raga. Misalnya, Yungyung Wiharja mendirikan kelompok Barongsai Bogor tahun 2000 untuk mengembangkan olah raga. Barongsai sebagai kegiatan olah raga saat ini memang telah semakin diterima. Pak Uu, Sunda dan beragama Islam, sendiri memilih bergabung dengan Kelompok Kesenian Barongsai Bogor, karena ingin melatih fisik dan berolah raga rutin. Bagi mereka, menjadi pemain barongsai (dan juga liong) tidak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, hanya sebagai kesenangan dan olah raga. Mereka pun mengaku tidak pernah terlibat upacara ritual apapun selama menjadi pemain barongsai. Tim mereka lebih sering mengadakan pertunjukan atas undangan di pelbagai acara seperti pembukaan kegiatan, festival kesenian, dan acara keluarga. Barongsai tidak bisa tidak masuk mal-mal dan wilayah publik yang luas. Pada acara pembukaan mal atau restoran baru, misalnya, barongsai ditampilkan. Barongsai juga dimainkan pada acara peresmian gedung baru, kantor baru, restoran baru, juga bahkan rumah baru. Pementasan biasanya dipadati oleh penonton. Pementasan Barongsai, seperti dikatakan oleh kelompok barongsai Bio Ho Tek Ceng Sin juga dipakai untuk atraksi selama pemilihan umum. Secara perlahan pementasan barongsai memang mengalami pergeseran. Kecenderungan terbaru, barongsai muncul sebagai komoditas ’jajanan’ kaki lima yang permainannya muncul tanpa diundang dan sering disebut Barongsai ’ngamen’. Praktek komersialisasi barongsai di mal-mal ditiru oleh ”Barongsai mini” untuk menjajakan dirinya dengan mengetuk rumah-rumah dan toko-toko untuk memperoleh angpao ala kadarnya. Gairah terhadap Barongsai ini kemudian ditangkap oleh mereka yang berjiwa wiraswasta (entrepreneur), tentu saja. Tak jarang kelompok Barongsai dibentuk untuk memenuhi permintaan pasar. Kelompok-kelompok barongsai ini terdiri dari cukup banyak orang, dan berkembang secara profesional. Barongsai kini berwarna-warni mewah, bisa memainkan adegan-adegan yang mendebarkan. Para pemainnya – baik yang menarikan Barongsai maupun yang mengiringi dengan musik – semuanya nampak terlatih dengan baik. Tidak jarang lima atau enam barongsai dimainkan sekaligus, membuat suasana benar-benar semarak. Dengan demikian permainan Barongsai telah memasuki dunia komersial. Tapi tidak semua kelompok Barongsai bertujuan komersial. Kelompok Bio Ho Tek Ceng Sin dan kelompok Barongsai Bogor, misalnya, mengatakan bahwa mereka tidak memasang tarif tertentu untuk pementasan pertunjukan, kecuali biaya transportasi dan konsumsi para pemain yang disediakan oleh pengundang. Apabila yang mengundang dari golongan masyarakat berada, barulah mereka mengenakan tarif tertentu. Tak jarang kelompok Bio Ho Tek Ceng Sin mengadakan pertunjukan sosial tanpa dibayar. 4. Perkembangan barongsai di Indonesia Belum ada penelitian luas dan intensif tentang perkembangan Barongsai di Indonesia. Namun dapat dipastikan bahwa jumlah perkumpulan liong barongsai saat ini mampu menembus angka 100 grup yang tersebar di seluruh nusantara. Pada tahun 2000 pun terbentuk beberapa persatuan perkumpulan barongsai. Di Bogor, misalnya, terbentuk Persatuan Liong Barongsai Bogor (PLBB) yang memiliki misi pelestarian budaya. Bogor menjadi salah satu kota dengan pekembangan Barongsai terpadat di antara beberapa daerah lainnya seperti Jakarta, Sukabumi, Medan, Pontianak, dan Singkawang. Beberapa kelompok yang terkenal, misalnya kelompok barongsai PSMTI-Tarakan, yang merebut juara kompetisi internasional. Kong Ha Hong di Jakarta, Adi Pusaka di Surakarta, Long Ching di Bandung, Singa Mas di Magelang, Satya Dharma-Kudus, Adi Pusaka-Kartasura, Red Dragon-Jakarta, Genta Suci-Ambarawa. Semua kelompok tersebut adalah para pemenang Persobarin National Lion Dance Championship 2007. Mereka tidak hanya memainkan barongsai tunggal tetapi juga memainkan nomor tonggak. Pada nomor lantai juga terkenal kelompok Dharma Cinta Kasih di Tangerang, TITD Liong Hak Bio di Magelang, Suaka Insan di Jakarta, Lima Naga diSurabaya, Maha Virya di Tanggerang, dan Rajawali Sakti di Tegal.[12] Mereka itu semua memiliki induk organisasinya bernana PERSOBARIN yang berada di bawah KONI. Pertama kali ia berdiri sebagai anak cabang KONI dengan nama Pernabi (Persatuan Tarian Naga Barongsai Seluruh Indonesia). Pernabi dijadikan juru bicara perkumpulan barongsai di Indonesia untuk tampil di ajang perlombaan tari naga dan barongsai di dunia. Kiprah Pernabi tidaklah lama. Kemudian muncul Persatuan Kungfu dan Lion Seluruh Indonesia (PKLBSI) pada tahun 2006. Tahun 2006 dan 2007 perkumpulan ini mengikuti banyak kegiatan festival dan perlombaan Barongsai baik tingkat nasional maupun internasional. Bahkan tahun 2006, PKLBSI menjadi penyelenggara pertandingan dunia di Jakarta, disusul pada tahun 2007 di Surabaya. Sementera PKLBSI berjaya di kancah internasional, Persobarin tetap menjadi wadah alternatif perkumpulan seni Barongsai di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara. Kelompok Kesenian Barongsai Bogor mengatakan pernah mengikuti kejuaraan Barongsai nasional yang diadakan oleh PKLBSI. Sejak tahun 2008, kegiatan rutin PKLBSI dialihkan kepada Persobarin di bawah kepemimpinan Dahlan Iskan dengan Sekjen Budi Santoso Tanuwibowo. Barongsai terus berkembang dan semakin digandrungi banyak orang baik sebagai tontonan, hiburan maupun sebagai saran olah raga. Sampai pada suatu ketika, perkumpulan Barongsai di bawah KONI ini mengusulkan untuk menjadikan Barongsai sebagai anak cabang dalam KONI, bukan lagi menjadi bagian dari cabang Wushu. Saat ini Barongsai di seluruh dunia berada dalam naungan federasi internasional yang lebih dikenal dengan IDLDF (Internasional Dragon and Lion Dance Federation)[13] yang berpusat di Beijing, Cina. Dalam beberapa pemberitaan IDLDF ini tengah giat memperjuangkan agar cabang tari liong dan tari singa masuk dalam salah satu cabang lomba Olimpiade. Dengan alasan Barongsai sudah menjadi olah raga kelas dunia dengan adanya ILDF, maka Persobarin menjadi penggerak untuk mewujudkan independensi Barongsai pada tingkat organisasi KONI seiring perjuangan ILDF untuk memasukkan Barongsai dalam salah satu cabang Olimpiade. Jika ILDF berhasil maka Barongsai yang menjadi ciri budaya lokal Cina akan menjadi budaya global yang melewati batas geografis sekaligus batas imajiner budaya etnis Cina. 5. Barongsai sebagai ekspresi kebudayaan Apabila pada awal kemunculannya pada tahun 1998, Barongsai menjadi simbol kebebasan berekpresi dalam kerangka bereligi masyarakat etnis Cina. Perkembangan selanjutnya Barongsai tidak hanya sebagai pengisi acara pernikahan, pesta ulang tahun, perayaan hari besar tetapi juga menjadi sarana kesenian, olah raga, dan praktek komersialisasi. Semua perkembangan ini mendorong orang untuk bertanya apakah Barongsai masih menjadi milik etnis Cina? Ataukah ia telah menjadi milik bangsa Indonesia? Pada awal lahirnya pada 1998, Barongsai masih menjadi milik etnis Cina, dan menjadi ekspresi kebebasan etnis Cina. Setelah terkungkung selama 30 tahun, mereka mementaskan kembali Barongsai tidak hanya di kelenteng-kelenteng, tetapi juga di tempat-tempat umum. Berdirilah kelompok-kelompok Barongsai di berbagai kota dan mereka serentak dengan senang hati – tanpa dibayar – mementaskan Barongsai. Pada kesempatan itu mau dinyatakan bahwa etnis Cina telah bebas dari kungkungan rezim yang lalim. Gairah untuk menonton maupun untuk memainkan Barongsai mengubah status Barongsai. Sekarang tidak hanya orang dari etnis Cina yang mementaskan Barongsai, tetapi juga orang-orang dari etnis-etnis lain. Bahkan ada kelompok-kelompok Barongsai yang didirikan oleh etnis non-Cina. Hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan pertunjunkan dan pementasan yang sungguh menggairahkan, tetapi sekaligus juga untuk menanggapi sebuah permintaan (demand) yang nyata. Tidak mungkin mengandalkan kelompok-kelompok yang didirikan oleh etnis Cina saja karena permintaan makin banyak, terutama untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non-religius (peresmian mal baru, peresmian toko, keperluan pesta, dsb.). Lagipula permainan Barongsai tidaklah terlalu sulit sehingga hanya kelompok etnis tertentu saja yang bisa memainkan. Namun, pada saat yang bersamaan nampak jelas juga bahwa permainan Barongsai tetap tidak dapat dilepaskan dari lingkungan etnis Cina. Barongsai tidak mungkin dimainkan jika tidak berhubungan dengan pesta atau festival etnis Cina, misalnya pada waktu hari Natal atau hari Idul Fitri. Barongsai juga biasanya dipentaskan di mal-mal atau toko yang berada di lingkungan orang Cina, atau dapat menarik kehadiran orang Cina. Di kota-kota besar tempat ditemukan banyak orang Cina (Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dsb.) pementasan Barongsai menjadi sebuah atraksi yang menarik. Tidak demikian halnya di tempat yang sama sekali tidak ada orang etnis Cina. Oleh sebab itu, tarian Barongsai sebenarnya masih terikat dengan identitas etnis Cina. Pertama, Barongsai tetap merupakan alat ekspersi etnis Cina. Ia telah menjadi ekspresi kebebasan dan representasi identitas etnis Cina yang pernah mengalami diskriminasi. Kedua, Barongsai merupakan juga upaya untuk mempertahankan tradisi leluhur kaum etnis Cina. Dengan memainkan Barongsai identitas mereka ditegaskan, mungkin diperkuat. Ketiga, akibat dari dua butir yang di atas, Barongsai tidak dapat bersentuhan dengan kesenian lokal Indonesia karena tidak terjadi proses seperti dalam ’melting pot’. Sampai pada titik ini, Barongsai tidak dapat disejajarkan dengan budaya Cina peranakan dengan tinggalanya seperti sastra melayu tionghoa, kebaya encim, motif batik pesisir utara Jawa, serta masakan Baba dan Nyonya. Barongsai tetap berwajah Cina, dengan iringan musik khas Cina. Akan tetapi, ikatan dengan budaya Cina bersifat ambigu ketika tarian barongsai dibawa ke pentas dan kontes internasional. Dalam kontes-kontes yang telah diadakan di beberapa negara di Asia Timur, tarian barongsai dari berbagai negara berlaga atas nama negara asal mereka. Ada ”barongsai Malaysia,” ”barongsai Singapura,” ”barongsai Thailand,” dan tentu saja ada ”Barongsai Indonesia.” Kemenangan kelompok barongsai dari Indonesia tetaplah mewakili Indonesia, bukan mewakili Cina. Dengan demikian identitas Indonesia melekat pada kelompok penari barongsai tersebut. Proses konstruksi identitas telah terjadi pada tataran yang lain sama sekali. Dengan ini sebenarnya barongsai telah meninggalkan “tanah leluhurnya.” Pertama, dia menjadi ikon global, barangkali setara dengan ikon-ikon bisnis Cina, seperti Lenovo, Huawei, Sinopec, dst. Tapi, barongsai menjadi milik dunia ketika barongsai masuk menjadi kegiatan olahraga di tingkat internasional, tidak ada bedanya dari wushu, karate, taekwondo, dsb. Barongsai kini telah memiliki status yang benar-benar Cina dan sekaligus juga global. Dalam dunia yang ditandai dengan “hibriditas” akibat globalisasi yang amat intensif, apapun, termasuk barongsai, menjadi milik komunitas global. Proses konstruksi yang mula-mula terbatas pada satu kelompok sosial, kini terjadi pada tingkat nasional, bahkan juga pada tingkat global.[14] Penutup Barongsai sebagai sebuah tarian yang dimiliki oleh salah satu kantung peradaban dunia kuno di Asia, merupakan hasil proses kreatif manusia, yang mencakup, religi, tradisi, etika, moralitas, bahkan budaya politik. Dalam pelbagai versinya, Barongsai menyebar ke pelbagai wilayah, mengikuti titik-titik daerah persebaran etnis Cina di seluruh dunia sebagai bagian dari simbol-simbol budaya orang etnis Cina. Di Indonesia, seperti diuraikan di atas, tarian barongsai (dan juga tarian liong) juga terlekat dengan budaya Cina. Memang barongsai telah keluar dari lingkungan masyarakat Cina, tapi barongsai nampak belum terserap seluruhnya dalam budaya Indonesia seperti makanan ataupun pakaian Cina. Tapi berbeda dari makanan dan pakaian, barongsai telah menjadi titik simpul yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur karena berbagai kontes tarian barongsai. Dalam hal ini barongsai kemudian memperoleh identitas Indonesia! Barongsai dengan lokalisme Indonesianya. ”Barongsai Indonesia,” jika kelompok barongsai dari Indonesia memenangkan hadiah. Barongsai, dengan demikian memperoleh dua identitas sekaligus. Dia adalah ekspresi kebudayaan Cina, tetapi sekaligus juga merepresentasikan Indonesia. Hal yang sama dapat dikatakan tentang barongsai-barongsai lain yang tumbuh di banyak negara di Asia timur. Langkah geliat Barongsai dimanapun dia mengedipkan mata lentiknya, memainkan kekuatan otot kakinya, mengibaskan ekor mungilnya akan membawanya pada bentuk jejaring internasional yang akan menjadi ikon global Cina. Perkembangan ini sangat menguntungkan bagi kelompok etnis Cina di Indonesia. Mereka dapat memakai barongsai sebagai ekspresi kebudayaan mereka, tetapi sekaligus juga sebagai sarana untuk ambil bagian dalam sebuah ekspresi global. Di satu pihak kelompok etnis Cina masih bisa mendaku (claim) bahwa barongsai adalah “miliknya,” di lain pihak mereka juga bisa melepaskannya sebagai milik sebuah negara (antara lain Indonesia!), bahkan milik komunitas global. Dengan demikian barongsai sebenarnya telah mengalami proses konstruksi berlapis-lapis yang sangat rumit. Sulit untuk menyaring dan memilah-milah proses yang terjadi secara spontan, tanpa terencana. Mula-mula dia datang ke Indonesia dari Cina, dan ditangkap serta ditanam di Indonesia, tapi kini telah kembali menjadi fenomen global. *Penulis berterima kasih kepada narasumber yang meluangkan waktu untuk wawancara, dan juga kepada editor buku. I. Wibowo atas saran-sarannya untuk memperbaiki makalah ini. [1] Wawancara ini melibatkan beberapa narasumber yaitu (1) Odhi, 20 tahun, dari kelompok Bio Hok Tek Ceng Sin Jakarta Selatan, (2) Pak Uu, 40 tahun, dari Grup Kesenian Barongsai, Bogor, (3) Bapak Karta Lugina, 80 tahun, sesepuh PGB, (4) Bapak Arifin Himawan, Ketua PLBB (Persatuan Liong Barongsai Bogor), dan beberapa pemain Barongsai. Wawancara diadakan pada bulan April-Mei 2009. [2] Williams, CAS. Chinese Symbolism and Art Motifs. (Singapore: Berkeley Books, 1999), hlm. 254. [3] http://www.chinaculture.org/gb/en_chinaway/2004-01/21/content_45720.htm (diakses pada tanggal 14 April 2009) [4] Christin Bachrun, “ Barongsai: singa atau naga?” dlm. Lembaran Berita KATA, Vol. 3 No.1/April 2000, hlm. 11 – 12. [5] Dalam hal ini, penulis juga mengamati bahwa Bali memiliki tarian yang dinamakan Tari Barong dengan singa sebagai imaji fisik dari kepala barong. Jika diamati, binatang ’barongsai’ Cina datang dari India karena harimau/singa bukan hewan khas Cina. Begitu pula barong yang ada di Bali merupakan tarian masyarakat Hindu di Bali. Agaknya kata dengan bunyi ’Bulangsai’ dalam Bahasa Hokkian agak jauh jika kemudian dibunyikan dengan Barongsai oleh penduduk lokal karena bunyi vokal berbeda. Penulis menduga, kata barong dalam barongsai mengacu pada persamaan bentuk kepala (tarian yang menggunakan topeng) yang lebih dikenal oleh penduduk lokal. Agaknya penelitian asal kata Barongsai perlu dilanjutkan. [6] Coppel, 1994, hlm.23 [7] Wawancara dengan Pak Uu, Grup Kesenian Barongsai Bogor, pada tanggal Kamis 16 April 2009 [8] Provinsi Guangdong adalah daerah asal Barongsai dengan gaya selatan 南狮n2nsh9. http://en.wikipedia.org/wiki/Lion_dance [9] PGB didirikan oleh Subur Raharja pada tahun 1952. Sampai saat ini PGB yang dipimpin oleh Gunawan Raharja menjadi salah satu perkumpulan olah raga silat yang terkenal di Indonesia. Berawal dari pertemuan ramah tamah antar tokoh silat di Bogor pada tahun 1949, terbentuklah suatu bentuk perkumpulan silat yang menggabungkan seni silat kungfu dan silat tradisional. Pada awal tahun 1950-an, perkumpulan yang berbasis silat inipun memiliki wahana kesenian ’barongsai’ sebagai salah satu alat pembuktian tingkat ilmu silat mereka. Salah satu yang menarik adalah bahwa kelompok ini mencipkatan Kielin sebagai bentuk tarian ’barongsai’ yang hanya menjadi satu-satunya di Indonesia. Kielin PGB dibakar bada tahun 1965. Kielin kembali dimainkan pada tahun 2000 setelah Kielin baru selesai direkonstruksi. [10] Qilin (Kirin, bahasa Jepang) merupakan salah satu dari Empat Mahluk Supernatural/mahluk mitologi Cina (四灵/靈) bersama Naga, Burung Phoenix, dan Kura-kura. Qilin dikenal juga dengan ’Kuda naga’ (龙马). Ia merupakan lambang panjang umur, kemuliaan, dan kebahagiaan. Qilin dapat berjalan di atas air dan tanah. Tubuhnya terdiri dari bebapa bentuk bagian binatang. Tediri dari kombinasi kepala serigala, tanduk kijang, ekor sapi, kaki kuda, kulit naga dan sisik ikan. Kulitnya berwarna merah, kuning, biru, putih dan hitam. Suaranya seperti suara kerincingan instrumen musik. Williams, CAS. Chinese Symbolism and Art Motifs. (Singapore: Berkeley Books, 1999), hlm. 414. [11] Wawancara dengan Odhi, dari Bio Hok Tek Ceng Sin. 10 April 2009. [12] Perlombaan Barongsai dibedakan dalam kategori nomor Lantai dan nomor Tonggak. Nomor Lantai merupakan kelas khusus yang diadaptasi dari penguasaan Barongsai dengan gaya Utara (Beijing) yang menggunakan undakan/bangku pendek sebagai wahana loncat si barongsai. Sedangkan nomor tonggak merupakan gaya barongsai yang dikembangkan di Cina bagian selatan dan Malaysia dengan tiang pancang tonggak yang ketinggiannya bervariasi. [13] IDLDF mengeluarkan 6 kriteria penilaian pertandingan barongsai yaitu (1)kostum barong, pemusik, dan properti; (2) kesesuaian dengan pakem tradisional untuk cabang tertentu; (3) kesinambungan gerakan kepala, kekuatan kaki, dan ekor; (4) Harmoni gerakan dengan musik; (5) tingkat kesulitan; dan (6)formasi barongsai. Diunduh dari website: http://dragonlion.sport.org.cn/home/xhgg/2009-02/235079.html (diakses 3 September 2009, pukul 09.30) [14] Mackie dalam Coppel (2008:124), Coppel, Charles A. 2008. Anti Chinese Violence in Indonesia After Soeharto. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hlm. 124., menyebutkan bahwa ekspresi terbuka dan sengaja, yang menunjukkan perbedaan etnik dan budaya di depan publik Indonesia – Barongsai – bisa menjadi pemicu kekerasan anti Cina. Kekhawatiran semacam ini tentu bisa terjadi kalau barongsai itu benar-benar bagaikan rumah abu, yang tidak terjamah oleh masyarakat sekitarnya dan menimbulkan ancaman.

Tjan Tjoe Som 1903 – 1969: Sepenggal kisah sunyi di Sinological Institute, Fakultet Sastra Universitet indonesia

Agni Malagina (Tulisan ini dibuat berdasarkan arsip-arsip yang ditemukan di Program Studi Cina pada tahun 2009, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris serta ditambahkan beberapa aspek substansi oleh Prof. A.Dahana) “In any case I try – however difficult this maybe – to see everything ‘sub specie aeternitatis’ ” – Tjan Tjoe Som, 1968 Dalam sejarah perkembangan Sinologi di Indonesia, nama Prof. Dr. Tjan Tjoe Som (曾祖森) seharusnya menjadi nama besar yang ada di garda depan pendidikan Sinologi Indonesia. Sejarah mencatat namanya sebagai orang pertama yang diminta oleh pemerintah untuk memimpin Lembaga Sinologi (漢學研究院), Fakultet Sastra, Universitet Indonesia. [1] Selama 50 tahun terakhir, namanya masih tetap dikenal sebagai seorang sinolog yang dipupuk oleh Sinological Institute Universitas Leiden, Belanda di bawah bimbingan JJL Duyvendak. Namun di Indonesia, tak banyak generasi muda mengenal nama Tjan Tjoe Som yang pernah menduduki jabatan kepala Lembaga Sinologi Universitas Indonesia pada tahun 1953 – 1958. Masa Remaja dan Pendidikannya Tjan Tjoe Som lahir di Solo pada tanggal 15 Februari 1903, dan besar dalam keluarga muslim taat. Keluarganya juga menjalankan perusahaan batik di Solo. Beliau sempat menjalani pendidikan HCS (Hollandsch-Chineesche School) Surakarta, kemudian melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemeene Middlebare School) di Jogjakarta. Sebelum sempat menyelesaikan AMS, Tjan muda kembali ke Solo untuk melanjutkan bisnis batik “De Bliksem” keluarganya yang mengalami penurunan sejak berakhirnya Perang Dunia I. Saat berada Solo itulah Tjan muda mempelajari Sinologi dan Islamologi secara otodidak. Ia juga tertarik kepada filsafat dan antropologi. Kemudian ia berjumpa dengan Dr. H. Kraemer (penulis A Christian Message in a Non Christian World, kemudian menjadi kepala Oecumenical Institute) yang mendorong Tjan Tjoe Som belajar Sinologi ke Belanda untuk menjadi murid Prof. Duyvendak.[2] Tjan tiba di Belanda pada tahun 1953 dan masuk Universitas Leiden jurusan Sinologi pada tahun 1936. Dalam tulisan A.H T’oung Pao, disebutkan bahwa Tjan Tjoe Som mengisi hari-harinya dengan belajar tekun bahkan menjadi pustakawan handal yang mengurusi koleksi Institut Sinologi Leiden. Pada tahun 1947 Leiden mempunyai ide untuk mendirikan semacam perkumpulan Studi Cina di Eropa. Ide ini mendapat sambutan baik dari beberapa universitas penyelenggara kajian Cina. Kemudian mereka pun bertemudi Universitas Cambridge (Inggris) dalam acara Conference of Junior Sinologues, Cambridge and Oxford, pada tahun 1948. Saat itu Leiden diwakili oleh Tjan Tjoe Som, AFH Hulwese, R.P.Kramers, P. Swann, dan Mrs. H.Wink. Hasil pertemuan perwakilan Sinolog Junior dari Leiden, Cambridge, Oxford, Stockholm, Paris, dan London itu berhasil membentuk Eropean Association for Chinese Studies, EACS, (欧洲汉学学会), tahun ini EACS berusia 60 tahun.[3] Pada tahun 1949 Tjan Tjoe Som mendapat gelar doktornya setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Po Hu T’ung: The Comprehensive Discussions in the White Tiger Hall: A Contribution to the History of Classical Studies in the Han Period, dengan predikat Cum Laude, dan dianugerahi Prix Stanilas Julien. Puncak karir ahli Cina Klasik ini pun ditandai dengan pengangkatannya sebagai profesor luar biasa bidang Filsafat Cina di Universitas Leiden. Pemahamannya tentang filsafat Cina dan Islam membuatnya dikenal sebagai orang yang sangat halus dan bijak.[4] Setelah itu, Prof. Tjan diangkat sebagai kepala Departemen Filsafat Cina. Pada tahun 1952 terbit volume kedua dari Po Hu T’ung dan pada tahun inilah Tjan Tjoe Som pulang untuk memenuhi panggilan negara, mengabdikan diri sepenuhnya kepada negara Indonesia. Berkarir di Indonesia Tahun 1952, Pemerintah Republik Indonesia memintanya untuk datang dan menduduki jabatan sebagai ketua Lembaga Sinologi di Universitas Indonesia. Sudah 17 tahun di Belanda, tjan yang banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan ini pun kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah airnya, Indonesia. Ia meninggalkan kemapanan dan nama besar sebagai seorang Sinolog di Belanda sekaligus Eropa pada masa itu. Koleganya di Leiden mencoba untuk menghalangi niat Tjan Tjoe Som untuk pulang. Namun Tjan sudah memutuskan, dari pada duduk di menara gading, ia memilih kembali ke tanah air walaupun penuh ketidakpastian. Ia percaya bahwa selain dapat terus belajar danmengajar di Indonesia, ia akan mampu melakukan sesuatu untuk Republik Indonesia yang masih belia. Kehidupan Berorganisasi Tahun-tahun pertama Tjan kembali ke Indonesia, ia disibukkan mengurusi Lembaga Sinologi yang dipimpinnya bersama beberapa pengajar, diantaranya Drs. Sie Ing Djiang, Oe Soan Nio, Koh Chung Chuen, dan Aman Kombali. Buku-buku dari pelbagai penerbit pun dipesan dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Tak heran, koleksi perpustakaan Sinologi sampai saat ini memiliki koleksi terbitan sejak awal abad 19.[5] Tahun 1957, A.H. T’oung Pao bertemu dengan Tjan pada acara “Junior Sinologues Conference” di Padua, Itali. Presiden Sukarno memberi penghargaan kepadanya dengan mengangkat Tjan sebagai salah seorang anggota Madjalis Permusjawaratan Rakjat Sementara (1959). Pada tahun yang sama, Tjan juga diangkat sebagai anggota Dewan Perancang Nasional Perwakilan Ilmuwan. Pada tahun 1960, ia diundang dalam acara XIII International Conference on the Problems of Chin di Moskow, Rusia. Beberapa kali beliau juga mengadakan kunjungan ke Peking, RRT. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1968) Tjan Tjoe Som menjadi anggota HSI (Himpunan Sardjana Indonesia) yang dianggap sebagai organisasi underbow Partai Komunis Indonesia. Dalam arsip catatan surat masuk dan surat keluar Program Studi Cina sejak tahun 1957 tercatat, Prof. Tjan melakukan lawatan ke luar negeri, diantaranya ke Rusia, Itali, dan Cina. Tahun 1963 – 1965 Tjan menjadi penasehat di kantor berita Warta Bakti versi bahasa Cina Zhong Cheng Bao. Masa tua Gerakan 30 S/PKI agaknya menjadi titik balik seorang ahli filsafat Cina dan hukum Islam ini. Tak dinyana tak diduga, pada tanggal 10 November 1965 berdasarkan surat Dekan FS UI No: S/18/FS/XI/Pedek.II/65 mengenai pembebasan sementara dari segala tugas dan kewajiban di FS UI bagi mahasiswa di lingkungan FS UI dan dilanjutkan dengan surat rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965 lampiran nama para dosen, Prof. Dr. Tjan Tjoe Som dinonaktifkan dari dunia akademis Universitas Indonesia. Tak hanya Tjan Tjoe Som, adiknya – Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem pun ikut dinonaktifkan.[6] Pada tahun 1968, datang Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Republik Indonesia tertanggal 12 Januari 1968 yang menyebutkan bahwa Prof. Dr. Tjan Tjoe Som yang memiliki status Guru Besar (gol /VII) pada FS UI di Jakarta, diberhentikan tidak dengan hormat dengan hak pensiun. Surat keputusan tersebut jelas menyebutkan bahwa atas dasar pemeriksaan yang teliti dan seksama terdapat petunjuk atau patut diduga, bahwa ia secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam gerakan apa yang menamakan dirinya ”G 30 S” dan karena ia ternyata menjadi anggota biasa dari bekas organisasi massa terlarang yang seazas/bernaung/berlindung di bawah partai terlarang PKI. Disebutkan juga bahwa ia sebagai pegawai negeri dianggap telah melakukan perbuatan/pelanggaran yang ternyata yang bertentangan dengan kepentingan dinas dan negara.[7] Pada waktu surat tersebut dikeluarkan, Prof. Dr. Tjan Tjoe Som berusia 64 tahun 10 bulan. Beberapa bulan sebelum Prof. Tjan meninggal, ia menulis: “after all, I have had such a curious life that my present experiences should not astonish me. Who knows what all this is good for.” Prof. Dr. Tjan Tjoe Som meninggal di Bandung enam minggu sebelum ulang tahunnya ke 66 dikarenakan serangan jantung. Kemudian jenasahnya dibawa dan dimakamkan di Solo. Tahun 1976 sang adik, Prof.Dr. Tjan Tjoe Siem meninggal ketika mengambil air wudlu dan dimakamkan di sebelah sang kakak. Memoar Tjan Tjoe Som Sudah 60 tahun terlewati sejak Tjan Tjoe Som yang dikenal oleh sahabatnya (diantaranya adalah Ibu Yesi Agusdin, Program Studi Arab, FS UI) di Fakultas Sastra sebagai sosok bijaksana, rendah hati, berpandangan luas dan paham akan syariat Islam ini menancapkan namanya di dunia Sinologi Internasional. Ketelitian, keahliannya dalam filsafat Cina tentu tak perlu diragukan. Penulis menemukan tulisan-tulisan terjemahan naskah klasik yang kiranya hanya untuk digunakan sebagai catatan pribadi Tjan Tjoe Som. Bundelan-bundelan kertas aus itu tentu menjadi saksi bisu pengabdian Tjan Tjoe Som kepada dunia Sinologi di Indonesia. Karyanya besarnya Po Hu T’ung yang diterbitkan oleh Leiden Brill menjadi saksi kebesaran namanya. Beberapa karya ilmiah sempat ia tulis, seperti De Plaats van de Studie der Kanonieke Boeken in de Chinese Filosofie, Leiden: Brill (1950 dan 1952); On the Rendering of the Word “Ti” as “Emperor” (Journal of American Oriental Society Vol. 71 No.2, Apr – Jun, 1951); Sardjana Sastra dan Pembangunan Kebudyaan Nasional: Sebuah Prasaran (Jakarta, 1961); Tao de Tjing (Jakarta, 1962). Tjan Tjoe Som memang ahli filsafat Cina yang gemar menghabiskan waktunya di perpustakaan Sinologi sampai larut malam sambil menerjemahkan naskah klasik, namun ia turut mengembangkan pemahaman multidisiplin terhadap Studi Cina di Universitas Indonesia.[8] Terlihat dari skripsi lulusan tahun 1955 pun jenisnya beraneka ragam, linguistik, sejarah, sastra, filsafat pun dipilih mahasiswa Sinologi saat itu sebagai bahan kajian. Kurikulum sekitar tahun 1950 sampai 1960 pun sangat menekankan pada bidang keterampilan berbahasa, dan pengetahuan tentang studi Cina. Semasa Tjan Tjoe Som menjadi pengajar, didampingi koleganya yang tak putus semangat mampu mencetak sinolog-sinolog seperti Lie Chuan Siu, Sie Ing Djiang, Tan lang Hiang, Lie Swan Nio, Oe Soan Nio, Oei Ertie Nio, Tan Giok Lan (Mely Tan), Gondomono, Warin Dijo Sukisman, Bastomi Ervan, Abdulah Dahana. Sistem pengembangan Sinologi di Indonesia dibawa oleh Tjan Tjoe Som dari Leiden Belanda sekaligus meneruskan pendahulunya Dr. M.J. Meijer. Maka sejarah perkembangan Sinologi/Studi di Cina dapat disebut mengadopsi sistem Eropa, sebagaimana diketahui pada masanya, Eropa sebagai pelopor studi Cina di dunia. Tjan pun mampu mengawinkan Studi Cina dengan ilmu lainnya yaitu sosiologi dan antropologi. Maka lahirlah formula studi Cina di Indonesia yang sangat khas, kajian Cina di Indonesia pun sah menjadi bahan kajian di Universitas Indonesia.[9] Prof. Dr. Tjan Tjoe Som mungkin menjadi korban tuduhan yang kurang beralasan hanya karena ia menjadi anggota HSI yang notabene ada di bawah PKI. Keterlibatannya dengan PKI pun tidak dapat dibuktikan secara langsung. Apakah Tjan yang mengabdikan seumur hidupnya untuk perkembangan Sinologi mampu berkhianat kapada Ibu Pertiwi? Semua sudah terkubur bersama lukanya. Namun sejarah Indonesia tidak bisa menafikkan bahwa Tjan Tjoe Som adalah peletak batu pertama Studi Cina di Indonesia. Putra bangsa pertama yang memimpin Lembaga Sinologi tertua di nusantara. Tjan Tjoe Som akan tetap menjadi bagian dari sejarah perjalanan Studi Cina di Universitas Indonesia, di Indonesia. 60 tahun pendidikan Sinologi di Indonesia, Tjan Tjoe Som layak dijuluki sebagai Bapak Sinologi Indonesia. Referensi: A.H. T’oung Pao. 1969. Tjan Tjoe Som 1903 – 1969, “T’oung Pao”, Vol. 55, No. 1-3. Leiden: Brill. European Association for Chinese Studies. 2008. EACS Newsletter, No. 40. Jahja, Junus. 2003. Peranakan Idealis Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: KPG. Suryadinata, Leo. 1995. Prominent Indonesian Chinese Biographical Sketches. Institute of South East Asian Studies. Arsip surat menyurat Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Arsip Perpustakaan Sinologi FIB UI. * Agni Malagina asisten pengajar Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. [1] Dalam dokumen surat tulisan tangan Sie Ing Djiang yang ditemukan dalam arsip Program Studi Cina pada tanggal 17 November 2008, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, disebutkan bahwa Lembaga Sinologi – pada tahun 1960 surat itu dibuat disebut dengan Jurusan Sastra Tionghoa – dibentuk pada tahun 1948. Mata kuliah yang diajarkan pada tahun awal berdirinya Lembaga Sinologi untuk menghasilkan ‘sardjana sastra dan Bahasa Tionghoa’ adalah Modern en Documentair Chinees, Klassiek Chinees Teksten, Chinese Cultuurgeschiedenis. (Lihat dokumen ‘Ontwerp regeling van het Examen Sardjana Sastra Bahasa Tionghoa dan Bahasanya’, dikeluarkan oleh Dr. M.J. Meijer dan Dr. R.P. Kramers pada tanggal 3 Februari 1951, arsip Program Studi Cina FIB UI) Dalam Pedoman untuk tahun akademi 1952 – 1953 Universitet Indonesia, disebutkan bahwa Lembaga Bahasa dan Sastra Tionghoa memiliki pengajar dan konservator yaitu Dr.M.J.Meijer. Meijer dibantu Dr.R.P Kramers dan J.King sebagai dosen di lembaga tersebut. Adapun tujuan pengadaan lembaga ini adalah sebagai sebuah seminari Lembaga Sinologi tersebut memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkuliah dalam hal pengetahuan Bahasa dan Sastera Tionghoa. Lembaga tersebut juga didirikan sebagai lembaga penelitian yang disebut memiliki perpustakaan dengan koleksi terbanyak di Asia (saat ini sebagian koleksi yang masih dapat diselamatkan berada di dalam Perpustakaan Koleksi Cina FIB UI yang dibangun atas sumbangan dari Lee Foundation 2003, Singapura. Terdiri dari koleksi salinan naskah klasik, buku-buku tua dari pelbagai penerbit di Eropa dan Amerika yang berkaitan dengan sejarah sastra filsafat dan budaya, jurnal EFEO dari tahun 1920, koleksi kamus, ensiklopedia, dan buku-buku sumbangan dari Kedutaan Besar Rakyat Tionghoa di Indonesia) [2] JJL Duyvendak (28 Juni 1889 – 9 juli 1954) menjadi Profesor di Universitas Leiden pada tahun 1930. Kemudian mendirikan Sinological Institute. Tjan Tjoe Som menjadi pustakawan di konservatori naskah Cina. [3] Pada pertemuan tersebut, London diwakili oleh E.G.Pulleyblank dan H.M.Wright; Paris diwakili oleh J.Gernet dan J.W.de Jong; Stockholm diwakili oleh H.Bielenstein; Cambridge diwakili oleh E.B.Ceadel, P.Van der Loon, M.C.Van der Loon, J. de Morpurgo, dan G.Scott; Oxford diwakili oleh W.A.C.H.Dobson, D.Hawks, K.G.Robinson. Hadir pula Sinolog Senior yang mempresentasikan makalahnya yaitu Prof. Haloun (Cambridge), Dr. A. Waley dan Prof.W.Simon (London), dan Prof. H.H.Dubs (Oxford). Setiap tahun mereka mengadakan pertemuan. Bahkan pada tahun 1955 Amerika, Rusia, dan Cina bergabung dalam organisasi ini. Pada tahun 1975 barulah EACS memiliki formal organisasinya. Saat ini President EACS adalah Brunhild Staiger, Institute of Asian Studies, Hamburg, Jerman. Sekretariatnya berada di Cambridge, dipimpin oleh Roel Sterckx, Departement of East Asian Studies, Universitas Cambridge. (EACS Newsletter, No. 40, 2008) [4] Tjan Tjoe Som menulis banyak terjemahan naskah klasik. Pada tanggal 19 November 2008 ditemukan tulisan-tulisan Tjan Tjoe Som dalam amplop-amplop kecil. Berisi terjemahan naskah klasik, tulisan tangan dalam kondisi masih terbaca jelas, runut, namun kertas sudah dalam kondisi tua kecoklatan. [5] Dalam dokumen pemesanan buku terdapat beberapa kota antara lain, Hong Kong, Peking, Taiwan, Malaysia, Singapura, Tokyo, Den Haag, Cambridge, Leiden, Petty Curry Inggris, Hamburg, New York. Dokumen berasal dari tahun 1953 – 1964. Pembelian buku terbesar terjadi pada tahun 1957 – 1959. Dana pembelian buku berasal dari dana UNESCO coupon, ada juga beberapa dana milik Jurusan Sastra Tionghoa. (lihat dokumen tanda terima pembelian buku Perpustakaan Sinologi. Disimpan di Koleksi Cina, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia) [6] Berikut daftar 18 orang pengajar Fakultas Sastra yang dibebastugaskan: Prof. Dr. Tjan Tjoe Som, Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, Ny. E Kamil, Drs Ave, Drs. Rahardjo, Drs. Sie Ing Djiang, Dra. Ina Slamet – Velsink, Ny. J.B. Ave, Aman Kombali, Ny. Soehadiono, Soehadiono, Ny. Hartini Soegiono, Ny. Murtini Suwardhi Pendit, Abdullah Umar, Tjipta Trunadjaja, Sjukri Siregar, Usaha Tarigan, T.W.Kamil. Dalam dokumen tersebut juga dilampirkan nama-nama mahasiswa Fakultas Sastra yang dibebastugaskan, terdiri dari Jurusan Indonesia(8), Sinologi(5), Jerman(5), Purbakala(3), Rusia(6), Nusantara(2), Antropologi(6), Inggris(3), Arab(2), Sejarah(3), total adalah 43 mahasiswa. Mahasiswa Jurusan Sinologi adalah Wenly Lie, Nani Retno Pamungkas, Tity Soemiati, Ming Ya, Lie Ming In. (Surat Rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965, ditemukan dalam arsip Program Studi Cina pada tanggal 18 November 2008) Mereka kemudian disebut oknum-oknum kontrarevolusioner. Dalam seruan tersebut disebutkan kategori para oknum yaitu orang yang menjadi ketua/anggota pengurus pusat HSI, anggota pimpinan Universitas Republica, pengajar Aliareham, Ronggowarsito, Multatuli, Universitas Rakyat dan Lekra. (Lihat SERUAN Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, tertanggal 11 Desember 1965. Arsip Program Studi Cina, FIB UI.) [7] Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Republik Indonesia tertanggal 12 januari 1968, berdasarkan Surat Rektor Universitas Indonesia di Jakarta tanggal 23 desember 1966 no 242/BR/66 tentang pemberhentian pada dosen dalam lingkungan Fakultas Sastra UI. [8] Pada tahun 1953, Lembaga Sinologi juga memberi pelajaran khusus pada mahasiswa tugas belajar yang berasal dari Dinas Luar Negeri untuk Kementrian Luar Negeri. Pendidikannya disebut berupa kursus, dan diadakan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah akan tenaga ahli Sinologi praktis. Mata pelajarannya antara lain adalah Bahasa Cina Moderen, sejarah politik, kebudyaan Tionghoa, dan ilmu pengetahuan masyarakat. Pada tahun itu, kursus tersebut sedang dipersiapkan untuk menjadi acara Perguruan Tinggi. Lembaga Sinologi juga memberikan bantuan kursus menengah untuk Ilmu Sejarah untuk kepentingan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. (Lihat dokumen surat UMS464-BD, 10 oktober 1953, ditujukan kepada Mr. Hatnan Moh. Ahmad, Direksi Asia Pasifik, Kementerian Luar Negeri R.I. di Jakarta, ditandatangani oleh Prof. Dr. Tjan Tjoe Som). [9] Pada masa selanjutnya, Program Studi Cina FIB UI mengembangkan diri tidak hanya meneruskan peninggalan Tjan Tjoe Som, namun turut memperkaya khasanah Studi Cina dengan paradigma baru yang dibawa oleh Abdulah Dahana, Christine Tala Bachrun yang membawa angin segar dari University of Hawaii dan Cornell University. RRT dan Taiwan pun menjadi sumber ilmu Bahasa Cina yang dikembangkan Program Studi Cina, FIB UI.

Di balik layar lahirnya motto UI Veritas Probitas Iustitia

seperempat akhir tahun 2009, Ketika itu, Rektor UI menginginkan tim buku UI menulis sejarah panjang cikal bakal UI. Prof.Somadikarta dan Prof.Firman Lubis menjadi sesepuh…saya membantu saja, membantu Bapak Priyanto Wibowo, Ibu Titi, dan Mas Kresno. Banyak hal yang saya dapat dari tim Buku UI. Pengetahuan, jelas. Pemasukan, ya tentu. Kekritasan…ini yang baru saja saya dapatkan sepanjang hidup saya yang selalu dilingkupi kata NRIMO dan dininabobokan dalam SEJARAH NRIMO. Prof.Soma berkata,”kamu jangan pernah takut kalau benar. Setiap melakukan sesuatu kita harus berprinsip HEAR-INVESTIGATE-SAY, jangan HEAR-SAY saja.” Kemudian, sampai suatu saat, tim Buku UI, dikomandoi Prof.Somadikarta memperlihatkan bahwa banyak universitas di dunia memiliki motto. Sejumlah universitas tua mempunyai motto dalam bahasa latin. Akhirnya Prof. Soma dan Prof.Firman mencetuskan kata kebenaran kejujuran dan keadilan. Sampailah kemudian, beliau berdua berkata, “ayo coba cari bahasa Latinnya.” Alhasil, karena saat itu saya juga bekerja di Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi di bawah asuhan Prof.Hermina Sutami dan Prof.Harimurti Kridalaksana, saya menjadi seksi sibuk UI (udar ider-ke sana ke mari) untuk mencari kata latin. Di sebuah hari dekat bulan November, saya menuju ruangan yang saya klaim sebagai kantor saya. Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi, tempat penyimpanan penelitian KATA terbanyak di UI menjadi tujuan saya. Sayang, saya tidak membawa kunci. Saya pun terhenyak, karena Prof.Hermin pun tidak berada di dalam ruangan. Pintu terkunci. Dalam kelemasan yang saya alami, tiba-tiba saya melihat sekelebat lampu dari ujung mata. Ahaaa….ruang Centre for Chinese Studies terang. Pintu pun sedikit terbuka. Saya pun bisa melihat Romo Wibowo (almarhum) di dalam sedang membaca namun segera melambaikan tangannya ketika mendongak dan melihat saya. Saya pun nekat mendatangi beliau. Saya menuju ruangan itu dan langsung bertanya (tanpa ketuk-ketuk pintu), “Romo, latinnya kebenaran kejujuran dan keadilan apa ya?”. Romo menjawab,”ngapain kamu tanya-tanya latin?”. Saya menjawab seserius mungkin,”ada bisnis niy Romo.” Romo bertanya,”bisnis apa yang pake latin?… kamu mau buka toko roti? Seperti toko roti probitas yang ada di Solo?” Saya tidak dapat menyembunyikan keanehan yang saya dengar dan mengernyitkan kening. Saya rasa baru mendengar ada nama toko seperti itu. “Agi disuru nyari di kamus latin, tapi kamus latinnya ada di Lab Leksiko, terus agi ndak bawa kunci lab, Romo. Kebetulan kantor Romo nyala lampunya, ya saya mampir.” Romo tertawa,”kok terus belok ke sini?” Saya menjawab,”kan Romo pernah di kirim ke Vatikan, pasti tau dong.” Romo langsung jawab: VERITAS PROBITAS IUSTITIA. Dan dia ketawa lagi…”kalau tokomu pake 3 kata itu, orang bingung, ndak akan ingat namanya.” Saya menjawab sekenanya,”itu buat motto UI Romo, agi disuruh sama pak Soma. Terima kasih ya Romo, agi jalan lagi ke rektorat.dadah Romo.” Romo Wibowo hanya berkata,”itu buku yang dicopy cepat dikembalikan.” Saya pun mengambil langkah seribu, ngeloyor pura-pura tidak mendengar, sambil melambaikan tangan. Tak disangka, ternyata begitu keluar ruangan CCS, ternyata Prof.Kridalaksana sudah berada di dalam. Maka, sekali lagi, saya berusaha mencari alternatif jawaban yang lain. Dengan sigap, Prof.Harimurti berkata, VERITAS PROBITAS IUSTITIA. Tanpa melihat kamus! Beliau bertanya,”untuk apa?” Saya menjawab,”untuk dijadikan motto UI, Bapak.” Kemudian beliau meminta saya membuka kamus bahasa Latin dan mengecek artinya. Benar adanya..cocok dengan permintaan Prof.Somadikarta. Segeralah saya mengucapkan terima kasih dan mohon ijin bergerak menuju kantor tim buku UI. Hari itu…motto UI lahir… Terima kasih Prof.Harimurti Kridalaksana dan Romo I.Wibowo, juga kepada TIM BUKU UI yang mengajarkan saya banyak hal!

Rabu, 16 Juni 2010

Ko Ciat: Persinggahan tradisi dari masa dinasti sampai era globalisasi!

Berenang-renang di Sungai Kapuas, berakit-rakit ke tepiannya dari pukul 11.00 – 13.00. Saya menaiki sampan bermotor menantang panas matahari Pontianak yang kadang tak bisa beramah tamah dengan kesadaran saya. Hari ini tanggal 16 Juni 2010 atau bertepatan dengan tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek/Yinli, sungai Kapuas menjadi tempat mandi ratusan etnis Tionghoa yang tinggal di sepanjang Kapuas. Ada peristiwa apakah hari ini?

Selamat Ko Ciat, beberapa status di tembok Facebook kawan-kawan Pontianak dan Singkawang bertaburan kalimat selamat Ko Ciat. Saya pikir kalimat itu artinya adalah Selamat Pagi! Ternyata dalam bahasa dialek Hakka, kalimat tersebut artinya adalah MAKAN BESAR. Ada perayaan apakah hari ini?

Tak sengaja saya pun hari ini bercakap dengan seorang tokoh Tionghoa yang banyak menulis tentang kebudayaan Tionghoa di Kalimantan Barat, X.F. Asali. “Agni, hari ini makan Bacang, ada peristiwa meninggalnya penyair terkenal di masa dinasti, tau?”
“Qu Yuan, Pak? Yang terkenal dengan Lisaonya,” jawab saya singkat.

Ya, hari ini hari diperingatinya kematian Qu Yuan 屈原 (340-278 SM), seorang penyair besar pada masa Dinasti Chu masa Negara Berperang Zhanguo Shidai (战国时代 475-221 SM), politisi kritis yang diduga bunuh diri pada masa pengasingannya. Jenasah Qu Yuan pun tidak pernah ditemukan. Masyarakat yang mencintainya kemudian membuat makanan yang dibungkus daun bambu, sekarang dikenal sebagai Bacang. Kemudian mereka melemparkan bacang tersebut ke sungai agar tubuh Qu Yuan tidak dimakan oleh ikan buas, mereka juga meletakkan bacang di tepi sungai agar jika Qu Yuan bersembunyi di dalam hutan ia akan keluar untuk mengambil makanan tersebut. Begitu pula ada banyak orang yang menggunakan perahu menyusuri sungai untuk mencari tubuh Qu Yuan, namun tubuh itu tak pernah ditemukan. Setiap tahun, masyarakat Cina mengingat Qu Yuan dengan acara makan Bacang, Perahu Naga dan diselingi pesta Lampion. Sebuah tradisi tua yang terus singgah dari generasi satu ke generasi yang lain, dari masa dinasti hingga era globalisasi. Terkadang juga mengalami komodifikasi.

Mengapa ada Ko Ciat? Mengapa ada tradisi berenang di sungai dan mengambil air Wushi sui pada tengah hari?

Tradisi Ko Ciat atau makan besar hari ini disiapkan oleh para perempuan untuk menyambut perayaan makan Bacang. Bukan pesta, tetapi memasak untuk seluruh anggota keluarga besar. Makan bersama, bersama duduk dan bercerita memperkenalkan tradisi. Biasanya Ko Ciat dilakukan untuk makan sore atau malam. Tak heran, banyak etnis Tionghoa di Pontianak menutup tokonya setelah pukul 13.00. Mereka bersiap untuk Ko Ciat bahkan banyak di antara mereka yang mengikuti tradisi mandi di Kapuas sebelum merayakan Ko Ciat.

Setiap tahun, antara pukul 11.00-13.00, para pemuda dan amoy-amoy tak terkecuali anak-anak bersampan ria di tengah sungai Kapuas, mereka yang telah dewasa biasanya menceburkan diri ke Sungai Kapuas, berenang-renang dan mengambil air sungai tepat pada pukul 12.00 siang. Tradisi ini dipercaya untuk membuang sial, duka dan lara. Menumpahkan segala gundah dan gulana, membersihkan diri dengan air yang dianggap mampu menghanyutkan segala bentuk energi negatif sekaligus mendatangkan kebaikan dan keberuntungan. Mereka juga mengambil air, membungkusnya dalam plastik-plastik atau menyimpannya dalam jerigen. Konon air ini kemudian disimpan di rumah, sering digunakan untuk air obat, setahun pun tak akan berubah rasa dan tiada berbau.

Berperahu selama 20 menit pun tak terasa. Sempat seorang amoy belia pingsan dan dinaikkan ke sampan yang saya naiki. Masih sangat belia dan mengikuti kegembiraan perang lempar air dari sampan satu ke sampan lainnya. Ketika waktu mulai bergeser tak lagi di tengah hari, satu-persatu sampan yang membawa muda-mudi itu pun bergerak ke tepi. Sempat kubertanya pada seorang pemuda, “acara apa hari ini? Mengapa berenang?” dan si dia hanya menjawab,”berenang saja di hari Ko Ciat, melepas sial.”

Dia terus berenang ke tepi Kapuas, sambil berteriak Selamat Ko Ciat! Semoga dia akan selalu mengingat tradisi keluarganya, tidak seperti aku yang sudah kehilangan akar tradisiku. Entah aku berada dimana dan melakukan apa? Aku tak ingat lagi apa itu simbolisasi upacara tedak siten, atau pun upacara adat pernikahan Jawa. Semua yang kualami telah mereduksi ingatan masa kecilku yang erat dengan tradisi Jawa. Mereka yang semuda itu masih berenang dengan jumawa di Kapuas, masih percaya keberuntungan akan datang setelah melarung duka di Kapuas. Tak peduli budaya tradisinya masih tradisional atau dianggap sudah ketinggalan jaman, mereka tetap berenang menyambut Ko Ciat. Sampai pada titik ini, budaya tradisional transnasional Tionghoa di Indonesia bertahan, mengalami reproduksi regenerasi untuk bertahan. Selamat Ko Ciat!

salam hangat
agni malagina
pengamat naga

Senin, 14 September 2009

Mustofa: Malam ini, terakhir dalam sunyi sampai nadi terhenti nanti

Ya Rabbi bil Musthofa
balligh maqoshidana
waghfir lana ma madho
Ya Wasi'al karomi...


Suatu ketika saat malam sampai pada puncak suramnya, aku menengarai bunyi gesek biola dan Asma Allah dan sang Nabi disebut. Malamnya malam membawa pada sepi yang mulai meniupkan angin dingin menyentuh rona semu tengkuk. Teringat perjalanan liku dan ragu penuh pilu. Hanya ingatan itu yang masih tersisa dan membuatnya tetap ada. Tak terasa, saat tatap dinding putih itu, mata pun bersemuka dengan rasa. Hanya ada rasa dahaga yang tak terbayar oleh air mata. Kurang dari sedepa tertunduk sampai pada nama tertinggi senar terpendar dalam nada bernada.

Terdengar bunyian Mustofa dalam getar doa. Hanya ada malam ini yang begitu sunyinya sampai menebar wangi melati suci. “Wahai Tuhanku dan Tuhan Nabi kami Muhammad, kabulkanlah segala keinginan dan cita-cita kami. Dan ampunilah apa yang telah kami lakukan di masa yang lalu. Duhai Engkau Tuhan, yang membukakan pintu rahmat.”
Hanya ada rasa itu dalam dada. Berkecamuk bertumbuk dalam jiwa raga. Menggetarkan ujung-ujung semburat halus vena arteri yang membawa nafas. Hanya ada rasa itu. Bergejolak melonjak menembus hipotalamus. Mengunci ingatan terdahulu yang membangun jiwa kini. Tak ada lagi rasa sesal kekal. Hanya serah jiwa yang menjadikannya hampa. Catatan ini hanya menjadi milik malam seorang sendiri sahaja.

Malam ini, terakhir dalam sunyi sampai nadi terhenti nanti

agni

tengkyu kang okeu yang nerjemahin dengan penuh haru plus nulisin latin arabnyah

Rabu, 28 Januari 2009

BOIKOT PRODUK YANG MENGUNTUNGKAN ISRAEL: spek produknya apa yaa Om?

Palestina sepertinya lagi ‘in’ buanget di kalangan tertentu...dari mahasiswa sampai partai politik, dari para santri sampai pemimpin negeri. Semua beramai-ramai mengeluarkan suara simpati sampai nekat pergi berjihad ke Palestina untuk melawan Israel.


Minggu tanggal 18 Januari 2009, saya melintas kota Bogor sepulang dari Giri Jaya. terkejutlah saya ketika di sudut mata saya tertangkaplah poster fotocopy-an bertuliskan “BOIKOT PRODUK YANG MENGUNTUNGKAN PENGUSAHA ISRAEL” yang dipajang di daerah pusat komunitas Arab, Empang, Bogor.

Nah lo, bagaimana saya tidak terkejut, jangankan produk Israel, untuk mengetahui produk Indonesia saja saya tidak bisa cepat tahu. Saya berpikir, yang mana ya produk Israel? Mungkin memang ada produk Israel yang masuk Indonesia, tapi yang manaaa?

Saya heran mengapa si pembuat poster seruan itu tidak mencantumkan spesifikasi produknya, untuk memudahkan saya sebagai masyarakat untuk mengidentifikasi produk Israel...hehehe

Saya bingung dengan tujuan si pembuat poster? kok ya sampai boikot-boikot negeri orang ya? kenapa tidak boikot LAPINDO saja? yang jelas-jelas merugikan tanah air dan bangsa Indonesia, Si NKRI yang sudah semakin renta ini. Atau boikot saja pemerintah Indonesia jika memang pemerintah dianggap tidak adil kepada rakyat. Laaa ini malah boikot produk negara orang yang tidak merugikan Indonesia. Boleh lah produk Israel diboikot jika terbukti mengandung merkuri, melamin, dan dapat membahayakan nyawa masyarakat Indonesia.


Belum lagi selesai....ketika saya melintas papan pengumuman di area kampus saya, saya membaca poster “EDUCATION FOR PALESTINE” yang kabarnya sudah mengumpulkan dana lebih dari 1 Milyar untuk beasiswa pemuda Palestina. diajukan juga opsi agar mereka dapat kuliah di Universitas Indonesia. Waduh...edan saya pikir, la wong di depok saja masih banyak anak putus sekolah lo. Kok ya jauh-jauh mikirin nasib pendidikan pemuda harapan bangsa Palestina. Lalu bagaimana dengan nasib pendidikan pemuda pemudi harapan bangsa NKRI ini?


Gelombang demo anti Israel pun memang masih bergejolak di seluruh dunia ini. Wajarlah itu terjadi dengan alasan simpati dan kemanusiaan. Tapi rasanya lucu jika semua-mua yang dilakukan di atas dilakukan dengan alasan solidaritas agama....hmmmm...agak lebaaay kayanya. Kalau mau memakai solidaritas agama...banyak muslim di Indonesia yang menderita miskin papa yang memerlukan uluran tangan dari muslim yang memiliki kemampuan membantu sesamanya. Rasanya tidak perlu jauh-jauh sampai menolong orang yang di Palestina. Palestina kan dekat dengan jutaan muslim yang tinggal di dunia Arab sana, pastilah banyak yang bisa lebih cepat membantunya. Pak ustad saya pernah bilang, “tolonglah saudaramu yang terdekat.”



Tapiii..ya apa daya seorang saya ini? Cuma bisa protes begini. paling tidak...saya sangat bangga, ada kalangan di Indonesia yang sangat peduli dengan sesamanya yang sedang menderita di belahan dunia mana pun. Saluut.....Terus perjuangkan kebebasan Palestina (????)... rakyat Palestina BERHAK BAHAGIA!



saya rasa, masyarakat Indonesia juga BERHAK BAHAGIAA!




Agi berkata: “Pak Ustad....tolong saya doong.”



salam,

agni