tag:blogger.com,1999:blog-71162414238791144502024-02-20T15:30:59.907-08:00Agni Malaginaneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.comBlogger94125tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-43558717499042328132013-06-24T21:15:00.002-07:002013-06-24T21:18:17.562-07:00Cap Gomeh di tanah Timor: Meramu kesadaran menciptakan harmoni multikultur Beberapa saat lalu baru saja kita memasuki tahun Kelinci, Imlek 2526. Jika perayaan Imlek tidak tampak hingar bingar, maka lain dengan perayaan Cap Gomeh, yaitu perayaan 15 hari setelah Imlek yang diisi dengan pawai-pawai budaya. Perayaan Cap Gomeh di Indonesia perlu diamati sebagai sebuah gejala budaya multidimensi. Mari kita tengok berita beberapa tahun belakangan. Cap Gomeh dirayakan secara besar-besaran di beberapa titik pusat komunitas etnis Tionghoa seperti di Medan, Pontianak, Singkawang, Makassar, Jakarta, Bogor, Semarang, dan Surabaya. Parade pawai – gotong toapekong, atraksi liong dan barongsai, serta tatung-tatung – yang menelan perhatian dan dana yang cukup besar sehingga festival Cap Gomeh menjadi ikon perayaan budaya sebuah kota maupun propinsi. Singkawang terkenal dengan Festival Cap Gomeh yang sudah menjadi bagian integral dari masyarakat Singkawang sejak masa orde lama dan orde baru. Pada masa orde baru, pawai Cap Gomeh tidak berhenti total. tetap semarak walaupun dalam skala kecil. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Pulau Jawa, kegiatan pawai Cap Gomeh ini nyaris tidak pernah terjadi selama kurang lebih 30 tahun masa pemerintahan Orde Baru.
Lain dulu lain sekarang, pawai Cap Gomeh sudah menjadi konsumsi publik nasional. Bogor contohnya yang telah berhasil menyelenggarakan pawai Cap Gomeh 4 tahun berturut-turut dengan mengusung semangat multikultural dalam kegiatannya. Kegiatan yang selalu diawali dengan upaca potong lidah ini kemudian dilanjutkan dengan pawai keliling kota. Menarik karena dalam pawai ini dapat terlihat kelompok kesenian sisingaan dan kelompok adat kampung sunda yang ikut meramaikan pawai. Atau mari kita lirik kegiatan pawai di Jakarta beberapa tahun lalu, selain toapekong barongsai liong, terlihat pula grup reog ponogoro, kelompok tarling Cirebon, atau penari-penari dari Jawa Tengah. Menarik, bahwa pawai Cap Gomeh menjadi ‘melting pot’ meminjam istilah dalam multikulturalisme yang populer di Amerika. Hal ini kemudian diperkuat dengan slogan kegiatan seperti ‘Pesta Rakyat’ pada pawai Cap Gomeh di Bogor, Jakarta, Makassar, Ternate, dan lain-lain. ‘Pesta Rakyat’ ini digunakan sebagai slogan kebersamaan, bahwa perayaan Cap Gomeh bukan saja menjadi perayaan di kalangan etnis Tionghoa saja, melainkan pula perayaan milik seluruh masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional. Budaya ketiga dari transnasional diaspora etnis Tionghoa di Indonesia berusaha untuk mengadopsi konsep multikulturalisme dengan menggandeng pelaku-pelaku seni tradisi dari etnis lainnya.
Secara sederhana, multikultur agaknya dipahami sebagai ‘kebersamaan’ dalam konteks menampung kegiatan seni tradisi multietnis dalam sebuah pawai yang nota bene merupakan pawai Cap Gomeh. Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik ketika peristiwa pawai Cap Gomeh menjadi lokal atau dilokalkan akibat proses difusi multikultural yang menjadi salah satu agenda pemerintah Republik Indonesia. Fenomena yang sama pun terjadi dengan didirikannya anjungan Tionghoa dan rumah ibadah Klenteng di komplek Taman Mini Indonesia. Tak kalah menariknya ketika anjungan Tionghoa TMII pun mengadakan kegiatan menyambut Cap Gomeh dengan pelbagai acara seperti pameran, pertunjukan seni, dan gerai ramal meramal. Wacana multikultural yang dilokalkan mejadi salah satu ciri khas multikultural di Indonesia yang berusaha mengumpulkan bermacam manusia Indonesia berlatar suku, ras, dan agama yang berbeda.
Etnis Tionghoa yang terlupa di tanah Timor
Jika titik komunitas etnis Tionghoa tampak solid di beberapa daerah yang telah disebutkan di atas, tak ada salahnya jika kita tengok persiapan perayaan Cap Gomeh di sebuah kota kecil yang bernama Atambua. Sebuah kota kecil yang terletak di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), tepat di perbatasan Republik Indonesia – Timor Leste. Sampai saat ini, belum ada kajian studi Cina yang mendalam tentang etnis Tionghoa di daerah ini. Padahal, etnis Tionghoa di daerah kecil ini memegang peran penting dalam perekonomian transnasional lintas batas RI-Timor Leste. Kebanyakan mereka memegang peran penting sebagai pedagang perantara antar negara yang menyuplai bahan kebutuhan pokok, elektronik, bahan bakar, sandang, furnitur dan pelbagai macam kebutuhan warga Timor Leste. Tak pelak, perputaran uang di lintas batas ini sangat besar.
Selain bidang ekonomi, etnis tionghoa Atambua pun sangat aktif berkegiatan politik. Data menunjukkan setengah dari anggota DPRD kabupaten Belu adalah keturunan Tionghoa. Jika etnis Tionghoa di Atambua tetap dijuluki pemain ekonomi handal memang masih tepat – sesuai dengan peran mereka sebagai pedangang perantara (Bonacich, 1973 menyebutnya sebagai middleman minorities) sejak masa kolonial – namun kenyataan ini berbanding terbalik dengan pemertahanan budaya leluhur mereka.
Menarik ketika memperhatikan fenomena kebudayaan etnis tionghoa di kantong-kantong etnis tionghoa seperti Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar yang tampak hingar-bingar setiap tahun merayakan Imlek dan Capgomeh. Hal sedemikian rupa tidak terjadi pada kelompok tionghoa di Atambua khususnya, NTT pada umumnya. Kebanyakan etnis tionghoa di daerah ini asing dengan kata ‘tionghoa’. Hal ini disebabkan kebanyakan dari mereka adalah keturunan dari pedagang-pedagang Cina Makau dan Hongkong yang sudah melakukan perjalanan perdagangan pada abad 14 untuk mendapatkan kayu cendana dan lilin terbaik di dunia dari tanah Timor. Atapupu sendiri merupakan bekas pelabuhan ramai yang diakui dunia karena nama Atafufus (Atapupu) dapat ditemukan dalam peta dunia yang dibuat oleh Diego Ribero pada tahun 1539. Kemudian banyak di antara mereka menikah dengan putri-putri raja Timor dengan sistem kawin masuk (naik rumah/saenona), dengan kata lain, setelah menikah, seorang pria Tionghoa akan menanggalkan marganya, bahkan anak-anaknya kelak akan menggunakan nama keluarga ibunya. Nama Tionghoa boleh diberikan sebagai alias dan dianggap tidak sah. Dimulai dari sini, pemertahanan budaya etnis tionghoa yang memegang teguh garis keturunan laki-kali (patriarki) di tanah Timor seolah memudar. Terbukti pula, tidak ada klenteng tua yang bertahan di daratan ini. Sumber tutur lisan pernah menyebutkan adanya klenteng di Atapupu (Atambua), saat ini masih tersisa pondasi yang diyakini sebagai bekas klenteng yang dibangun pada tahun 1512. Kemudian pemiliknya menjual tanah dan bangunan tersebut pada misi gereja Portugis pada tahun 1883. Satu-satunya yang tertinggal di tanah Timor adalah Rumah Abu Keluarga Lay yang terletak di Kupang, berdiri sejak tahun 1865.
Tradisi yang nyaris pudar
Imlek di Atambua tampak sunyi senyap. Seolah mengikuti sepinya hari Imlek di seluruh dunia. Namun aktivitas etnis tionghoa yang banyak menganut agama Katolik (serani tua) atau Kristen (serani muda) dalam merayakan tradisi leluhur masih berjalan. Dalam kelompok mereka pun terbagi antara yang tidak lagi menjalankan tradisi dengan yang masih dan atau mencoba merevitalisasi tradisi leluhur. Beberapa kelompok kelompok yang lebih suka disebut keturunan Cina bukan Tiongha, mengatakan bahwa mereka merayakan Imlek dengan acara keluarga, saling mengunjungi sanak saudara. Cap Gomeh? Tidak, tidak ada perayaan sama sekali. Kebanyakan dari mereka menggunakan momen Cap Gomeh untuk berkumpul dengan keluarga, makan kue bulan, dan menceritakan makna makan kue bulan di hari ke 15 Imlek. Generasi tua selalu menceritakan sejarah kedatangan nenek moyangnya sampai terjadi asimilasi sempurna yang menurunkan etnis Tionghoa bermarga Bitin Berek, Halitaek, Sally, Umaklaran, Surik, Mahakbas, Pareira, Lopez, da Silva, da Costa dan lainnya. Mereka hidup di tanah Timor dan menjadi orang Timor. Mereka menyambut tamu sahabat dengan sirih pinang. Mereka pun hidup berdampingan dengan masyarakat suku asli Timor. Tiada persiapan pawai Cap Gomeh atau bahkan tari barongsai yang telah mengglobal dari pusat perbelanjaan sampai panggung kampanye partai politik. Sungguh berbeda dengan fenomena kecinaan di Indonesia bagian barat yang nyaris selalu dililit konflik SARA.
Mari kita kembali melihat pudarnya tradisi dan orientasi budaya Tionghoa di Kabupaten Belu – Atapupu, Atambua, Besikama – yang disebabkan banyak faktor, diantaranya adalah faktor asimilasi sempurna dan agama. Selain memeluk Katolik, banyak juga di antara para keturunan Tionghoa ini memeluk Islam. Mereka hidup rukun dan meminimalisasi konflik antar etnis yang mungkin terjadi di antara mereka. Toleransi beragama dan tenggang rasa di antara masyarakat kabupaten Belu terasa sangat tinggi, minim hubungan mayoritas-minoritas. Gambaran ini sangat jauh dari maraknya konflik berbau SARA yang sedang ramai dibicarakan semenjak kasus penyerangan pada kelompok Ahmadiyah di Banten, maupun kasus insiden Temanggung yang mengakibatkan rusaknya beberapa gereja. Agaknya masalah SARA di Indonesia perlu ditengarai sebagai hal penting dan tidak boleh diabaikan oleh pemerintah dalam menjaga stabilitas NKRI. Peran seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan keharmonisan bernegara pun tak kalah penting. Permasalahan struktur dan kultur dalam konflik SARA perlu ditelisik lebih lanjut dengan meningkatkan semangat toleransi dan tenggang rasa dalam tatanan sosialisasi bernegara. Apakah momentum 10 tahun desentralisasi di Indonesia dapat menguatkan bangsa sebagai bagian ‘kampung global’ yang mengedepankan semangat menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)? Apakah semangat reformasi hanya digunakan untuk mengumbar kebebasan berpendapat dan beraksi sehingga menimbulkan anarki? Selamat menikmati lontong Cap Gomeh!
agni malagina, pengamat naga
Februari 2011neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-27880533213925737102013-06-24T21:14:00.002-07:002013-06-24T21:14:37.598-07:00Geliat Barongsai nan Eksotis: Dari global ke lokal, kembali ke global Satu hal yang mencolok terjadi setelah Peristiwa Mei 1998 adalah munculnya Barongsai dan tarian singa dan naga di banyak kota di Indonesia. Mula-mula hanya pada perayaan tahun baru Imlek saja tarian itu diperagakan. Tapi selanjutnya tarian Barongsai (demikian disebut di Indonesia) diperagakan di banyak kesempatan. Misalnya, pada kesempatan pembukaan sebuah mall, atau peristiwa-peristiwa penting semacam pembukaan pesta olah raga, pawai di jalan protokol, dan lainnya.
Dengan kata lain terjadilah boom tarian Barongsai, suatu hal yang mengagumkan, karena untuk jangka waktu yang amat panjang (30 tahun) tarian ini dilarang sama sekali diperagakan di tempat umum di seluruh wilayah Indonesia. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh Presiden Abudrahman Wahid tarian Barongsai segera hidup lagi dan menjadi atraksi yang memikat di seluruh Indonesia. Saat ini di banyak kota Indonesia telah muncul banyak kelompok penari Liong (Naga) dan Barongsai, yang berciri profesional bahkan kormersil.
Tak dapat diingkari bahwa maraknya tarian Barongsai ini akan menghubungkan Indonesia kepada gejala yang sama yang terjadi di seluruh kota-kota di Asia Tenggara yang didiami oleh etnis Cina. Di Kuala Lumpur misalnya diadakan lomba Barongsai internasional, yang mempertemukan kelompok Barongsai di Asia Tenggara. Peristiwa ini dengan sendirinya menghubungkan kelompok-kelompok serupa yang ada di Hong Kong, Taiwan, bahkan juga Daratan Cina. Lewat kelompok Barongsai ini Indonesia terhubung dengan simpul-simpul yang mementaskan tarian Barongsai.
Tulisan ini bermaksud menanggapi geliat Barongsai yang sedemikian menggejala di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ini merupakan ekspresi kebebasan yang dialami oleh etnis Cina akibat Reformasi 1998? Ataukah ini merupakan kegiatan yang setelah 10 tahun sebenarnya sudah meluas, tidak ada terbatas pada etnis Cina, tapi telah menjadi ekspresi kebudayaan orang Indonesia pada umumnya? Makalah ini memaparkan tentang barongsai, tidak termasuk tari liong didalamnya.
Pada bagian pertama dari makalah ini menyajikan asal usul tarian singa yang lebih sering kita kenal sebagai Barongsai. Bagian ini akan menguraikan sejarah tari singa di negeri asalnya, Cina. Pada bagian kedua diuraikan perkembangan Barongsai di Indonesia dengan menggunakan data wawancara yang dikumpulkan pada bulan Mei 2009 karena sumber tertulis masih sedikit yang dapat diperoleh.[1] Sementara pada bagian ketiga akan diuraikan bagaimana wacana Barongsai yang menggeliat cantik erotik di Indonesia bersinggungan dengan wacana kontestasi politik dan etnisitas yang berkembang di dunia.
1. Pementasan Barongsai
”Barongsai” yang dikenal dengan舞狮wǔshī merupakan tari tradisional rakyat Cina yang sudah ada sejak abad 3 SM. Hal ini berhubungan dengan kisah mitologi yang berkembang pada masa Dinasti Tang (618 – 906). Suatu ketika salah seorang raja bermimpi bertemu dengan mahluk yang menyelamatkanya. Keesokan hari sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dan menceritakan bentuk mahluk yang hadir dalam mimpinya. Menteri mangatakan bahwa mahluk itu adalah singa yang datang dari Barat (India). Raja kemudian memerintahkan agar menteri membuat replika mahluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu singa menjadi simbol keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Walaupun singa bukan binatang asli Cina, kreasi bentuknya digunakan sebagai hadiah bagi kaisar dari generasi ke generasi. Ragam hias bentuk singa pun tidak terlau banyak muncul dalam ragam hias Cina tradisional karena ragam ini diperkenalkan oleh pengaruh Budhisme yang masuk ke Cina sebagai simbol pembela kebenaran dan penjaga bangunan suci.
Biasanya Barongsai dipentaskan pada kesempatan pesta atau perayaan tradisional Cina, misalnya Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Tarian ini biasanya ditampilkan sebagai sebuah tarian yang diiringi oleh tabuhan kendang dan genderang, juga simbal, alat-alat musik khas Cina. Suasana amat riuh dan sekaligus mengairahkan. Barongsai berbentuk seekor singa, yang berkepala besar sekali, dengan mulut menganga, gigi lancip dan taring besar serta mata yang melotot keluar, kelihatan menyeramkan. Tapi wajah dan kepala singa dihias indah, sehingga malah berkesan lucu. Tubuh singa bersisik-sisik, dan pada bagian belakang terdapat ekor yang kecil. Satu Barongsai dimainkan oleh dua orang, bagian kepala dan bagian badan. Dua orang ini memang harus sangat kompak sehingga Barongsai benar-benar kelihatan menari, dengan indah dan lincah. Tidak jarang Barongsai dipentaskan dalam gerak akrobatik yang memukau sekaligus mendebarkan. Inilah yang menambah daya tarik Barongsai. Selain diiringi genderang dan simbal, Barongsai juga sering dipentaskan dengan iringan letupan petasan, yang memekakkan telinga. Petasan dipercayai dapat menakut-nakuti serta menghalau roh jahat, dan sekaligus membawa keberuntungan dan kemakmuran.
Untuk membuat tarian semakin atraktif, ditambahkan juga permainan bola (要狮子y1osh9z-) yang dimainkan oleh dua orang (laki-laki). Bola-bola ini dihias dengan warna-warna mencolok. Bola ini sering dimaknai sebagai matahari, tapi ada pula sebagai telur, simbol kekuatan alam. Konon singa barongsai ini dapat menghasilkan susu dari telapak kakinya. Maka penonton meletakkan bola dalam aneka macam corak yang dapat digunakan oleh singa untuk bermain-main dan menghasilkan susu untuk mereka. Dalam ragam hias, yang biasanya dalam bentuk arca, singa jantan digambarkan sedang membawa bola, sedangkan singa betina ditemani singa kecil atau kerincingan alat musik. Singa ini pun muncul menjadi ragam hias utama bak dua naga yang bertarung berebut mutiara kehidupan. [2]
Sebelum pementasan diperlukan persiapan-persiapan khusus. Wawancara dengan kelompok Barongsai dari klenteng Ho Tek Ceng Sin, Bogor, mengungkapkan bagaimana persiapan-persiapan dijalankan, ketika perayaan Imlek akan dilaksanakan. Para pemainnya harus berpuasa tidak makan daging, hanya makan sayuran, selama dua minggu sebelum upacara berlangsung untuk menyucikan diri dari nafsu duniawi. Mereka pun harus melakukan beberapa ’ritual’ seperti membersihkan barongsai, kemudian meletakkannya di atas altar yang sudah tersedia sesaji buah jeruk atau apel yang berjumlah ganjil simbol kesejahteraan. Ritual ini dilakukan agar upacara dan pertunjukkan berjalan lancar. Sebelum upacara para pemain bersembahyang terlebih dahulu. Kemudian sebuah kertas mantra yang ditulis dengan ’darah’ dari upacara potong lidah pun ditempelkan pada kepala sang barongsai oleh sang saman yang sudah ’kerasukan’ roh leluhur.
Setelah proses ini selesai, barongsai pun beraksi hampir selama 30 menit. Waktu 30 menit adalah waktu yang cukup lama untuk memainkan barongsai tanpa berganti pemain. Beberapa di antara pemain ini mengatakan bahwa sangat sulit mempertahankan stamina kekuatan, kecepatan, kelenturan dan ekpresi Barongsai pada kesempatan pertunjukan di luar klenteng agar tetap menarik di hadapan penontonnya. Namun tidak demikian jika mereka melakukan pertunjukan di klenteng. Odhi yang menganut agama Budha mengatakan bahwa bermain selama 30 menit tidak akan terasa lelah, bahkan ketika ada rasa lelah datang, tiba-tiba mereka sekan-akan memperoleh kekuatan baru untuk bermain sampai akhir. Para pemain ini pun mengaku merasakan dorongan kekuatan tersebut datang tiba-tiba dan mereka percaya bahwa kekuatan tersebut datang dari berkah para leluhur yang ’hadir’.
Lain lagi jika barongsai dimainkan di lingkungan para praktisi kungfu. Sebuah sekolah kungfu belum disebut sekolah kungfu apabila belum memiliki tim Barongsai. Dalam membawakan tarian ini diperlukan kekuatan, stamina, kelenturan, keseimbangan dan kemampuan untuk memvisualisasikan serta memunculkan gerakan dan ekspresi dramatik. Pemain Barongsai berjumlah dua orang yang masing-masing memegang bagian kepala dan menjadi ekor. Kepala Barongsai sangat berat – biasanya dibebani logam, memerlukan bahu dan lengan yang kuat. Sedangkan pemain di bagian ekor lebih memerlukan kekuatan di pinggang dan kaki serta kecepatan ketepatan mengikuti gerak kepala Barongsai.[3]
Apabila Anda penggemar Jet Li dan sempat menyaksikan film kungfu berjudul Once Upon Time in China (1991) dengan tokoh utamanya adalah Wong Fei Hung, Anda akan menyeksikan barongsai digunakan sebagai alat berkomunikasi adu kekuatan antar perkumpulan kungfu se-Cina yang sedang giat-giatnya mengobarkan semangat revolusi melawan Dinasti Qing. Kemudian muncullah tokoh legendaris Wong Fei Hung sebagai master barongsai. Pada saat itu barongsai memiliki fungsi sebagai wacana kekuasaan yang dimunculkan melalui representasi, simbol kekuatan dan ritus resistensi terhadap kekuasaan hegemoni. Selama beberapa abad, barongsai diturunkan dari guru di sekolah kungfu kepada muridnya. Seiring dengan diaspora etnis Cina, barongsai pun kemudian menyebar bersama diaspora etnis Cina ke segala penjuru dunia.
2. Barongsai di Indonesia
Kata “barongsai” tidak dikenal dalam bahasa asal permainan ini. Kiranya ada pergeseran dalam hal pengucapan. Christin Bachrun dalam tulisannya “Barongsai: singa atau naga?”[4] menyebutkan bahwa kata ‘Barongsai’ bisa sepenuhnya berasal dari Bahasa Hokkian ‘bbu lang say’ (舞弄狮w&l$ngsh9) dilafalkan ‘bulangsai’ oleh kelompok masyarakat berbahasa Hokkian dan terdengar ‘barongsai’ oleh penduduk lokal.[5]
Sejarah masuknya barongsai ke Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Kemungkinan barongsai muncul dan berkembang di Indonesia pada masa keemasan ketika warga Cina masuk dalam kategori penduduk Hindia Belanda golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) [6]. Pada masa kolonial, para imigran Cina yang datang ke Indonesia sudah cukup mapan untuk mengadakan acara pertunjukan barongsai. Pada masa itu barongsai menjadi bagian dari kegiatan di klenteng-klenteng yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Klenteng Dhanagun (Bogor), misalnya, didirikan pada abad ke-18 dan memiliki kelompok pemain barongsai. [7] Saat itu pertunjukkan Barongsai masih erat kaitannya dengan tradisi dan upacara keagamaan. Tradisi Barongsai masuk ke Indonesia diperkirakan datang bersama para imigran Cina yang berasal dari Provinsi Guangdong, sebagai terlihat dari bentuk barongsai yang ada di Indonesia.[8]
Di Indonesia ditemukan varian lain dari barongsai, yaitu Kielin. Kielin (麒麟q0l0n)yang dimiliki oleh kelompok silat PGB[9] ”Bangau Putih” ini merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia. Oleh karenanya Kielin satu-satunya ini sangat dihormati oleh semua Barongsai yang ada di Indonesia. Bersama tiga binatang lain yaitu burung Hong, Naga, dan Harimau, Kielin dianggap sebagai binatang suci. Tarian Kielin ini dibuat dengan karakter Kielin binatang tunggangan para dewa dalam tradisi Cina klasik. Kielin menjadi istimewa karena karakteristik tarian yang jauh dari kesan dinamis, walaupun tetap atraktif.[10]
Memasuki masa Republik Indonesia, Barongsai tetap dapat dipentaskan. Barongsai dimainkan pada acara dan festival etnis Cina, seperti Tahun Baru Imlek. Klenteng-klenteng biasanya menjadi pusat kelompok Barongsai. Salah satunya adalah Bio Hok Tek Ceng Sin di Bogor, yang sudah berdiri sejak tahun 1950-an. Dalam jangka waktu 30 tahun lebih barongsai lenyap dari wilayah publik di Indonesia. Kalau toh dimainkan, hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi. [11]
Suharto jatuh pada Mei 1998, dan sebelumnya pecah Peristiwa Mei 1998 yang terdiri dari penjarahan dan pembakaran toko-toko milik etnis Cina. Dua peristiwa ini secara kebetulan membuka ruang kebebasan etnis Cina. Kemarahan dan frustrasi akibat Peristiwa Mei itu menemukan penyalurannya begitu pintu “reformasi” dibuka setelah Suharto dilengserkan. Bersama dengan kelompok-kelompok lain, kelompok etnis Cina juga menuntut diakhirnya otoritarianisme di Indonesia. Pada kesempatan yang sama etnis Cina mengambil langkah membebaskan diri dari kungkungan peraturan yang diskriminatif dari masa Suharto.
Barongsai muncul sebagai bentuk ekspresi kebebasan ini. Tanpa mengindahkan peraturan maupun perundangan yang masih berlaku, permainan Barongsai dimainkan lagi di beberapa tempat. Tapi baru pada tahun 2000 Barongsai secara resmi boleh dipentaskan, yaitu sejak Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) mencabut Keputusan Presiden RI no.14/1967 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden no. 6 tahun 2000.
Barongsai dari klenteng Bio Ho Tek Ceng Sin, misalnya, resmi aktif memulai latihan pertamanya pada tahun 2000. Kelompok yang memiliki anggota senior berusia sekitar 70-an itu pun kembali menggelar latihan tari barongsai dan liong di area klenteng. Tidak ada lagi agenda latihan sembunyi-sembunyi. Mereka generasi tua pun mengajari tehnik dasar bermain Barongsai kepada penerusnya yang tidak menguasai ilmu bela diri seperti mereka. Pada awal latihan, pesertanya adalah para pemain muda yang pernah berlatih era tahun 80 dan 90-an, berasal dari etnis Cina. Ditambah beberapa pemain baru yang terbilang masih ’hijau’ dan masih berasal dari kalangan etnis Cina.
3. Popularitas Barongsai
Saat ini, menjadi pemain Barongsai tidak lagi memerlukan kemampuan bela diri berlatar belakang kungfu. Pemain hanya perlu berlatih kuda-kuda kokoh dan gaya utama. Latihan rutin merupakan kunci menguasai tari Barongsai dengan cepat, seperti Redi dan Robin yang mampu manguasai Barongsai dalam waktu enam bulan. Odhi pun mengakui hal yang sama, ia tidak membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk mengusai teknik dasar dan puluhan variasi gaya yang dihasilkan dari proses kreatif kerja tim antara ’kepala’ dan ’ekor’. Kedua kelompok ini mengaku bermain di hadapan publik tidak pernah lebih dari 15 menit. Konsentrasi dan teknik memunculkan ekpresi Barongsai yang lucu adalah tantangan utama bagi setiap kelompok Barongsai. Semakin lucu ekspresi dan tingkah laku sang ’Barongsai’ semakin banyak akan mendapat perhatian penonton dan tentu akan mendapatkan angpao.
Jika barongsai pada awalnya dimainkan oleh orang-orang dari kelompok etnis Cina, yang beragama Budha, kini dipentaskan oleh mereka yang beragama non-Budha. Rudi (22 tahun), Robin (16 tahun) dan Regi (13 tahun), keduanya dari etnis Cina tapi beragama Katolik. Keduanya menjadi anggota kesenian barongsai (Bogor) sejak tahun 2005. Mereka memilih ikut berlatih barongsai karena senang melihat barongsai dengan ekspresi lucu mampu bergerak cepat dan berloncatan tanpa terjatuh. Keduanya ikut berlatih pada sore hari, dua kali dalam seminggu. Rudi (22 tahun) mengatakan bahwa kedua anak tersebut merupakan pemain pemuda dengan gaya, kekuatan, dan kelenturan yang tak kalah dengan seniornya. Bahkan keduanya mampu mengembangan tehnik pertunjukan yang kreatif.
Permainan barongsai juga menarik kelompok dari etnis lain non-Cina. Kini ditemukan banyak kelompok pemain barongsai yang beranggotakan pemuda dari etnis Jawa atau Sunda. Kelompok Kesenian Barongsai (KKB) di Bogor, misalnya, terdiri dari pemain etnis Cina dan juga kelompok suku lain. Bahkan jumlah pemuda dari suku Jawa dan Sunda lebih banyak.
Perkembangan semakin jauh dengan adanya kelompok barongsai di Bogor yang didirikan oleh etnis Jawa atau Sunda dengan tujuan untuk mengembangkan barongsai sebagai salah satu cabang olah raga. Misalnya, Yungyung Wiharja mendirikan kelompok Barongsai Bogor tahun 2000 untuk mengembangkan olah raga. Barongsai sebagai kegiatan olah raga saat ini memang telah semakin diterima.
Pak Uu, Sunda dan beragama Islam, sendiri memilih bergabung dengan Kelompok Kesenian Barongsai Bogor, karena ingin melatih fisik dan berolah raga rutin. Bagi mereka, menjadi pemain barongsai (dan juga liong) tidak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, hanya sebagai kesenangan dan olah raga. Mereka pun mengaku tidak pernah terlibat upacara ritual apapun selama menjadi pemain barongsai. Tim mereka lebih sering mengadakan pertunjukan atas undangan di pelbagai acara seperti pembukaan kegiatan, festival kesenian, dan acara keluarga.
Barongsai tidak bisa tidak masuk mal-mal dan wilayah publik yang luas. Pada acara pembukaan mal atau restoran baru, misalnya, barongsai ditampilkan. Barongsai juga dimainkan pada acara peresmian gedung baru, kantor baru, restoran baru, juga bahkan rumah baru. Pementasan biasanya dipadati oleh penonton. Pementasan Barongsai, seperti dikatakan oleh kelompok barongsai Bio Ho Tek Ceng Sin juga dipakai untuk atraksi selama pemilihan umum.
Secara perlahan pementasan barongsai memang mengalami pergeseran. Kecenderungan terbaru, barongsai muncul sebagai komoditas ’jajanan’ kaki lima yang permainannya muncul tanpa diundang dan sering disebut Barongsai ’ngamen’. Praktek komersialisasi barongsai di mal-mal ditiru oleh ”Barongsai mini” untuk menjajakan dirinya dengan mengetuk rumah-rumah dan toko-toko untuk memperoleh angpao ala kadarnya.
Gairah terhadap Barongsai ini kemudian ditangkap oleh mereka yang berjiwa wiraswasta (entrepreneur), tentu saja. Tak jarang kelompok Barongsai dibentuk untuk memenuhi permintaan pasar. Kelompok-kelompok barongsai ini terdiri dari cukup banyak orang, dan berkembang secara profesional. Barongsai kini berwarna-warni mewah, bisa memainkan adegan-adegan yang mendebarkan. Para pemainnya – baik yang menarikan Barongsai maupun yang mengiringi dengan musik – semuanya nampak terlatih dengan baik. Tidak jarang lima atau enam barongsai dimainkan sekaligus, membuat suasana benar-benar semarak.
Dengan demikian permainan Barongsai telah memasuki dunia komersial. Tapi tidak semua kelompok Barongsai bertujuan komersial. Kelompok Bio Ho Tek Ceng Sin dan kelompok Barongsai Bogor, misalnya, mengatakan bahwa mereka tidak memasang tarif tertentu untuk pementasan pertunjukan, kecuali biaya transportasi dan konsumsi para pemain yang disediakan oleh pengundang. Apabila yang mengundang dari golongan masyarakat berada, barulah mereka mengenakan tarif tertentu. Tak jarang kelompok Bio Ho Tek Ceng Sin mengadakan pertunjukan sosial tanpa dibayar.
4. Perkembangan barongsai di Indonesia
Belum ada penelitian luas dan intensif tentang perkembangan Barongsai di Indonesia. Namun dapat dipastikan bahwa jumlah perkumpulan liong barongsai saat ini mampu menembus angka 100 grup yang tersebar di seluruh nusantara. Pada tahun 2000 pun terbentuk beberapa persatuan perkumpulan barongsai. Di Bogor, misalnya, terbentuk Persatuan Liong Barongsai Bogor (PLBB) yang memiliki misi pelestarian budaya. Bogor menjadi salah satu kota dengan pekembangan Barongsai terpadat di antara beberapa daerah lainnya seperti Jakarta, Sukabumi, Medan, Pontianak, dan Singkawang. Beberapa kelompok yang terkenal, misalnya kelompok barongsai PSMTI-Tarakan, yang merebut juara kompetisi internasional.
Kong Ha Hong di Jakarta, Adi Pusaka di Surakarta, Long Ching di Bandung, Singa Mas di Magelang, Satya Dharma-Kudus, Adi Pusaka-Kartasura, Red Dragon-Jakarta, Genta Suci-Ambarawa. Semua kelompok tersebut adalah para pemenang Persobarin National Lion Dance Championship 2007. Mereka tidak hanya memainkan barongsai tunggal tetapi juga memainkan nomor tonggak. Pada nomor lantai juga terkenal kelompok Dharma Cinta Kasih di Tangerang, TITD Liong Hak Bio di Magelang, Suaka Insan di Jakarta, Lima Naga diSurabaya, Maha Virya di Tanggerang, dan Rajawali Sakti di Tegal.[12]
Mereka itu semua memiliki induk organisasinya bernana PERSOBARIN yang berada di bawah KONI. Pertama kali ia berdiri sebagai anak cabang KONI dengan nama Pernabi (Persatuan Tarian Naga Barongsai Seluruh Indonesia). Pernabi dijadikan juru bicara perkumpulan barongsai di Indonesia untuk tampil di ajang perlombaan tari naga dan barongsai di dunia. Kiprah Pernabi tidaklah lama. Kemudian muncul Persatuan Kungfu dan Lion Seluruh Indonesia (PKLBSI) pada tahun 2006. Tahun 2006 dan 2007 perkumpulan ini mengikuti banyak kegiatan festival dan perlombaan Barongsai baik tingkat nasional maupun internasional. Bahkan tahun 2006, PKLBSI menjadi penyelenggara pertandingan dunia di Jakarta, disusul pada tahun 2007 di Surabaya. Sementera PKLBSI berjaya di kancah internasional, Persobarin tetap menjadi wadah alternatif perkumpulan seni Barongsai di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara. Kelompok Kesenian Barongsai Bogor mengatakan pernah mengikuti kejuaraan Barongsai nasional yang diadakan oleh PKLBSI.
Sejak tahun 2008, kegiatan rutin PKLBSI dialihkan kepada Persobarin di bawah kepemimpinan Dahlan Iskan dengan Sekjen Budi Santoso Tanuwibowo. Barongsai terus berkembang dan semakin digandrungi banyak orang baik sebagai tontonan, hiburan maupun sebagai saran olah raga. Sampai pada suatu ketika, perkumpulan Barongsai di bawah KONI ini mengusulkan untuk menjadikan Barongsai sebagai anak cabang dalam KONI, bukan lagi menjadi bagian dari cabang Wushu.
Saat ini Barongsai di seluruh dunia berada dalam naungan federasi internasional yang lebih dikenal dengan IDLDF (Internasional Dragon and Lion Dance Federation)[13] yang berpusat di Beijing, Cina. Dalam beberapa pemberitaan IDLDF ini tengah giat memperjuangkan agar cabang tari liong dan tari singa masuk dalam salah satu cabang lomba Olimpiade.
Dengan alasan Barongsai sudah menjadi olah raga kelas dunia dengan adanya ILDF, maka Persobarin menjadi penggerak untuk mewujudkan independensi Barongsai pada tingkat organisasi KONI seiring perjuangan ILDF untuk memasukkan Barongsai dalam salah satu cabang Olimpiade. Jika ILDF berhasil maka Barongsai yang menjadi ciri budaya lokal Cina akan menjadi budaya global yang melewati batas geografis sekaligus batas imajiner budaya etnis Cina.
5. Barongsai sebagai ekspresi kebudayaan
Apabila pada awal kemunculannya pada tahun 1998, Barongsai menjadi simbol kebebasan berekpresi dalam kerangka bereligi masyarakat etnis Cina. Perkembangan selanjutnya Barongsai tidak hanya sebagai pengisi acara pernikahan, pesta ulang tahun, perayaan hari besar tetapi juga menjadi sarana kesenian, olah raga, dan praktek komersialisasi.
Semua perkembangan ini mendorong orang untuk bertanya apakah Barongsai masih menjadi milik etnis Cina? Ataukah ia telah menjadi milik bangsa Indonesia? Pada awal lahirnya pada 1998, Barongsai masih menjadi milik etnis Cina, dan menjadi ekspresi kebebasan etnis Cina. Setelah terkungkung selama 30 tahun, mereka mementaskan kembali Barongsai tidak hanya di kelenteng-kelenteng, tetapi juga di tempat-tempat umum. Berdirilah kelompok-kelompok Barongsai di berbagai kota dan mereka serentak dengan senang hati – tanpa dibayar – mementaskan Barongsai. Pada kesempatan itu mau dinyatakan bahwa etnis Cina telah bebas dari kungkungan rezim yang lalim.
Gairah untuk menonton maupun untuk memainkan Barongsai mengubah status Barongsai. Sekarang tidak hanya orang dari etnis Cina yang mementaskan Barongsai, tetapi juga orang-orang dari etnis-etnis lain. Bahkan ada kelompok-kelompok Barongsai yang didirikan oleh etnis non-Cina. Hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan pertunjunkan dan pementasan yang sungguh menggairahkan, tetapi sekaligus juga untuk menanggapi sebuah permintaan (demand) yang nyata. Tidak mungkin mengandalkan kelompok-kelompok yang didirikan oleh etnis Cina saja karena permintaan makin banyak, terutama untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non-religius (peresmian mal baru, peresmian toko, keperluan pesta, dsb.). Lagipula permainan Barongsai tidaklah terlalu sulit sehingga hanya kelompok etnis tertentu saja yang bisa memainkan.
Namun, pada saat yang bersamaan nampak jelas juga bahwa permainan Barongsai tetap tidak dapat dilepaskan dari lingkungan etnis Cina. Barongsai tidak mungkin dimainkan jika tidak berhubungan dengan pesta atau festival etnis Cina, misalnya pada waktu hari Natal atau hari Idul Fitri. Barongsai juga biasanya dipentaskan di mal-mal atau toko yang berada di lingkungan orang Cina, atau dapat menarik kehadiran orang Cina. Di kota-kota besar tempat ditemukan banyak orang Cina (Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dsb.) pementasan Barongsai menjadi sebuah atraksi yang menarik. Tidak demikian halnya di tempat yang sama sekali tidak ada orang etnis Cina.
Oleh sebab itu, tarian Barongsai sebenarnya masih terikat dengan identitas etnis Cina. Pertama, Barongsai tetap merupakan alat ekspersi etnis Cina. Ia telah menjadi ekspresi kebebasan dan representasi identitas etnis Cina yang pernah mengalami diskriminasi. Kedua, Barongsai merupakan juga upaya untuk mempertahankan tradisi leluhur kaum etnis Cina. Dengan memainkan Barongsai identitas mereka ditegaskan, mungkin diperkuat. Ketiga, akibat dari dua butir yang di atas, Barongsai tidak dapat bersentuhan dengan kesenian lokal Indonesia karena tidak terjadi proses seperti dalam ’melting pot’. Sampai pada titik ini, Barongsai tidak dapat disejajarkan dengan budaya Cina peranakan dengan tinggalanya seperti sastra melayu tionghoa, kebaya encim, motif batik pesisir utara Jawa, serta masakan Baba dan Nyonya. Barongsai tetap berwajah Cina, dengan iringan musik khas Cina.
Akan tetapi, ikatan dengan budaya Cina bersifat ambigu ketika tarian barongsai dibawa ke pentas dan kontes internasional. Dalam kontes-kontes yang telah diadakan di beberapa negara di Asia Timur, tarian barongsai dari berbagai negara berlaga atas nama negara asal mereka. Ada ”barongsai Malaysia,” ”barongsai Singapura,” ”barongsai Thailand,” dan tentu saja ada ”Barongsai Indonesia.” Kemenangan kelompok barongsai dari Indonesia tetaplah mewakili Indonesia, bukan mewakili Cina. Dengan demikian identitas Indonesia melekat pada kelompok penari barongsai tersebut. Proses konstruksi identitas telah terjadi pada tataran yang lain sama sekali.
Dengan ini sebenarnya barongsai telah meninggalkan “tanah leluhurnya.” Pertama, dia menjadi ikon global, barangkali setara dengan ikon-ikon bisnis Cina, seperti Lenovo, Huawei, Sinopec, dst. Tapi, barongsai menjadi milik dunia ketika barongsai masuk menjadi kegiatan olahraga di tingkat internasional, tidak ada bedanya dari wushu, karate, taekwondo, dsb. Barongsai kini telah memiliki status yang benar-benar Cina dan sekaligus juga global. Dalam dunia yang ditandai dengan “hibriditas” akibat globalisasi yang amat intensif, apapun, termasuk barongsai, menjadi milik komunitas global. Proses konstruksi yang mula-mula terbatas pada satu kelompok sosial, kini terjadi pada tingkat nasional, bahkan juga pada tingkat global.[14]
Penutup
Barongsai sebagai sebuah tarian yang dimiliki oleh salah satu kantung peradaban dunia kuno di Asia, merupakan hasil proses kreatif manusia, yang mencakup, religi, tradisi, etika, moralitas, bahkan budaya politik. Dalam pelbagai versinya, Barongsai menyebar ke pelbagai wilayah, mengikuti titik-titik daerah persebaran etnis Cina di seluruh dunia sebagai bagian dari simbol-simbol budaya orang etnis Cina.
Di Indonesia, seperti diuraikan di atas, tarian barongsai (dan juga tarian liong) juga terlekat dengan budaya Cina. Memang barongsai telah keluar dari lingkungan masyarakat Cina, tapi barongsai nampak belum terserap seluruhnya dalam budaya Indonesia seperti makanan ataupun pakaian Cina. Tapi berbeda dari makanan dan pakaian, barongsai telah menjadi titik simpul yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur karena berbagai kontes tarian barongsai. Dalam hal ini barongsai kemudian memperoleh identitas Indonesia! Barongsai dengan lokalisme Indonesianya. ”Barongsai Indonesia,” jika kelompok barongsai dari Indonesia memenangkan hadiah.
Barongsai, dengan demikian memperoleh dua identitas sekaligus. Dia adalah ekspresi kebudayaan Cina, tetapi sekaligus juga merepresentasikan Indonesia. Hal yang sama dapat dikatakan tentang barongsai-barongsai lain yang tumbuh di banyak negara di Asia timur. Langkah geliat Barongsai dimanapun dia mengedipkan mata lentiknya, memainkan kekuatan otot kakinya, mengibaskan ekor mungilnya akan membawanya pada bentuk jejaring internasional yang akan menjadi ikon global Cina.
Perkembangan ini sangat menguntungkan bagi kelompok etnis Cina di Indonesia. Mereka dapat memakai barongsai sebagai ekspresi kebudayaan mereka, tetapi sekaligus juga sebagai sarana untuk ambil bagian dalam sebuah ekspresi global. Di satu pihak kelompok etnis Cina masih bisa mendaku (claim) bahwa barongsai adalah “miliknya,” di lain pihak mereka juga bisa melepaskannya sebagai milik sebuah negara (antara lain Indonesia!), bahkan milik komunitas global.
Dengan demikian barongsai sebenarnya telah mengalami proses konstruksi berlapis-lapis yang sangat rumit. Sulit untuk menyaring dan memilah-milah proses yang terjadi secara spontan, tanpa terencana. Mula-mula dia datang ke Indonesia dari Cina, dan ditangkap serta ditanam di Indonesia, tapi kini telah kembali menjadi fenomen global.
*Penulis berterima kasih kepada narasumber yang meluangkan waktu untuk wawancara, dan juga kepada editor buku. I. Wibowo atas saran-sarannya untuk memperbaiki makalah ini.
[1] Wawancara ini melibatkan beberapa narasumber yaitu (1) Odhi, 20 tahun, dari kelompok Bio Hok Tek Ceng Sin Jakarta Selatan, (2) Pak Uu, 40 tahun, dari Grup Kesenian Barongsai, Bogor, (3) Bapak Karta Lugina, 80 tahun, sesepuh PGB, (4) Bapak Arifin Himawan, Ketua PLBB (Persatuan Liong Barongsai Bogor), dan beberapa pemain Barongsai. Wawancara diadakan pada bulan April-Mei 2009.
[2] Williams, CAS. Chinese Symbolism and Art Motifs. (Singapore: Berkeley Books, 1999), hlm. 254.
[3] http://www.chinaculture.org/gb/en_chinaway/2004-01/21/content_45720.htm (diakses pada tanggal 14 April 2009)
[4] Christin Bachrun, “ Barongsai: singa atau naga?” dlm. Lembaran Berita KATA, Vol. 3 No.1/April 2000, hlm. 11 – 12.
[5] Dalam hal ini, penulis juga mengamati bahwa Bali memiliki tarian yang dinamakan Tari Barong dengan singa sebagai imaji fisik dari kepala barong. Jika diamati, binatang ’barongsai’ Cina datang dari India karena harimau/singa bukan hewan khas Cina. Begitu pula barong yang ada di Bali merupakan tarian masyarakat Hindu di Bali. Agaknya kata dengan bunyi ’Bulangsai’ dalam Bahasa Hokkian agak jauh jika kemudian dibunyikan dengan Barongsai oleh penduduk lokal karena bunyi vokal berbeda. Penulis menduga, kata barong dalam barongsai mengacu pada persamaan bentuk kepala (tarian yang menggunakan topeng) yang lebih dikenal oleh penduduk lokal. Agaknya penelitian asal kata Barongsai perlu dilanjutkan.
[6] Coppel, 1994, hlm.23
[7] Wawancara dengan Pak Uu, Grup Kesenian Barongsai Bogor, pada tanggal Kamis 16 April 2009
[8] Provinsi Guangdong adalah daerah asal Barongsai dengan gaya selatan 南狮n2nsh9.
http://en.wikipedia.org/wiki/Lion_dance
[9] PGB didirikan oleh Subur Raharja pada tahun 1952. Sampai saat ini PGB yang dipimpin oleh Gunawan Raharja menjadi salah satu perkumpulan olah raga silat yang terkenal di Indonesia. Berawal dari pertemuan ramah tamah antar tokoh silat di Bogor pada tahun 1949, terbentuklah suatu bentuk perkumpulan silat yang menggabungkan seni silat kungfu dan silat tradisional. Pada awal tahun 1950-an, perkumpulan yang berbasis silat inipun memiliki wahana kesenian ’barongsai’ sebagai salah satu alat pembuktian tingkat ilmu silat mereka. Salah satu yang menarik adalah bahwa kelompok ini mencipkatan Kielin sebagai bentuk tarian ’barongsai’ yang hanya menjadi satu-satunya di Indonesia. Kielin PGB dibakar bada tahun 1965. Kielin kembali dimainkan pada tahun 2000 setelah Kielin baru selesai direkonstruksi.
[10] Qilin (Kirin, bahasa Jepang) merupakan salah satu dari Empat Mahluk Supernatural/mahluk mitologi Cina (四灵/靈) bersama Naga, Burung Phoenix, dan Kura-kura. Qilin dikenal juga dengan ’Kuda naga’ (龙马). Ia merupakan lambang panjang umur, kemuliaan, dan kebahagiaan. Qilin dapat berjalan di atas air dan tanah. Tubuhnya terdiri dari bebapa bentuk bagian binatang. Tediri dari kombinasi kepala serigala, tanduk kijang, ekor sapi, kaki kuda, kulit naga dan sisik ikan. Kulitnya berwarna merah, kuning, biru, putih dan hitam. Suaranya seperti suara kerincingan instrumen musik.
Williams, CAS. Chinese Symbolism and Art Motifs. (Singapore: Berkeley Books, 1999), hlm. 414.
[11] Wawancara dengan Odhi, dari Bio Hok Tek Ceng Sin. 10 April 2009.
[12] Perlombaan Barongsai dibedakan dalam kategori nomor Lantai dan nomor Tonggak. Nomor Lantai merupakan kelas khusus yang diadaptasi dari penguasaan Barongsai dengan gaya Utara (Beijing) yang menggunakan undakan/bangku pendek sebagai wahana loncat si barongsai. Sedangkan nomor tonggak merupakan gaya barongsai yang dikembangkan di Cina bagian selatan dan Malaysia dengan tiang pancang tonggak yang ketinggiannya bervariasi.
[13] IDLDF mengeluarkan 6 kriteria penilaian pertandingan barongsai yaitu (1)kostum barong, pemusik, dan properti; (2) kesesuaian dengan pakem tradisional untuk cabang tertentu; (3) kesinambungan gerakan kepala, kekuatan kaki, dan ekor; (4) Harmoni gerakan dengan musik; (5) tingkat kesulitan; dan (6)formasi barongsai.
Diunduh dari website: http://dragonlion.sport.org.cn/home/xhgg/2009-02/235079.html (diakses 3 September 2009, pukul 09.30)
[14] Mackie dalam Coppel (2008:124), Coppel, Charles A. 2008. Anti Chinese Violence in Indonesia After Soeharto. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hlm. 124., menyebutkan bahwa ekspresi terbuka dan sengaja, yang menunjukkan perbedaan etnik dan budaya di depan publik Indonesia – Barongsai – bisa menjadi pemicu kekerasan anti Cina. Kekhawatiran semacam ini tentu bisa terjadi kalau barongsai itu benar-benar bagaikan rumah abu, yang tidak terjamah oleh masyarakat sekitarnya dan menimbulkan ancaman.
neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-90212091590059612572013-06-24T21:13:00.002-07:002013-06-24T21:13:50.449-07:00Tjan Tjoe Som 1903 – 1969: Sepenggal kisah sunyi di Sinological Institute, Fakultet Sastra Universitet indonesia Agni Malagina
(Tulisan ini dibuat berdasarkan arsip-arsip yang ditemukan di Program Studi Cina pada tahun 2009, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris serta ditambahkan beberapa aspek substansi oleh Prof. A.Dahana)
“In any case I try – however difficult this maybe – to see everything ‘sub specie aeternitatis’ ” – Tjan Tjoe Som, 1968
Dalam sejarah perkembangan Sinologi di Indonesia, nama Prof. Dr. Tjan Tjoe Som (曾祖森) seharusnya menjadi nama besar yang ada di garda depan pendidikan Sinologi Indonesia. Sejarah mencatat namanya sebagai orang pertama yang diminta oleh pemerintah untuk memimpin Lembaga Sinologi (漢學研究院), Fakultet Sastra, Universitet Indonesia. [1] Selama 50 tahun terakhir, namanya masih tetap dikenal sebagai seorang sinolog yang dipupuk oleh Sinological Institute Universitas Leiden, Belanda di bawah bimbingan JJL Duyvendak. Namun di Indonesia, tak banyak generasi muda mengenal nama Tjan Tjoe Som yang pernah menduduki jabatan kepala Lembaga Sinologi Universitas Indonesia pada tahun 1953 – 1958.
Masa Remaja dan Pendidikannya
Tjan Tjoe Som lahir di Solo pada tanggal 15 Februari 1903, dan besar dalam keluarga muslim taat. Keluarganya juga menjalankan perusahaan batik di Solo. Beliau sempat menjalani pendidikan HCS (Hollandsch-Chineesche School) Surakarta, kemudian melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemeene Middlebare School) di Jogjakarta. Sebelum sempat menyelesaikan AMS, Tjan muda kembali ke Solo untuk melanjutkan bisnis batik “De Bliksem” keluarganya yang mengalami penurunan sejak berakhirnya Perang Dunia I. Saat berada Solo itulah Tjan muda mempelajari Sinologi dan Islamologi secara otodidak. Ia juga tertarik kepada filsafat dan antropologi. Kemudian ia berjumpa dengan Dr. H. Kraemer (penulis A Christian Message in a Non Christian World, kemudian menjadi kepala Oecumenical Institute) yang mendorong Tjan Tjoe Som belajar Sinologi ke Belanda untuk menjadi murid Prof. Duyvendak.[2] Tjan tiba di Belanda pada tahun 1953 dan masuk Universitas Leiden jurusan Sinologi pada tahun 1936. Dalam tulisan A.H T’oung Pao, disebutkan bahwa Tjan Tjoe Som mengisi hari-harinya dengan belajar tekun bahkan menjadi pustakawan handal yang mengurusi koleksi Institut Sinologi Leiden. Pada tahun 1947 Leiden mempunyai ide untuk mendirikan semacam perkumpulan Studi Cina di Eropa. Ide ini mendapat sambutan baik dari beberapa universitas penyelenggara kajian Cina. Kemudian mereka pun bertemudi Universitas Cambridge (Inggris) dalam acara Conference of Junior Sinologues, Cambridge and Oxford, pada tahun 1948. Saat itu Leiden diwakili oleh Tjan Tjoe Som, AFH Hulwese, R.P.Kramers, P. Swann, dan Mrs. H.Wink. Hasil pertemuan perwakilan Sinolog Junior dari Leiden, Cambridge, Oxford, Stockholm, Paris, dan London itu berhasil membentuk Eropean Association for Chinese Studies, EACS, (欧洲汉学学会), tahun ini EACS berusia 60 tahun.[3] Pada tahun 1949 Tjan Tjoe Som mendapat gelar doktornya setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Po Hu T’ung: The Comprehensive Discussions in the White Tiger Hall: A Contribution to the History of Classical Studies in the Han Period, dengan predikat Cum Laude, dan dianugerahi Prix Stanilas Julien. Puncak karir ahli Cina Klasik ini pun ditandai dengan pengangkatannya sebagai profesor luar biasa bidang Filsafat Cina di Universitas Leiden. Pemahamannya tentang filsafat Cina dan Islam membuatnya dikenal sebagai orang yang sangat halus dan bijak.[4] Setelah itu, Prof. Tjan diangkat sebagai kepala Departemen Filsafat Cina. Pada tahun 1952 terbit volume kedua dari Po Hu T’ung dan pada tahun inilah Tjan Tjoe Som pulang untuk memenuhi panggilan negara, mengabdikan diri sepenuhnya kepada negara Indonesia.
Berkarir di Indonesia
Tahun 1952, Pemerintah Republik Indonesia memintanya untuk datang dan menduduki jabatan sebagai ketua Lembaga Sinologi di Universitas Indonesia. Sudah 17 tahun di Belanda, tjan yang banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan ini pun kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah airnya, Indonesia. Ia meninggalkan kemapanan dan nama besar sebagai seorang Sinolog di Belanda sekaligus Eropa pada masa itu. Koleganya di Leiden mencoba untuk menghalangi niat Tjan Tjoe Som untuk pulang. Namun Tjan sudah memutuskan, dari pada duduk di menara gading, ia memilih kembali ke tanah air walaupun penuh ketidakpastian. Ia percaya bahwa selain dapat terus belajar danmengajar di Indonesia, ia akan mampu melakukan sesuatu untuk Republik Indonesia yang masih belia.
Kehidupan Berorganisasi
Tahun-tahun pertama Tjan kembali ke Indonesia, ia disibukkan mengurusi Lembaga Sinologi yang dipimpinnya bersama beberapa pengajar, diantaranya Drs. Sie Ing Djiang, Oe Soan Nio, Koh Chung Chuen, dan Aman Kombali. Buku-buku dari pelbagai penerbit pun dipesan dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Tak heran, koleksi perpustakaan Sinologi sampai saat ini memiliki koleksi terbitan sejak awal abad 19.[5] Tahun 1957, A.H. T’oung Pao bertemu dengan Tjan pada acara “Junior Sinologues Conference” di Padua, Itali. Presiden Sukarno memberi penghargaan kepadanya dengan mengangkat Tjan sebagai salah seorang anggota Madjalis Permusjawaratan Rakjat Sementara (1959). Pada tahun yang sama, Tjan juga diangkat sebagai anggota Dewan Perancang Nasional Perwakilan Ilmuwan. Pada tahun 1960, ia diundang dalam acara XIII International Conference on the Problems of Chin di Moskow, Rusia. Beberapa kali beliau juga mengadakan kunjungan ke Peking, RRT. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1968) Tjan Tjoe Som menjadi anggota HSI (Himpunan Sardjana Indonesia) yang dianggap sebagai organisasi underbow Partai Komunis Indonesia. Dalam arsip catatan surat masuk dan surat keluar Program Studi Cina sejak tahun 1957 tercatat, Prof. Tjan melakukan lawatan ke luar negeri, diantaranya ke Rusia, Itali, dan Cina. Tahun 1963 – 1965 Tjan menjadi penasehat di kantor berita Warta Bakti versi bahasa Cina Zhong Cheng Bao.
Masa tua
Gerakan 30 S/PKI agaknya menjadi titik balik seorang ahli filsafat Cina dan hukum Islam ini. Tak dinyana tak diduga, pada tanggal 10 November 1965 berdasarkan surat Dekan FS UI No: S/18/FS/XI/Pedek.II/65 mengenai pembebasan sementara dari segala tugas dan kewajiban di FS UI bagi mahasiswa di lingkungan FS UI dan dilanjutkan dengan surat rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965 lampiran nama para dosen, Prof. Dr. Tjan Tjoe Som dinonaktifkan dari dunia akademis Universitas Indonesia. Tak hanya Tjan Tjoe Som, adiknya – Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem pun ikut dinonaktifkan.[6] Pada tahun 1968, datang Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Republik Indonesia tertanggal 12 Januari 1968 yang menyebutkan bahwa Prof. Dr. Tjan Tjoe Som yang memiliki status Guru Besar (gol /VII) pada FS UI di Jakarta, diberhentikan tidak dengan hormat dengan hak pensiun. Surat keputusan tersebut jelas menyebutkan bahwa atas dasar pemeriksaan yang teliti dan seksama terdapat petunjuk atau patut diduga, bahwa ia secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam gerakan apa yang menamakan dirinya ”G 30 S” dan karena ia ternyata menjadi anggota biasa dari bekas organisasi massa terlarang yang seazas/bernaung/berlindung di bawah partai terlarang PKI. Disebutkan juga bahwa ia sebagai pegawai negeri dianggap telah melakukan perbuatan/pelanggaran yang ternyata yang bertentangan dengan kepentingan dinas dan negara.[7] Pada waktu surat tersebut dikeluarkan, Prof. Dr. Tjan Tjoe Som berusia 64 tahun 10 bulan. Beberapa bulan sebelum Prof. Tjan meninggal, ia menulis: “after all, I have had such a curious life that my present experiences should not astonish me. Who knows what all this is good for.” Prof. Dr. Tjan Tjoe Som meninggal di Bandung enam minggu sebelum ulang tahunnya ke 66 dikarenakan serangan jantung. Kemudian jenasahnya dibawa dan dimakamkan di Solo. Tahun 1976 sang adik, Prof.Dr. Tjan Tjoe Siem meninggal ketika mengambil air wudlu dan dimakamkan di sebelah sang kakak.
Memoar Tjan Tjoe Som
Sudah 60 tahun terlewati sejak Tjan Tjoe Som yang dikenal oleh sahabatnya (diantaranya adalah Ibu Yesi Agusdin, Program Studi Arab, FS UI) di Fakultas Sastra sebagai sosok bijaksana, rendah hati, berpandangan luas dan paham akan syariat Islam ini menancapkan namanya di dunia Sinologi Internasional. Ketelitian, keahliannya dalam filsafat Cina tentu tak perlu diragukan. Penulis menemukan tulisan-tulisan terjemahan naskah klasik yang kiranya hanya untuk digunakan sebagai catatan pribadi Tjan Tjoe Som. Bundelan-bundelan kertas aus itu tentu menjadi saksi bisu pengabdian Tjan Tjoe Som kepada dunia Sinologi di Indonesia. Karyanya besarnya Po Hu T’ung yang diterbitkan oleh Leiden Brill menjadi saksi kebesaran namanya. Beberapa karya ilmiah sempat ia tulis, seperti De Plaats van de Studie der Kanonieke Boeken in de Chinese Filosofie, Leiden: Brill (1950 dan 1952); On the Rendering of the Word “Ti” as “Emperor” (Journal of American Oriental Society Vol. 71 No.2, Apr – Jun, 1951); Sardjana Sastra dan Pembangunan Kebudyaan Nasional: Sebuah Prasaran (Jakarta, 1961); Tao de Tjing (Jakarta, 1962). Tjan Tjoe Som memang ahli filsafat Cina yang gemar menghabiskan waktunya di perpustakaan Sinologi sampai larut malam sambil menerjemahkan naskah klasik, namun ia turut mengembangkan pemahaman multidisiplin terhadap Studi Cina di Universitas Indonesia.[8] Terlihat dari skripsi lulusan tahun 1955 pun jenisnya beraneka ragam, linguistik, sejarah, sastra, filsafat pun dipilih mahasiswa Sinologi saat itu sebagai bahan kajian. Kurikulum sekitar tahun 1950 sampai 1960 pun sangat menekankan pada bidang keterampilan berbahasa, dan pengetahuan tentang studi Cina. Semasa Tjan Tjoe Som menjadi pengajar, didampingi koleganya yang tak putus semangat mampu mencetak sinolog-sinolog seperti Lie Chuan Siu, Sie Ing Djiang, Tan lang Hiang, Lie Swan Nio, Oe Soan Nio, Oei Ertie Nio, Tan Giok Lan (Mely Tan), Gondomono, Warin Dijo Sukisman, Bastomi Ervan, Abdulah Dahana. Sistem pengembangan Sinologi di Indonesia dibawa oleh Tjan Tjoe Som dari Leiden Belanda sekaligus meneruskan pendahulunya Dr. M.J. Meijer. Maka sejarah perkembangan Sinologi/Studi di Cina dapat disebut mengadopsi sistem Eropa, sebagaimana diketahui pada masanya, Eropa sebagai pelopor studi Cina di dunia. Tjan pun mampu mengawinkan Studi Cina dengan ilmu lainnya yaitu sosiologi dan antropologi. Maka lahirlah formula studi Cina di Indonesia yang sangat khas, kajian Cina di Indonesia pun sah menjadi bahan kajian di Universitas Indonesia.[9] Prof. Dr. Tjan Tjoe Som mungkin menjadi korban tuduhan yang kurang beralasan hanya karena ia menjadi anggota HSI yang notabene ada di bawah PKI. Keterlibatannya dengan PKI pun tidak dapat dibuktikan secara langsung. Apakah Tjan yang mengabdikan seumur hidupnya untuk perkembangan Sinologi mampu berkhianat kapada Ibu Pertiwi? Semua sudah terkubur bersama lukanya. Namun sejarah Indonesia tidak bisa menafikkan bahwa Tjan Tjoe Som adalah peletak batu pertama Studi Cina di Indonesia. Putra bangsa pertama yang memimpin Lembaga Sinologi tertua di nusantara. Tjan Tjoe Som akan tetap menjadi bagian dari sejarah perjalanan Studi Cina di Universitas Indonesia, di Indonesia. 60 tahun pendidikan Sinologi di Indonesia, Tjan Tjoe Som layak dijuluki sebagai Bapak Sinologi Indonesia. Referensi: A.H. T’oung Pao. 1969. Tjan Tjoe Som 1903 – 1969, “T’oung Pao”, Vol. 55, No. 1-3. Leiden: Brill. European Association for Chinese Studies. 2008. EACS Newsletter, No. 40. Jahja, Junus. 2003. Peranakan Idealis Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: KPG. Suryadinata, Leo. 1995. Prominent Indonesian Chinese Biographical Sketches. Institute of South East Asian Studies. Arsip surat menyurat Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Arsip Perpustakaan Sinologi FIB UI.
* Agni Malagina asisten pengajar Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
[1] Dalam dokumen surat tulisan tangan Sie Ing Djiang yang ditemukan dalam arsip Program Studi Cina pada tanggal 17 November 2008, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, disebutkan bahwa Lembaga Sinologi – pada tahun 1960 surat itu dibuat disebut dengan Jurusan Sastra Tionghoa – dibentuk pada tahun 1948. Mata kuliah yang diajarkan pada tahun awal berdirinya Lembaga Sinologi untuk menghasilkan ‘sardjana sastra dan Bahasa Tionghoa’ adalah Modern en Documentair Chinees, Klassiek Chinees Teksten, Chinese Cultuurgeschiedenis. (Lihat dokumen ‘Ontwerp regeling van het Examen Sardjana Sastra Bahasa Tionghoa dan Bahasanya’, dikeluarkan oleh Dr. M.J. Meijer dan Dr. R.P. Kramers pada tanggal 3 Februari 1951, arsip Program Studi Cina FIB UI) Dalam Pedoman untuk tahun akademi 1952 – 1953 Universitet Indonesia, disebutkan bahwa Lembaga Bahasa dan Sastra Tionghoa memiliki pengajar dan konservator yaitu Dr.M.J.Meijer. Meijer dibantu Dr.R.P Kramers dan J.King sebagai dosen di lembaga tersebut. Adapun tujuan pengadaan lembaga ini adalah sebagai sebuah seminari Lembaga Sinologi tersebut memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkuliah dalam hal pengetahuan Bahasa dan Sastera Tionghoa. Lembaga tersebut juga didirikan sebagai lembaga penelitian yang disebut memiliki perpustakaan dengan koleksi terbanyak di Asia (saat ini sebagian koleksi yang masih dapat diselamatkan berada di dalam Perpustakaan Koleksi Cina FIB UI yang dibangun atas sumbangan dari Lee Foundation 2003, Singapura. Terdiri dari koleksi salinan naskah klasik, buku-buku tua dari pelbagai penerbit di Eropa dan Amerika yang berkaitan dengan sejarah sastra filsafat dan budaya, jurnal EFEO dari tahun 1920, koleksi kamus, ensiklopedia, dan buku-buku sumbangan dari Kedutaan Besar Rakyat Tionghoa di Indonesia)
[2] JJL Duyvendak (28 Juni 1889 – 9 juli 1954) menjadi Profesor di Universitas Leiden pada tahun 1930. Kemudian mendirikan Sinological Institute. Tjan Tjoe Som menjadi pustakawan di konservatori naskah Cina.
[3] Pada pertemuan tersebut, London diwakili oleh E.G.Pulleyblank dan H.M.Wright; Paris diwakili oleh J.Gernet dan J.W.de Jong; Stockholm diwakili oleh H.Bielenstein; Cambridge diwakili oleh E.B.Ceadel, P.Van der Loon, M.C.Van der Loon, J. de Morpurgo, dan G.Scott; Oxford diwakili oleh W.A.C.H.Dobson, D.Hawks, K.G.Robinson. Hadir pula Sinolog Senior yang mempresentasikan makalahnya yaitu Prof. Haloun (Cambridge), Dr. A. Waley dan Prof.W.Simon (London), dan Prof. H.H.Dubs (Oxford). Setiap tahun mereka mengadakan pertemuan. Bahkan pada tahun 1955 Amerika, Rusia, dan Cina bergabung dalam organisasi ini. Pada tahun 1975 barulah EACS memiliki formal organisasinya. Saat ini President EACS adalah Brunhild Staiger, Institute of Asian Studies, Hamburg, Jerman. Sekretariatnya berada di Cambridge, dipimpin oleh Roel Sterckx, Departement of East Asian Studies, Universitas Cambridge. (EACS Newsletter, No. 40, 2008)
[4] Tjan Tjoe Som menulis banyak terjemahan naskah klasik. Pada tanggal 19 November 2008 ditemukan tulisan-tulisan Tjan Tjoe Som dalam amplop-amplop kecil. Berisi terjemahan naskah klasik, tulisan tangan dalam kondisi masih terbaca jelas, runut, namun kertas sudah dalam kondisi tua kecoklatan.
[5] Dalam dokumen pemesanan buku terdapat beberapa kota antara lain, Hong Kong, Peking, Taiwan, Malaysia, Singapura, Tokyo, Den Haag, Cambridge, Leiden, Petty Curry Inggris, Hamburg, New York. Dokumen berasal dari tahun 1953 – 1964. Pembelian buku terbesar terjadi pada tahun 1957 – 1959. Dana pembelian buku berasal dari dana UNESCO coupon, ada juga beberapa dana milik Jurusan Sastra Tionghoa. (lihat dokumen tanda terima pembelian buku Perpustakaan Sinologi. Disimpan di Koleksi Cina, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia)
[6] Berikut daftar 18 orang pengajar Fakultas Sastra yang dibebastugaskan: Prof. Dr. Tjan Tjoe Som, Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, Ny. E Kamil, Drs Ave, Drs. Rahardjo, Drs. Sie Ing Djiang, Dra. Ina Slamet – Velsink, Ny. J.B. Ave, Aman Kombali, Ny. Soehadiono, Soehadiono, Ny. Hartini Soegiono, Ny. Murtini Suwardhi Pendit, Abdullah Umar, Tjipta Trunadjaja, Sjukri Siregar, Usaha Tarigan, T.W.Kamil. Dalam dokumen tersebut juga dilampirkan nama-nama mahasiswa Fakultas Sastra yang dibebastugaskan, terdiri dari Jurusan Indonesia(8), Sinologi(5), Jerman(5), Purbakala(3), Rusia(6), Nusantara(2), Antropologi(6), Inggris(3), Arab(2), Sejarah(3), total adalah 43 mahasiswa. Mahasiswa Jurusan Sinologi adalah Wenly Lie, Nani Retno Pamungkas, Tity Soemiati, Ming Ya, Lie Ming In. (Surat Rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965, ditemukan dalam arsip Program Studi Cina pada tanggal 18 November 2008) Mereka kemudian disebut oknum-oknum kontrarevolusioner. Dalam seruan tersebut disebutkan kategori para oknum yaitu orang yang menjadi ketua/anggota pengurus pusat HSI, anggota pimpinan Universitas Republica, pengajar Aliareham, Ronggowarsito, Multatuli, Universitas Rakyat dan Lekra. (Lihat SERUAN Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, tertanggal 11 Desember 1965. Arsip Program Studi Cina, FIB UI.)
[7] Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Republik Indonesia tertanggal 12 januari 1968, berdasarkan Surat Rektor Universitas Indonesia di Jakarta tanggal 23 desember 1966 no 242/BR/66 tentang pemberhentian pada dosen dalam lingkungan Fakultas Sastra UI.
[8] Pada tahun 1953, Lembaga Sinologi juga memberi pelajaran khusus pada mahasiswa tugas belajar yang berasal dari Dinas Luar Negeri untuk Kementrian Luar Negeri. Pendidikannya disebut berupa kursus, dan diadakan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah akan tenaga ahli Sinologi praktis. Mata pelajarannya antara lain adalah Bahasa Cina Moderen, sejarah politik, kebudyaan Tionghoa, dan ilmu pengetahuan masyarakat. Pada tahun itu, kursus tersebut sedang dipersiapkan untuk menjadi acara Perguruan Tinggi. Lembaga Sinologi juga memberikan bantuan kursus menengah untuk Ilmu Sejarah untuk kepentingan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. (Lihat dokumen surat UMS464-BD, 10 oktober 1953, ditujukan kepada Mr. Hatnan Moh. Ahmad, Direksi Asia Pasifik, Kementerian Luar Negeri R.I. di Jakarta, ditandatangani oleh Prof. Dr. Tjan Tjoe Som).
[9] Pada masa selanjutnya, Program Studi Cina FIB UI mengembangkan diri tidak hanya meneruskan peninggalan Tjan Tjoe Som, namun turut memperkaya khasanah Studi Cina dengan paradigma baru yang dibawa oleh Abdulah Dahana, Christine Tala Bachrun yang membawa angin segar dari University of Hawaii dan Cornell University. RRT dan Taiwan pun menjadi sumber ilmu Bahasa Cina yang dikembangkan Program Studi Cina, FIB UI.neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-34464298083698470852013-06-24T21:12:00.002-07:002013-06-24T21:12:53.288-07:00Di balik layar lahirnya motto UI Veritas Probitas Iustitia seperempat akhir tahun 2009,
Ketika itu, Rektor UI menginginkan tim buku UI menulis sejarah panjang cikal bakal UI.
Prof.Somadikarta dan Prof.Firman Lubis menjadi sesepuh…saya membantu saja, membantu Bapak Priyanto Wibowo, Ibu Titi, dan Mas Kresno. Banyak hal yang saya dapat dari tim Buku UI. Pengetahuan, jelas. Pemasukan, ya tentu. Kekritasan…ini yang baru saja saya dapatkan sepanjang hidup saya yang selalu dilingkupi kata NRIMO dan dininabobokan dalam SEJARAH NRIMO. Prof.Soma berkata,”kamu jangan pernah takut kalau benar. Setiap melakukan sesuatu kita harus berprinsip HEAR-INVESTIGATE-SAY, jangan HEAR-SAY saja.” Kemudian, sampai suatu saat, tim Buku UI, dikomandoi Prof.Somadikarta memperlihatkan bahwa banyak universitas di dunia memiliki motto. Sejumlah universitas tua mempunyai motto dalam bahasa latin. Akhirnya Prof. Soma dan Prof.Firman mencetuskan kata kebenaran kejujuran dan keadilan. Sampailah kemudian, beliau berdua berkata, “ayo coba cari bahasa Latinnya.” Alhasil, karena saat itu saya juga bekerja di Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi di bawah asuhan Prof.Hermina Sutami dan Prof.Harimurti Kridalaksana, saya menjadi seksi sibuk UI (udar ider-ke sana ke mari) untuk mencari kata latin.
Di sebuah hari dekat bulan November, saya menuju ruangan yang saya klaim sebagai kantor saya. Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi, tempat penyimpanan penelitian KATA terbanyak di UI menjadi tujuan saya. Sayang, saya tidak membawa kunci. Saya pun terhenyak, karena Prof.Hermin pun tidak berada di dalam ruangan. Pintu terkunci. Dalam kelemasan yang saya alami, tiba-tiba saya melihat sekelebat lampu dari ujung mata. Ahaaa….ruang Centre for Chinese Studies terang. Pintu pun sedikit terbuka. Saya pun bisa melihat Romo Wibowo (almarhum) di dalam sedang membaca namun segera melambaikan tangannya ketika mendongak dan melihat saya. Saya pun nekat mendatangi beliau.
Saya menuju ruangan itu dan langsung bertanya (tanpa ketuk-ketuk pintu), “Romo, latinnya kebenaran kejujuran dan keadilan apa ya?”.
Romo menjawab,”ngapain kamu tanya-tanya latin?”.
Saya menjawab seserius mungkin,”ada bisnis niy Romo.”
Romo bertanya,”bisnis apa yang pake latin?… kamu mau buka toko roti? Seperti toko roti probitas yang ada di Solo?”
Saya tidak dapat menyembunyikan keanehan yang saya dengar dan mengernyitkan kening. Saya rasa baru mendengar ada nama toko seperti itu.
“Agi disuru nyari di kamus latin, tapi kamus latinnya ada di Lab Leksiko, terus agi ndak bawa kunci lab, Romo. Kebetulan kantor Romo nyala lampunya, ya saya mampir.”
Romo tertawa,”kok terus belok ke sini?”
Saya menjawab,”kan Romo pernah di kirim ke Vatikan, pasti tau dong.”
Romo langsung jawab: VERITAS PROBITAS IUSTITIA. Dan dia ketawa lagi…”kalau tokomu pake 3 kata itu, orang bingung, ndak akan ingat namanya.”
Saya menjawab sekenanya,”itu buat motto UI Romo, agi disuruh sama pak Soma. Terima kasih ya Romo, agi jalan lagi ke rektorat.dadah Romo.”
Romo Wibowo hanya berkata,”itu buku yang dicopy cepat dikembalikan.” Saya pun mengambil langkah seribu, ngeloyor pura-pura tidak mendengar, sambil melambaikan tangan.
Tak disangka, ternyata begitu keluar ruangan CCS, ternyata Prof.Kridalaksana sudah berada di dalam. Maka, sekali lagi, saya berusaha mencari alternatif jawaban yang lain. Dengan sigap, Prof.Harimurti berkata, VERITAS PROBITAS IUSTITIA. Tanpa melihat kamus! Beliau bertanya,”untuk apa?” Saya menjawab,”untuk dijadikan motto UI, Bapak.”
Kemudian beliau meminta saya membuka kamus bahasa Latin dan mengecek artinya. Benar adanya..cocok dengan permintaan Prof.Somadikarta.
Segeralah saya mengucapkan terima kasih dan mohon ijin bergerak menuju kantor tim buku UI. Hari itu…motto UI lahir…
Terima kasih Prof.Harimurti Kridalaksana dan Romo I.Wibowo, juga kepada TIM BUKU UI yang mengajarkan saya banyak hal!neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-61823982586746723882010-06-16T11:28:00.000-07:002010-06-16T11:29:47.949-07:00Ko Ciat: Persinggahan tradisi dari masa dinasti sampai era globalisasi!Berenang-renang di Sungai Kapuas, berakit-rakit ke tepiannya dari pukul 11.00 – 13.00. Saya menaiki sampan bermotor menantang panas matahari Pontianak yang kadang tak bisa beramah tamah dengan kesadaran saya. Hari ini tanggal 16 Juni 2010 atau bertepatan dengan tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek/Yinli, sungai Kapuas menjadi tempat mandi ratusan etnis Tionghoa yang tinggal di sepanjang Kapuas. Ada peristiwa apakah hari ini? <br /><br />Selamat Ko Ciat, beberapa status di tembok Facebook kawan-kawan Pontianak dan Singkawang bertaburan kalimat selamat Ko Ciat. Saya pikir kalimat itu artinya adalah Selamat Pagi! Ternyata dalam bahasa dialek Hakka, kalimat tersebut artinya adalah MAKAN BESAR. Ada perayaan apakah hari ini? <br /><br />Tak sengaja saya pun hari ini bercakap dengan seorang tokoh Tionghoa yang banyak menulis tentang kebudayaan Tionghoa di Kalimantan Barat, X.F. Asali. “Agni, hari ini makan Bacang, ada peristiwa meninggalnya penyair terkenal di masa dinasti, tau?”<br />“Qu Yuan, Pak? Yang terkenal dengan Lisaonya,” jawab saya singkat.<br /><br />Ya, hari ini hari diperingatinya kematian Qu Yuan 屈原 (340-278 SM), seorang penyair besar pada masa Dinasti Chu masa Negara Berperang Zhanguo Shidai (战国时代 475-221 SM), politisi kritis yang diduga bunuh diri pada masa pengasingannya. Jenasah Qu Yuan pun tidak pernah ditemukan. Masyarakat yang mencintainya kemudian membuat makanan yang dibungkus daun bambu, sekarang dikenal sebagai Bacang. Kemudian mereka melemparkan bacang tersebut ke sungai agar tubuh Qu Yuan tidak dimakan oleh ikan buas, mereka juga meletakkan bacang di tepi sungai agar jika Qu Yuan bersembunyi di dalam hutan ia akan keluar untuk mengambil makanan tersebut. Begitu pula ada banyak orang yang menggunakan perahu menyusuri sungai untuk mencari tubuh Qu Yuan, namun tubuh itu tak pernah ditemukan. Setiap tahun, masyarakat Cina mengingat Qu Yuan dengan acara makan Bacang, Perahu Naga dan diselingi pesta Lampion. Sebuah tradisi tua yang terus singgah dari generasi satu ke generasi yang lain, dari masa dinasti hingga era globalisasi. Terkadang juga mengalami komodifikasi. <br /><br />Mengapa ada Ko Ciat? Mengapa ada tradisi berenang di sungai dan mengambil air Wushi sui pada tengah hari? <br /><br />Tradisi Ko Ciat atau makan besar hari ini disiapkan oleh para perempuan untuk menyambut perayaan makan Bacang. Bukan pesta, tetapi memasak untuk seluruh anggota keluarga besar. Makan bersama, bersama duduk dan bercerita memperkenalkan tradisi. Biasanya Ko Ciat dilakukan untuk makan sore atau malam. Tak heran, banyak etnis Tionghoa di Pontianak menutup tokonya setelah pukul 13.00. Mereka bersiap untuk Ko Ciat bahkan banyak di antara mereka yang mengikuti tradisi mandi di Kapuas sebelum merayakan Ko Ciat. <br /><br />Setiap tahun, antara pukul 11.00-13.00, para pemuda dan amoy-amoy tak terkecuali anak-anak bersampan ria di tengah sungai Kapuas, mereka yang telah dewasa biasanya menceburkan diri ke Sungai Kapuas, berenang-renang dan mengambil air sungai tepat pada pukul 12.00 siang. Tradisi ini dipercaya untuk membuang sial, duka dan lara. Menumpahkan segala gundah dan gulana, membersihkan diri dengan air yang dianggap mampu menghanyutkan segala bentuk energi negatif sekaligus mendatangkan kebaikan dan keberuntungan. Mereka juga mengambil air, membungkusnya dalam plastik-plastik atau menyimpannya dalam jerigen. Konon air ini kemudian disimpan di rumah, sering digunakan untuk air obat, setahun pun tak akan berubah rasa dan tiada berbau. <br /><br />Berperahu selama 20 menit pun tak terasa. Sempat seorang amoy belia pingsan dan dinaikkan ke sampan yang saya naiki. Masih sangat belia dan mengikuti kegembiraan perang lempar air dari sampan satu ke sampan lainnya. Ketika waktu mulai bergeser tak lagi di tengah hari, satu-persatu sampan yang membawa muda-mudi itu pun bergerak ke tepi. Sempat kubertanya pada seorang pemuda, “acara apa hari ini? Mengapa berenang?” dan si dia hanya menjawab,”berenang saja di hari Ko Ciat, melepas sial.” <br /><br />Dia terus berenang ke tepi Kapuas, sambil berteriak Selamat Ko Ciat! Semoga dia akan selalu mengingat tradisi keluarganya, tidak seperti aku yang sudah kehilangan akar tradisiku. Entah aku berada dimana dan melakukan apa? Aku tak ingat lagi apa itu simbolisasi upacara tedak siten, atau pun upacara adat pernikahan Jawa. Semua yang kualami telah mereduksi ingatan masa kecilku yang erat dengan tradisi Jawa. Mereka yang semuda itu masih berenang dengan jumawa di Kapuas, masih percaya keberuntungan akan datang setelah melarung duka di Kapuas. Tak peduli budaya tradisinya masih tradisional atau dianggap sudah ketinggalan jaman, mereka tetap berenang menyambut Ko Ciat. Sampai pada titik ini, budaya tradisional transnasional Tionghoa di Indonesia bertahan, mengalami reproduksi regenerasi untuk bertahan. Selamat Ko Ciat! <br /><br />salam hangat<br />agni malagina<br />pengamat naganeng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-78485554456022191932009-09-14T02:39:00.000-07:002009-09-14T02:48:18.321-07:00Mustofa: Malam ini, terakhir dalam sunyi sampai nadi terhenti nantiYa Rabbi bil Musthofa<br />balligh maqoshidana<br />waghfir lana ma madho<br />Ya Wasi'al karomi... <br /><br /><br />Suatu ketika saat malam sampai pada puncak suramnya, aku menengarai bunyi gesek biola dan Asma Allah dan sang Nabi disebut. Malamnya malam membawa pada sepi yang mulai meniupkan angin dingin menyentuh rona semu tengkuk. Teringat perjalanan liku dan ragu penuh pilu. Hanya ingatan itu yang masih tersisa dan membuatnya tetap ada. Tak terasa, saat tatap dinding putih itu, mata pun bersemuka dengan rasa. Hanya ada rasa dahaga yang tak terbayar oleh air mata. Kurang dari sedepa tertunduk sampai pada nama tertinggi senar terpendar dalam nada bernada. <br /><br />Terdengar bunyian Mustofa dalam getar doa. Hanya ada malam ini yang begitu sunyinya sampai menebar wangi melati suci. “Wahai Tuhanku dan Tuhan Nabi kami Muhammad, kabulkanlah segala keinginan dan cita-cita kami. Dan ampunilah apa yang telah kami lakukan di masa yang lalu. Duhai Engkau Tuhan, yang membukakan pintu rahmat.”<br />Hanya ada rasa itu dalam dada. Berkecamuk bertumbuk dalam jiwa raga. Menggetarkan ujung-ujung semburat halus vena arteri yang membawa nafas. Hanya ada rasa itu. Bergejolak melonjak menembus hipotalamus. Mengunci ingatan terdahulu yang membangun jiwa kini. Tak ada lagi rasa sesal kekal. Hanya serah jiwa yang menjadikannya hampa. Catatan ini hanya menjadi milik malam seorang sendiri sahaja.<br /><br />Malam ini, terakhir dalam sunyi sampai nadi terhenti nanti<br /><br />agni <br /><br />tengkyu kang okeu yang nerjemahin dengan penuh haru plus nulisin latin arabnyahneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-24722802375306825572009-01-28T02:00:00.002-08:002009-01-28T02:02:11.397-08:00BOIKOT PRODUK YANG MENGUNTUNGKAN ISRAEL: spek produknya apa yaa Om?Palestina sepertinya lagi ‘in’ buanget di kalangan tertentu...dari mahasiswa sampai partai politik, dari para santri sampai pemimpin negeri. Semua beramai-ramai mengeluarkan suara simpati sampai nekat pergi berjihad ke Palestina untuk melawan Israel.<br /><br /><br />Minggu tanggal 18 Januari 2009, saya melintas kota Bogor sepulang dari Giri Jaya. terkejutlah saya ketika di sudut mata saya tertangkaplah poster fotocopy-an bertuliskan “BOIKOT PRODUK YANG MENGUNTUNGKAN PENGUSAHA ISRAEL” yang dipajang di daerah pusat komunitas Arab, Empang, Bogor. <br /><br />Nah lo, bagaimana saya tidak terkejut, jangankan produk Israel, untuk mengetahui produk Indonesia saja saya tidak bisa cepat tahu. Saya berpikir, yang mana ya produk Israel? Mungkin memang ada produk Israel yang masuk Indonesia, tapi yang manaaa?<br /><br />Saya heran mengapa si pembuat poster seruan itu tidak mencantumkan spesifikasi produknya, untuk memudahkan saya sebagai masyarakat untuk mengidentifikasi produk Israel...hehehe<br /><br />Saya bingung dengan tujuan si pembuat poster? kok ya sampai boikot-boikot negeri orang ya? kenapa tidak boikot LAPINDO saja? yang jelas-jelas merugikan tanah air dan bangsa Indonesia, Si NKRI yang sudah semakin renta ini. Atau boikot saja pemerintah Indonesia jika memang pemerintah dianggap tidak adil kepada rakyat. Laaa ini malah boikot produk negara orang yang tidak merugikan Indonesia. Boleh lah produk Israel diboikot jika terbukti mengandung merkuri, melamin, dan dapat membahayakan nyawa masyarakat Indonesia.<br /><br /><br />Belum lagi selesai....ketika saya melintas papan pengumuman di area kampus saya, saya membaca poster “EDUCATION FOR PALESTINE” yang kabarnya sudah mengumpulkan dana lebih dari 1 Milyar untuk beasiswa pemuda Palestina. diajukan juga opsi agar mereka dapat kuliah di Universitas Indonesia. Waduh...edan saya pikir, la wong di depok saja masih banyak anak putus sekolah lo. Kok ya jauh-jauh mikirin nasib pendidikan pemuda harapan bangsa Palestina. Lalu bagaimana dengan nasib pendidikan pemuda pemudi harapan bangsa NKRI ini? <br /><br /><br />Gelombang demo anti Israel pun memang masih bergejolak di seluruh dunia ini. Wajarlah itu terjadi dengan alasan simpati dan kemanusiaan. Tapi rasanya lucu jika semua-mua yang dilakukan di atas dilakukan dengan alasan solidaritas agama....hmmmm...agak lebaaay kayanya. Kalau mau memakai solidaritas agama...banyak muslim di Indonesia yang menderita miskin papa yang memerlukan uluran tangan dari muslim yang memiliki kemampuan membantu sesamanya. Rasanya tidak perlu jauh-jauh sampai menolong orang yang di Palestina. Palestina kan dekat dengan jutaan muslim yang tinggal di dunia Arab sana, pastilah banyak yang bisa lebih cepat membantunya. Pak ustad saya pernah bilang, “tolonglah saudaramu yang terdekat.”<br /><br /> <br /><br />Tapiii..ya apa daya seorang saya ini? Cuma bisa protes begini. paling tidak...saya sangat bangga, ada kalangan di Indonesia yang sangat peduli dengan sesamanya yang sedang menderita di belahan dunia mana pun. Saluut.....Terus perjuangkan kebebasan Palestina (????)... rakyat Palestina BERHAK BAHAGIA!<br /><br /><br /><br />saya rasa, masyarakat Indonesia juga BERHAK BAHAGIAA!<br /><br /><br /> <br /><br />Agi berkata: “Pak Ustad....tolong saya doong.” <br /><br /><br /><br />salam, <br /><br />agnineng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-40392452302535526512009-01-28T02:00:00.001-08:002009-01-28T02:00:40.038-08:00Jati diri Kota Depok: makan dengan tangan kanan? how come????Suatu malam, saya menaiki angkot menuju sebuah pertokoan terkenal di Depok. Di sebuah perempatan jalan, saya mendapati sebuah baligo besar yang bertuliskan: “Kembalikan jati diri bangsa. Dengan makan dan minum memakai tangan kanan.” Dengan tambahan visual orang-orang yang makan dengan menggunakan sendok garpu, sendok di tangan kanan, garpu di tangan kiri.<br /><br /> <br /><br />Awalnya saya agak merasa kecolongan dengan iklan layanan masyarakat itu. Sebab sebelumnya, baligo rakssa itu berisikan maskot kota Depok yang akan dikembangan sebagai produk unggulan kota yang sudah berkembang pesat itu. Ya....belimbing kuning. Buah berbentuk bintang itu tampak cantik karena produknya terasa sangat bear. Semacam jambu bangkok, durian bangkok dan bangkok-bangkok yang lain. Tapi ketika sore itu malam itu saya melihatnya sudah berubah rupa, saya pun sempat panik. Mungkinkah saya yang salah lihat. Saya pun segera meminta teman saya untuk melihat iklan itu. dia tidak berkomentar banyak. Saya makin ragu dengan pandangan mata itu. Tapi sudahlah...saya tidak akan membahas mata saya yang memang mulai minus. <br /><br />Slogan kembalikan jati diri bangsa dengan cara makan menggunakan tangan kanan itu sangat menggelitik saya. Bukankan memang semua orang makan dengan tangan kanan? Kalaupun ada yang makan dengan tangan kiri, tampaknya kebiasaan itu datang karena si pemilik tangan itu pastilah kidal, saya juga berkawan dengan salah seorang yang berkecenderungan kidal tersebut. Saya jadi berburuk sangka terhadap pembuat iklan layanan masyarakat tersebut. Mengapa urusan makan menggunakan tangan mana menjadi masalah besar? Sampai-sampai disebut sebagai bangian dari jati diri bangsa?<br /><br />Coba kita lihat apa saya yang masuk dalam katergori jati diri bangsa? Dalam pandangan saya, jati diri bangsa memang banyak sekali aspeknya. Seperti seni budaya tradisional, sejarah bangsa dan sebagainya. Mungkin makan dengan tangan kanan juga menjadi salah satu aspeknya. Tapi saya tetap tidak bisa paham, bagaimana iklan itu bisa muncul? Mengapa cara makan harus diurusi? Mengapa tidak menonjolkan budaya seni tradisi sebagai kekuatan kota? <br /><br />Bukankah cara makan orang itu ada sesuatu yang sangat pribadi? Mungkinkah iklan ini dapat disejajarkan dengan iklan UU antipornografi dan pornoaksi yang dianggap oleh banyak pihak sebagai undang-undang yang menyentuh ranah pribadi. Cara makan merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan kemampuannya. Makan dengan tangan kanan atau tangan kiri adalah hak pribadi seseorang. Makan menggunakan sendok atau tangan telanjang pun merupakan hak pribadi. Dan saya pikir, cara makan dihubungkan dengan jati diri bangsa itu sedikit sekali hubungannya. Sampai saat ini saya masih mencari berbagai kemungkinan jawaban atas munculnya iklan tersebut. Tetapi, saya tetap bingung bagaimana caranya cara makan menjadi jati diri bangsa??<br /><br />Mungkin ada yang bisa membantu saya mendapatkan jawaban tersebut.<br /><br /> <br /><br />Salam, <br /><br />Agni Malaginaneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-31353380479310257042009-01-28T01:57:00.000-08:002009-01-28T01:59:57.927-08:00Bakso Mas Yemo, bengis-bengis manisNiat tulus untuk mendinginkan pikiran di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan semangat pendorong bagiku dan kawan-kawan untuk menambah hari tinggal di KBS. Sungguh merupakan pengalaman batin yang luar biasa ketika kami bertiga turun dari KBS menuju perkampungan Sindangbarang untuk mencari semangkuk bakso berkuah hangat-hangat suam kuku. <br /><br />Dimulailah perjalanan kami mencari bakso sore itu. Sambil berjalanan di pematang sawah, kami masih sempat berfoto dengan latar gunung Salak. Suasana sore itu mulai mendung, angin sepoi pun mulai membawa titik-titik airmya yang terjenih seolah ingin menyapu debu halus di permukaan dedaunan sang padi. Perjalanan kami lanjutkan dengan menembus situs punden berundak yang memiliki puncak batu berdakon 6. Kami berjalan dengan tujuan bakso Pakde depan masjid raya Sindangbarang. Saya bertemu dengan pakde yang sedang nangkring di tempat olah raga sambil melayani beberapa bapak-bapak yang juga memburu baksonya. Kami pikir,”ah...terlalu ramai, cari gorengan dulu saja.” Kami pun singgah di tukang gorengan sambil semal-cemil beberapa unit risol, pisang molen, bakwan dan ubi. Tak lupa juga kami membungkus beberapa jenis gorengan. Kami pun memutuskan untuk naik angkot. Baru saja duduk di dalam angkot, sang supir pun bertanya, ”mau ke Bogor?” kontan kami menjawab bersamaan,”enggak pak, mau cari tukang bakso.” Pak supir mengiyakan sambil tersenyum lebar. Tak lama, ia pun berhenti di depan pabrik PT Rama sambil mengatakan,”baksonya enak. Mang, mesen bakso tilu! (bang, pesan baksonya tiga!)”<br /><br />Kani dan Lola pun masuk lebih dulu ke dalam kios bakso berukuran 3X2 meter itu. Saya masih disibukkan dengan urusan transaksi pembayaran angkot. Tak lama saya menyusul. Dan mendapatkan cerita, kira-kira sebagai berikut:<br /><br />”Bang, baksonya tiga,” kata Lola,”dua baksonya aja.”<br /><br />Tak lama si abang bertanya,”Pakai bakso enggak?”<br /><br />Sempat mereka berdua terhenyak dengan pertanyaan itu, namun mereka cukup sigap menjawab dengan ketawa bingung. <br /><br /> Kami pun sedikit ribut membicarakan beberapa hal remeh temeh yang sebenarnya juga tidak telalu penting. Tapi perlu dicatat, setiap pembicaraan pasti selalu berakhir dengan derai tawa berkepanjangan. Tak lama, abang bakso pun datang membawa dua mangkok, satu ia letakkan di depan saya. Saya agak kebingungan dengan bakso polos tidak berbihun, bukan pesanan saya, saya pikir. Tiba-tiba terdengar kata pendek yang tidak pernah saya duga sebelumnya,”estafet,” kata si abang. Kani langsung menjawab,”wah...komando...komando.” Dengan penuh kesadaran pun kami akhirnya mengestafetkan mangkok bakso tersebut. Sekali lagi diiiringi derai tawa yang sangat tulus keluar dari lubuk hati. Saya bertanya padanya,”mas, siapa namanya?” <br /><br />Dia menjawab,”mas gendut!” <br /><br />”Wah, ga bisa mas, nanti kalau saya nanya mas gendut dimana, semua orang bingung nyari orang yang gendut-gendut. Saya panggil mas yanto aja ya.”<br /><br />Dia menjawab,” iya boleh.”<br /><br />Tiba-tiba datang celetukan dari Kani,”mas Yemo aja.”<br /><br />Maka sejak saat itulah kami mendaulat dia dan tokonya dengan nama ’Bakso Mas Yemo’.<br /><br />Beberapa suap kuah hangat pun saya rasakan berdu dalam mulut saya. Rasa gurih asin asik menyatu menekan syaraf-syaraf indera pencicip ini. Saat sedang konsentrasi penuh memakan bakso, saya tak sengaja mendengar percakapan antara abang bakso dengan seorang pembelinya:<br /><br />”Baksonya mas,” kata si pembeli.<br /><br />”Di mana?” tanya si abang. Hal ini lah yang saya perhatikan. Mengapa bisa muncul pertanyaan ’dimana’ dari si abang bakso. Saya sempat bingung. Belum bisa saya pikirkan alternatif jawaban pertanyaan ‘di mana’ itu, sang pembeli pun menjawa,”di mangkok.”<br /><br />Saya tak tahan untuk menyampaikan percakapan mereka yang tiba-tiba masuk dalam frekwensi konsentrasi saya kepada kawan-kawan. Dan benar....selesai saya menceritakan kejadian itu, kami tertawa panjang lagi. Kemudian untuk beberapa saat, suasana kembali pada pembicaraan yang sekenanya saja. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan bakso mas Yemo. <br /><br /> Sampailah kami pada akhir masanya makan bakso. Kami meminta mas Yemo untuk menghitung harga bakso plus kerupuk kulit yang kami konsumsi. Mas Yemo mulai menghitung dengan jumawanya,”bakso tiga, kerupuk kulit tiga,” tidak berhenti sampai di situ, dia pun melanjutkan,”berapa gelas?”<br /><br />Kami sempat mencoba mencerna kata-kata terakhir, namun rasanya tidak kesampaian menelan kata-kata tersebut. Hanya ada satu kata yang sanggup kami ucapkan,”WADUH!”<br /><br />Setelah berusaha untuk mengingat berapa gelas air putih yang kami tenggak, satu persatu kami menyebutkan jumlahnya.<br /><br />“Dua,” kata Kani.<br /><br />“Dua,” kata Lola.<br /><br />”Tiga, tapi ini belum habis,” kata saya.<br /><br />Mas Yemo pun dengan cueknya menjawab sejumlah angka dengan akhiran lima ratus rupiah. Kami pun tetap dalam kondisi tertawa tak tertahankan. Tak lama mas Yemo datang memberikan lembaran uang kertas. Dan terakhir ia memberikan satu keping uang logam 500 rupiah sabil berkata,” buat ongkos.”<br /><br />Saya sempat melongo, dan lagi-lagi kami tertawa lebar. Bagaimana tidak? Baru kali itu kami makan bakso dengan ratusan detik diisi oleh ketawa ketawa ketawa dan ketawa akibat ulah mas Yemo. Saat itu Mas Sawab, salah seorang anak buah Pupuhu Sindangbarang pun menjadi saksi ’kebengisan’ mas Yemo. <br /><br /> Waktu jualah yang memisahkan kami dengan mas Yemo sore itu. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan utama, menuju rumah Pupuhu KBS. Pembicaraan di angkot pun masih tetap seputar mas Yemo, tentang bagaimana gilanya mas Yemo menghadapi kami, tentang bagaimana kekejaman yang dilakukan mas Yemo, hingga kenangan-kenangan bersama masYemo. <br /><br /> Kami meninggalkan mas Yemo di belakang sana. Itulah yang kami lakukan. Kami meninggalkannya dengan penuh kesadaran bahwa kami memang harus pergi. Dengan membawa kenangan tentangnya. Tentang mas Yemo seorang.<br /><br /> <br /><br />Salam,<br /><br />Agnineng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-4248760962939863222008-12-05T02:14:00.000-08:002008-12-05T02:18:00.399-08:00Balada Sekartaji jeung Raden PanjiProlog:Jodo abadi<br />Saprak rama ambu semédi<br />Déwata gé kedal jangji<br />Inu Kertapati kauger ku Sekartaji<br /><br />Drama 1:<br />Panji teu deui nyombo<br />Cinta datang nyirep<br />Anggraéni sosoca ati<br />Dijadikeun permaisuri<br /><br />Drama 2:<br />Kahuripan dirambat mongkléngna peuting<br />Si kembang pupus nganuja diri<br />Barajanata ngajadi saksi<br />Dibumikeun dina kembang nu seungit<br /><br />Drama 3:<br />Lalaki ngakeup sang déwi<br />Leumpang teu leupas deui<br />NALIKA CINTA DILEBUKEUN<br />Sang déwi néang awak Sekartaji<br />Panji milari titisan sang déwi<br />Panji leungitkeun jati diri<br />Lebur marengan bumi<br /><br />Drama 4:<br />Lalaki néangan<br />Sang déwi néangan jeung ngadago<br /><br />Drama 5:<br />Lalaki<br />Datang<br />Di tukangeun<br />Kamajaya<br />Sang déwi<br />Ngadago<br />Andéprok na dampal Kamajaya<br /><br />Drama 6:<br />Anggraéni dina purnama<br />Anggraéni dina diri Sekartaji<br />Aggraéni Sekartaji sahaté<br />Radén Panji Candra Kirana<br /><br />Epilog:<br />Cinta munggaran dibawa perlaya<br /><br /><br />agni malagina (2008)<br /><br />hatur nuhun Kang Mumuneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-38877860421672077662008-12-05T02:12:00.000-08:002008-12-05T02:14:04.823-08:00Kawung Titian Para DéwataBabad Kawung,<br />Koropak lontar natrat kaagungan Sang Hyang Tunggal<br />Koropak lontar lumenggah Guriang Tujuh<br />dina éta tangkal palma luminggih para Déwata<br />jeung doa dipapatkeun<br />dina daun aya sang Déwata<br />dina watang dipuja wahai Déwata<br />dina lahang dialiran napas Déwata<br />dina akar dikukuhkeun duhai Déwata<br />Kawung....titian para Déwata<br />kawung kuring...tepikeun doa kuring....<br /><br />agni malagina<br /><br />hatur nuhun pa agus<br />nuhun kang Mumu anu atos alih bahasakeunneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-64884090672103045912008-12-03T03:04:00.000-08:002008-12-03T03:06:55.683-08:00Tni dan polisi: berlari dan bernyanyi untuk NKRI harga mati!<a href="http://3.bp.blogspot.com/_TB_dUXAgxRs/STZoEb7dRWI/AAAAAAAAABQ/-w8qx5bZZUY/s1600-h/20080701_122543_polri.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5275518438937019746" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 252px" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_TB_dUXAgxRs/STZoEb7dRWI/AAAAAAAAABQ/-w8qx5bZZUY/s320/20080701_122543_polri.jpg" border="0" /></a><br /><br />Tni dan polisi: berlari dan bernyanyi untuk NKRI harga mati!<br /><br /><br /><br /><p> </p><p> </p><p> </p><p> </p><p> </p><p> </p><p> </p><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Suatu malam, saya berjalan meninggalkan kampus bersama adik kelas saya, Itas. Saya berjalan dengan gagah sambil menyanyi lagu yang saya hapal. Tak jauh-jauh dari lagu nasional dan lagu masa kanak-kanak. Sebenarnya hati ini ingin sekali menyanyikan lagu-lagu yang sedang ngetren pada masa kini, namun jujur saja saya tidak hafal…tidak bisa menghafal lagu macam milik band UNGU, Peter Pan dll. Saya merasa kalah dari anak-anak kecil yang fasih melantunkan tembang Kangen band.<br />By the way, anyway, busway,<br />Saya berjalan dengan langkah tegap sambil bernyanyi. Baru menyelesaikan 2 lagu pun saya sesak nafas dan terengah engah. Ingatan saya langsung terbang menuju kenangan ketika kecil saya sekolah di SMPN 2 Gombong. Daerah itu dekat dengan tempat konsentrasi TNI AD. Entah saya lupa namanya. Tapi yang jelas saya ingat, sering ada barisan tentara yang lari sore sambil menyanyikan lagu-lagu nge-beat. Hhh…saya saja jalan sambil menyanyi bisa sampai pada tahap saya terengah-engah…apalagi para tentara?!<br />Beban yang mereka tanggung sangat besar…itu baru dari berlari sambil bernyanyi. Apalagi jika sudah berlatih perang, turun ke lapangan, atau bahkan pergi berperang.<br />Jasa mereka luar biasa….apa yang mereka lakukan adalah menjaga kesatuan NKRI. Karena NKRI itu harga mati! NKRI HARGA MATI!<br />Tapi bagaimana jika Bali dan Irian Jaya menolak UU anti pornografi? Minta keluar dari NKRI? Bahayaaa!<br />Bagaimana itu UU bisa jadi pemecah NKRI?<br />Tengoklah semangat NKRI HARGA MATI….<br />Masih ingat kita sudah kehilangan sebuah mutiara, Timor Timur? Sipadan Ligitan yang berkasus terus?<br />Tapi…yaaaa…sudah….sudah terjadi…..<br />Tiba-tiba saya seperti berhalusinasi…serasa menyaksikan kakek saya tersayang, pensiunan ABRI, meninggal di hari tuanya…sendirian…dia sering berkata: “dulu eyang berjuang di garis depan saat agresi militer di Jogja. Sekarang banyak teman-teman tentara yang hidupnya sangat jauh dari sejahtera, apalagi yang cacat perang. Sudah untung jika mereka dapat pensiun. Banyak yang tingal di gubuk, tua renta, mati sendiri.”<br />Seraaam…<br />Membayangkan perjuang tentara Indonesia jaman dulu tentu sangat mengharukan. Tentara jaman sekarang pun tentu selalu berjuang demi kesatuan dan keamanan NKRI.<br />Juga pak polisi. Berjuang menjaga ketertiban dan keamanan kota. Sayang…nama besar jasa mereka kadang ternoda oleh tingkah sejumlah oknum. Manuasiawi…sangat manusiawi…<br />Pak TNI, Pak Polisi, semangat yaaaaa…..NKRI HARGA MATI!neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-17277714011278172082008-12-01T17:12:00.000-08:002008-12-01T17:14:40.358-08:00Undangand dan Susundan Acara: Seren Taun Guru Bumi Sidangbarang 2009Kepada Yang Terhormat Bapak/Ibu/Saudara:Pupuhu Kampung Budaya Sindangbarang mengundang Anda untuk menjadi bagian sejarah perjalanan Seren Taun Guru Bumi yang akan dilaksanakan pada:<br />Hari/ tanggal: Senin - Minggu / 5 - 11 Januari 2009 (Acara Puncak tanggal 11 Januari 2009)Tempat : Kampung Budaya Sindangbarang, Pasir Eurih, Tamansari, Kabupaten Bogor<br />Bersama ratron ini kami menyertakan susunan acara. Informasi lebih lanjut silakan mengunjungi laman kami: <a href="http://www.kp-sindangbarang.com/" target="_blank" rel="nofollow">www.kp-sindangbarang.com</a>Atas perhartian Anda, kami ucapkan terima kasih<br /><br />Pupuhu,A.Mikami Sumawijaya(Rama Heulang) <br /><br /><br />Susunan acara Tanggal Acara Lokasi jam<br /><br />5/01/09 Neteukeun Imah Gede KBS 19.00 WIB<br /><br />6/01/09 Ngembang Imah bali ke makam<br />leluhur KBS 08.30 WIB<br /><br />6/01/09 Manakiban Imah Kolot 19.30 WIB<br /><br />7/01/09 Sawer Sudat Imah Gede 08.00 WIB<br />Ngalage Saung Talu 10.00 WIB<br /><br />08/01/09 Sebret kasep Bale pangriungan 08.00 WIB<br />Munday Sungai Cieureu barang14.00 WIB<br /><br />09/01/09 Ngukuluan Imah Kolot 14.00 WIB<br />Ngangkat Imah Kolot 20.00 WIB<br /><br />10/01/09 Sedekah kue Imah Gede 08.00 WIB<br />Helaran Lapangan inpres 09.00 WIB<br />Nugel munding Lapangan inpres 09.30 WIB<br />Sedekah daging Imah Kolot 15.00 WIB<br />Pintonan kesenian Saung Talu 19.30 WIB<br />Pintonan kesenian Lapangan inpres 19.30 WIB<br /><br />11/01/09 Helaran rengkong<br />dongdang,kesenian Imah kolot ke<br />Imah Gede KBS 08.00 WIB<br />Majiekeun Pare Alun2 kajeroan 09.00 WIB<br />Sambutan Pupuhu<br />Parebut dongdang Alun2 kajeroan 11.00 WIB<br />Pintonan kesenian Alun2 kajeroan 11.30 WIBneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-22505679142268114782008-11-30T00:30:00.000-08:002008-11-30T00:32:40.485-08:00Persembahan untuk Kampung Budaya Sindangbarang<a href="http://2.bp.blogspot.com/_TB_dUXAgxRs/STJPYcGcOAI/AAAAAAAAABI/YlxZmDBToKM/s1600-h/ungkal.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5274365394882934786" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 248px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_TB_dUXAgxRs/STJPYcGcOAI/AAAAAAAAABI/YlxZmDBToKM/s320/ungkal.jpg" border="0" /></a><br /><div></div>neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-18504048506476145552008-11-28T21:46:00.000-08:002008-11-28T21:47:33.679-08:00Ungkal Biang: Memoar Eksistensi Seni TradisiUngkal Biang: Memoar Eksistensi Seni Tradisi<br /><br /><br />Agni Malagina<br /><br />Sebuah prosesi unik bernama Ungkal Biang telah dilaksanakan di sebuah tempat yang dikelilingi 78 titik situs bersejarah berupa menhir, dolmen, punden berundak, batu tapak, batu dakon, batu kursi, sumber mata air suci, Sindangabarang Bogor. Sebuah tempat yang dihembusi titik air dari Gunung Salak itu, Minggu, 16 November 2008, ungkal biang (batu induk) berupa batu tugu ciri penanda berdirinya sebuah kampung adat ditegakkan.<br /><br />Sejarah ungkal biang konon sudah ada sejak jaman kerajaan Pajajaran (923 – 1579). Pada saat Sri Baduga Maharaja (1482-1521) memimpin, ia menancapkan ungkal biang disamping prasasti Batu Tulis – Bogor sebagai penanda masa kepemimpinannya. Beberapa kampung adat sunda pun memiliki ungkal biang sebagai penanda keberadaan kampung tersebut, seperti kampung Tegal Umbu di Banten Selatan misalnya. Pupuhu (ketua adat) kampung budaya Sindangabarang – Ahmad Mikami Sumawijaya – pun menegaskan bahwa ungkal biang ini juga merupakan lambang persatuan lembur (desa) Sindangbarang.<br /><br />Memilih batu tugu merupakan salah satu hal yang cukup sulit. Pupuhu yang akrab dipanggil Rama Maki pun dibantu oleh budayawan Sunda – Anis Djatisunda – dalam menentukan batu tugu. Ungkal biang pun diperoleh tak jauh dari titik Taman Sri Bagenda dan Sumur Jalatunda yang sudah diresmikan menjadi situs purbakala oleh dinas pariwisata kabupaten Bogor. “Ungkal biang diangkat dari pinggir sungai oleh 30 orang,”ujar Abah Encem, sesepuh adat Sindangbarang. Prosesi dimulai dengan acara menegakkan ungkal biang. Susah payah para kokolot mendirikan batu dengan menggunakan tuas dan tambang, tiada teknologi modern ikut serta dalam pengangkatan batu tersebut. Batu tugu pun segera berdiri dengan kokohnya sembari disirami air kembang 7 mata air yang dianggap keramat bagi warga Sindangbarang sebagai simbol penghilangan energi buruk yang ada dalam batu tersebut. Prosesi di sekitar ungkal biang ditutup dengan melontar ayam jago putih ke udara. Upacara pagi hari itu pun diakhiri dengan upacara murag tumpeng atau makan tumpeng bersama.<br />“Tadi pada saat prosesi ada elang melintas kan?” tanya Pupuhu. Saya spotan mengiyakan. ”Itu leluhur yang ikut menghadiri upacara,”sahut Rama Maki dan menambahkan bahwa upacara menegakkan batu tugu bukanlah bentuk penyembahan terhadap batu,”ungkal biang ini hanya memoar untuk anak-cucu, bahwa di sini berdiri kampung budaya Sindangbarang.”<br /><br />Pada saat yang bersamaan, semua yang hadir dalam upacara yang hanya sekali dilaksanakan oleh sebuah kampung adat itu pun dihibur oleh pelbagai kesenian Sunda, hasil kreativitas dan kontemplasi para seniman Kampung Budaya Sindangbarang yang tergabung dalam Padepokan Giri Sunda Pura. Jaipong, reog, dan angklung gubrak (dipalajari dari seniman di daerah Cipining) pun menjadi andalan kesenian kampung budaya yang baru mengalami proses revitalisasi pada tahun 2007. Rampak pencak dan parebut seeng yang memiliki dasar seni beladiri Cimande juga turut dikembangkan menjadi seni pertunjukan. Di kampung yang juga memiliki ratusan pengrajin sepatu inilah, seni tradisi Sunda dikembangkan. Sebuah usaha untuk membentuk ketahanan budaya dengan proses modifikasi sebagai penyesuaian terhadap tuntutan masyarakat yang dekat dengan paradigma globalisasi. Komodifikasi seni tradisi pun menjadi salah satu alternatif untuk menggenjot gairah berkesenian. Sembari tetap berharap, seni tradisi tetap eksis bersama berdirinya sebuah replika kampung adat. Kreativitas atau revitalisasi berkesenian bukan untuk menghilangkan budaya tradisi, namun membuatnya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang dekat berbaur dengan kekinian.neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-3322601616181427042008-11-28T21:45:00.000-08:002008-11-28T21:46:44.466-08:00Dikungkung sang Kumbang: seni tradisi menuju mati<span style="font-size:180%;">Dikungkung sang Kumbang: seni tradisi perlahan menuju mati</span><br /><br />agni malagina<br /><br /><br />Sebuah fenomena budaya yang mengharu biru terjadi di sebuah desa kecil di tapal batas Kabupaten Brebes. Sindangheula dan Salem, Kecamatan Banjarharja, dua daerah di kaki gunung Kumbang dan gunung Sagara (terkenal dengan nama gunung Gora). Dua daerah yang memiliki masayarakat adat bernafaskan tradisi Sunda di Jawa Tengah. Pada jaman kerajaan Sunda, daerah ini merupakan daerah batas terjauh kerajaan Sunda (Pajajaran) pada masanya sekitar abad 15 – 16 Masehi, dengan Sungai Cipamali sebagai batas penegasnya. Bahkan nama gunung Kumbang pun masuk dalam catatan legendaris dari sebuah perjalanan seorang Bujangga Manik.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Eksotika alam pegunungan daerah Sindangheula dan Salem mampu membuat masyarakat Sunda yang berada di Jawa Tengah ini bartahan dalam sejarah. Keberadaan Sindangheula dimulai dari legenda, terus berpacu dengan jaman bertahan dalam ikatan tradisi kampung adat Sunda. Sempat luluh lantak saat diserbu DI/TII pada tahun 1950, tidak melunturkan keberadaan kampung adat ini. Terlebih hembusan anginnya yang dikenal dengan angin kumbang merupakan kekuatan alam yang mampu menghalau hama bawang merah sehingga pertanian bawang merah di sekitar gunung kumbang ini bebas pestisida. Daerah lingkung gunung ini terasa sangat terpencil bahkan sinyal operator telepon selular manapun tiada mampu menembus bebayang sang Kumbang. Mungkin hanya Satphone yang mampu berjaya di daerah ini.<br /><br />Jauhnya jarak ketiga kecamatan ini dari akses jalur pantura (pantai utara) membuat orang-orang Priangan (Jawa Barat bagian Barat) sering menyebut mereka yang kebanyakan giat bertani bawang ini sebagai golongan ‘Sunda Mualaf’<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>, orang sunda yang tinggal di Jawa Tengah. Asimilasi kadang dapat merubah sebuah komunitas yang berada di daerah dengan kebudayaan yang berbeda. Namun lain dengan yang terjadi di Kecamatan Salem, Banjarharja, dan Bantarkawung, tiga wilayah berpenduduk Sunda di antara 18 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Brebes. Beranak pinak di wilayah geografi Jawa Tengah selama ratusan tahun, tetap membuat masyarakat Sindangheula dan Salem masih memegang erat seni dan tradisi Sunda walaupun sinarnya perlahan mulai tertelan gemerlap globalisasi. Musik pop mulai menggeser tradisi membaca pantun dan wawacan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a>. Sinetron khas metropolitan perlahan menggantikan teater tradisi, organ tunggal pun ikut menggusur kecapi suling. Kesenian dan tradisi yang masih bertahan hanya tinggal beberapa saja seperti upacara khas sunatan, tradisi menghitung hari baik, tradisi mengubah nama untuk laki-laki yang menikah, penggunaan bahasa Sunda yang tidak mengenal ‘undak usuk basa’<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a> dan pembuatan batik tulis.<br /><br />Seni tradisi di Sindangheula sampai saat ini masih hidup di beberapa titik. Pantun gunung Kumbang pun masih memiliki penerus walaupun tak lagi belia. Biasanya seorang juru pantun adalah orang tua buta yang memiliki kemampuan membawakan isi naskah pantun Sunda tanpa membaca naskah, dibawakan semalam suntuk dengan upacara ritual Sunda yang sudah dipengaruhi gaya Islam. Mencari penerusnya sangat sulit, karena ilmu membaca pantun sambil memetik kecapi ini hanya bisa diturunkan kepada orang yang bersedia untuk menjadi buta. Entah mengapa menjadi buta, sampai saat ini misteri itu belum pernah terkuak. Tradisi menghitung hari baik di Sindangheula masih berlaku di kalangan sesepuh adat. Sistem penghitungan hari baik ini sama seperti masyarakat Baduy, dihitung berdasarkan rumus paten yang sudah berusia ratusan tahun. Salah satu yang menarik adalah tradisi penggantian nama seorang laki-laki yang menikah. Jika seorang laki-laki Sindangheula menikah, maka dia sudah dianggap dewasa, dan nama kecil pun harus diganti berdasarkan perhitungan hari baik. Tradisi ini masih berlaku sampai sekarang walau terkadang sering menimbulkan masalah ketika berhubungan dengan tertib administrasi pemerintahan. Masih banyak warga yang menjalankan tradisi ganti nama ini. Ada pula yang tidak lagi menjalankan tradisi karena menganggap seni tradisi Sunda tidak sesuai dengan Islam. Sampai pada titik ini sesepuh adat mampu bersikap demokratis kepada warganya dalam memilih adat dan agama.<br /><br />Batik Salem, mungkin sebuah merek yang jarang didengar oleh masyarakat luas dibandingkan nama batik Lasem, batik cirebon, batik Jogja, batik Solo dan batik Pekalongan. Tradisi membuat batik Salem diklaim sebagai batik khas tradisi Sunda oleh warga Salem. Tradisi batik tulis sampai saat ini masih tetap berlangsung dengan kepanikannya menuju kepunahan. Pada tahun 1940-an, batik Sunda di Brebes ini memiliki pasarnya sendiri. Pada waktu itu daerah pembuatan batik tulis ini masih cukup luas, bahkan sampai mendekati daerah Ketanggungan dekat pesisir pantura dengan motif yang halus. Sekarang batik Sunda Salem hanya ada di Salem dengan kesendiriannya. Karakter batik Salem sangat unik, dasarnya terdiri dari warna tanah dengan motif flora fauna berwarna gelap, berbeda dengan batik Cirebon dan Lasem yang cerah cerita terpengaruh motif dari Cina dan India. Sangat disayangkan bahwa batik Salem ini jarang dikenal orang. Bahkan perlahan, pengrajin batik tulis ini pun berkurang. Seni membatik khas Sunda pun seakan bernasib sama dengan kesenian tradisi yang pamornya mulai surut. Tampaknya pembangunan berbasis teknologi dan era informasi global mampu mengubah cara pandang masyarakat di beberapa kampung adat, di antaranya adalah kedua basis masyarakat adat Sunda di Brebes ini, pada masa kini seni tradisi mulai tidak diperhatikan masyarakatnya, dan pelan-pelan menuju mati.<br /><br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Lihat J. Noorduyn & A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Istilah ini saya dapatkan dari Kang Hermawan Aksan<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Wawacan adalah tulisan berbentuk pupuh (aturan teks nyanyian) Sunda, dengan isi cerita bersifat dongeng, legenda, mitos, sejarah, dsb. Wawacan terkumpul dalam bentuk buku yang pada masa dahulu ditulis dengan tulisan tangan. Hurufnya ada yang menggunakan huruf Arab gundul, Cacarakan Sunda, Aksara Jawa, dan huruf Latin. Pembacaan wawacan dipertunjukan dengan cara dinyanyikan, biasanya dilakukan oleh kaum lelaki pada malam hari. Di wewengkon (daerah) Priangan, acara mamaca disebut dengan istilah beluk. Populer hingga tahun 1980-an, sekarang sangat jarang dipertunjukkan.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Tingkat tata krama bahasaneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-71612488883248261032008-11-28T21:44:00.000-08:002008-11-28T21:45:43.471-08:00Kenangan trauma coping Pangandaran 2006<span style="font-size:130%;">Si kecil yang brutaaaal!</span><br /><br />agni malagina<br /><br /><br />Catatan dari Komendan:<br /><br /><br /><br />Alhamdulillah, selesai sudah rangkaian kegiatan FIB UI Program“Trauma Coping for Children”, Pangandaran 10 Agustus – 3 September 2006 yang didukung oleh Sekar Telkom dan Wanadri. Melepas segerombolan mahkluk kecil yang brutal dari Madasari Bulak Benda adalah hal terberat yang kami rasakan. Rasa tunai sudah bakti kami dihajar oleh rasa cinta dan perhatian lebih pada adik-adik yang semakin menjauh. Saat menatap mentari senja yang mulai suram, perlahan menelan bayangan mereka yang makin jauh. Entah kapan bisa bertemu mereka lagi. Entah kapan bisa melihat celoteh cerewet bawel bandel bangornya mereka. Entah kapan….?!<br />Semakin sunyi senyap….angin laut yang membawa angin dingin dari Benua Australia mulai melukai hati kami yang ditinggalkan bayang-banyang anak senja di pantai Cidadap. Perlahan kami yang tersisa di pantai mulai bergerak kembali ke base camp.<br />Malam turun bersama dingin angin yang bertiup. Para fasilitator mulai berdatangan dari mengantar anak-anak pulang. Rapat evaluasi pun dimulai.<br />Pukul 20.00, baru kali ini rapat evaluasi diadakan tepat waktu. Dan semua dalam keadaan tertib. Satu persatu mulai bicara melaporkan kegiatan hari ini. Cerita yang mengharu biru pun menghiasi ajang curhat terakhir. Evaluasi kegiatan tetap dalam jalur formal dengan tambahan evaluasi kegiatan secara umum. Evaluasi tanggal 3 September termasuk evaluasi pergerakan tambahan acara perpisahan dengan semua anak-anak wilayah Legok, Logodor, Cidadap dan Madasari. Dengan acara bebas, termasuk main flying fox untuk siapa saja. Sampai pada kesimpulan kegiatan berhsil dilaksanakan sampai tutup program. Namun dengan berbagai catatan tambahan.<br />Kerja belum usai, masih harus evaluasi hasil yang berkala.<br />Anak-anak di beberapa tempat masih perlu mendapat perhatian lebih. Seperti anak-anak camp Madasari RT 08 yang jauh dari pemukiman desa. Menyebabkan anak-anak agak terisolir. Beberapa anak di beberapa daerah sudah putus sekolah, dan banyak lagi yang terancam putus sekolah.<br />Trauma tidak hanya terjadi pada anak-anak. Trauma pada orang tua justru menjadi penghalang anak untuk bermain ke pantai. Trauma orang tua seringkali mengekang anak untuk kreatif.<br />Sarana dan kegiatan bermain anak-anak masih sangat kurang. Besar kemungkinan dari kurangnya anak bermain akan mengurangi aktifnya kemampuan motorik mereka. Yang akan berakibat penurunan daya cipta dan kreativitas anak.<br />Beberapa daerah camp pengungsi mulai kekurangan logistik dan berbagai kebutuhan. Bahkan ada camp yang membutuhkan jam dinding. Saran air bersih dan MCK masih sangat minim. Keadaan tenda yang sangat sederhana mulai menimbulkan masalah ketika menjelang musim hujan. Bahkan ditemukan lipan di bawah alas tidur.<br />Ketengangan yang timbul dengan sebuah organisasi relawan dari sebuah partai merupakan catatan khusus bagi kami. Satu kasus muncul di Camp Cidadap. Ketika program yang akan kami laksanakan bentrok dengan program pildacil yang akan diadakan organisasi tersebut. Menurut informasi warga, acara tersebut sangat mendadak. Sampai kami harus sedikit main keras. Karena hanya ada dua pilihan, program di Cidadap dilanjutkan atau dibatalkan. Namun kami menyerahkan semua keputusan pada warga. Alhamdulillah, warga mengijinkan anak-anak bermain bersama kami selama dua hari.<br />Selesai evaluasi dari fasil dan tim teknis, dilanjutkan acara curhat dadakan. Semua uneg-uneg, dendam, suka, syukur, sedih, maaf, berbagai rasa dan ekspresi dikeluarkan. Kang Dadang ketua puun sekaligus ketua rombongan Wanadri mulai angkat bicara. Berondongan ucapan terima kasih dan sapaan-sapaan akrab datang bertubi-tubi. Dilanjutkan dari kawan-kawan yang mengungkapkan hal yang senada. Sangat menyenangkan berada diantara kalian! Kondisi kerja yang kondusif, aktif, atraktif menjadi semangat untuk menyelesaikan program. Tak jarang muncul masalah intern atau ekstern yang tidak dapat dihindari. Sampai harus bersitegang atau bahkan berurai air mata. Namun semua tetap semangat sampai titik darah penghabisan. Alhamdulillah….selesai….<br />Catatan hari Senin, 4 September 2006<br />Senin pagi, hari ini adalah hari pergeseran semua relawan ke Pangandaran. Semua sisa logistik sudah dibagikan. Paket buku peralatan sekolah dan bantuan baksos dari mahasiswa baru FIB UI (program reguler S1 dan Diploma D3) sudah dihasbiskan. Dan abeberapa dus akan diserahkan di dua daerah yang pernah kami singgahi, yaitu Karang Jaladri dan Cikembulan. Sumbangan buku peralatan tulis dari FIB UI yang disertai surat cinta dari kakak-kakak di Depok merupakan sentuhan sayang kepada anak-anak. Pada saat perjalanan pulang tim yang menggunakan motor bertemu dengan anak-anak di penyeberangan, ada yang bertanya “kak, itu buku-buku dan alat tulis dari siapa ya?”<br />Kami menjawab, “itu dari kakak-kakak yang ada di Depok. Kakak-kakak yang tidak bisa datang ke sini. Suka nggak?”<br />Serentak menjawab, “sukaaa….ada suratnyaaaaaa!”<br />Kami menjauh meninggalkan mereka yang berdiri di seberang. Kapal mungil mulai bergerak membawa kami menjauhi mereka. Sempai kami ambil foto mereka dan mereka berpose layaknya foto model!<br />Saat motor berjalan melewati camp, ada yang berteriak,” Kakaaaaaak…kakak….”<br />Saya menoleh..beberapa anak berdiri di depan tenda mereka. Dan berteriak lagi,”Kapan datang lagi ke sini?”<br />Saya hanya melambai tangan. Tak terasa, mata mulai panas. Semakin melambaikan tangan, semakin terlihat mereka bergerak mengejar. Tapi rupanya larinya sang motor sangat kejam. Memisahkan kami dengan adik-adik yang ada dibelakang kami.<br /><br />Sampurasuuunneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-70268434126625897242008-11-28T21:43:00.000-08:002008-11-28T21:44:42.398-08:00Kenangan trauma coping pangandaran 2006Kenangan-kenangan<br />Trauma Coping Pangandaran 2006<br /> agni malagina<br /><br /><br /><br />Adikku, kembalilah ke lautmu!<br /><br />adikku sayang,pertama kali aku mendengar keluh kesah ibumu...tampak beban di matanyadapat kurasa....separuh beban ibumu adalah kamusaat melihat kamu menangis, dia sedihsaat melihat kamu tidur dalam mimpi burukmu, diadia terlukasaat melihatmu tak lagi ceria, dia gundahsaat melihatmu tak lagimau kembali kelautmu....dia resah...adikku sayang,jangan ingat laut yang dulu bergejolak menggulungombaknyajangan ingat laut yang dulu menghancurkanrumahmuayoo..tatap lautmulaut itu milikmulaut itu hidupmujangan kau takuti diajangan kau jauhi diakarena dia adalah lautmu!<br /><br />Pangandaran 17 Agustus 2006<br /><br /><br /><br />Sekapur Sirih<br /><br />Bencana alam tsunami di Pangandaran yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 merupakan salah satu kejadian yang mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah wilayah yang rawan bencana akibat pergeseran lempeng bumi dan aktifitas gunung berapi. Bencana yang terjadi di Pangandaran serupa dengan yang terjadi di Aceh 26 Desember 2004 dengan skala bencana yang lebih kecil. Bencana di Pangandaran memang tidak menimbulkan kerugian sebesar tsunami di Aceh, namun data (terlampir) menyebutkan banyak korban dan kerusakan total yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa Barat tersebut dan beberapa tempat di pantai selatan Jawa Tengah. Daerah yang mengalami kerusakan terparah ada di Kecamatan Cimerak, Kecamatan Cijulang, Kecamatan Parigi, Kecamatan Sidomulih, dan Kecamatan Pangandaran.<br /> Hal penting yang menjadi catatan bagi tim relawan Pusat Krisis Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya selama berada di Pangandaran (20 Juli – 4 Agustus 2006) adalah timbulnya masalah hilangnya mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah nelayan, masalah dalam konsentrasi pengungsi setelah korban langsung kembali ke daerah tempat tinggalnya yang hancur pada saat berakhirnya masa tanggap darurat, masalah trauma (anak dan dewasa), dan masalah pendidikan (beasiswa dan pemenuhan alat belajar).<br />Tsunami yang terjadi di daerah Pangandaran menimbulkan suatu kondisi trauma yang membuat anak-anak korban bencana merasa takut terhadap pantai, laut, ombak, bahkan lebih ekstrim lagi; takut terhadap air. Karena bencana, seorang anak yang bertempat tinggal di pantai kini menjadi takut pantai. Hal ini merupakan suatu ironi yang patut mendapat perhatian lebih. Ketakutan seorang anak terhadap tempat tinggalnya tentu akan menghambat proses tumbuh kembang seorang anak. Kebutuhan akan rasa aman dan nyaman yang tidak terpenuhi oleh lingkungannya sendiri akan membatasi anak dalam proses pengembangan potensinya.<br />Kami anggota Pusat Krisis FIB UI tergerak untuk memberi bantuan sesuai dengan kekuatan Puskris FIB dengan segera. Puskris memutuskan untuk berangkat pada hari Kamis, tanggal 20 Juli 2006. Dan terus bertahan sampai selesai masa tanggap darurat. Kami kembali ke Jakarta pada tanggal 3 Agustus 2006. Kembali ke Jakarta dengan beberapa catatan. Diantaranya adalah membantu anak-anak korban tsunami Pangandaran untuk kembali ke laut. Ceria dan gembira bermain di laut. Anak tidak akan lepas dari bermain. Dengan bermain kami rasa dapat membatu anak mengurangi ketakutannya atau kekhawatirannya menghadapi laut. Program anak pun menjadi PR bagi kami.<br />Sekembalinya kami ke ibu kota, kewajiban membuat laporan sesegera mungkin membuat kami segera bergerak dan melaporkan semua kegiatan kepada Dekan FIB, Ketua Pusat Krisis FIB, dan kepada pihak rektorat. Rencana program berikutnya pun bergulir dengan banyak kekhawatiran. Program Trauma Coping for Children pun menjadi wacana yang perlu segera diwujudkan.<br />Proses mewujudkan program outbound anak-anak korban tsunami ini sangat panjang. Kesabaran dan kegigihan kami di Jakarta sedang diuji. Tanggal 4 Agustus 2006 kami menghadap pihak rektorat berkenaan dengan akan diberangkatkannya batuan logistik dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang dianggap kurang tepat guna. Pihak rektorat menghimbau kami relawan yang sudah lama tinggal dalam operasi tanggap darurat untuk memberi saran kepada BEM. Sampai pada tahap negosiasi dengan BEM, kami dan BEM bersepakat untuk berangkat pada tanggal 9 Agustus 2006 dengan misi kemanusiaan UI yang keluar satu pintu, menghindari kasus relawan UI di Bantul terulang kembali. Pada tahap ini pun, kepastian dana bantuan yang ditawarkan dari rektorat atau UI AID belum juga terlihat titik terang. Hanya proposal kegiatan yang kami ajukan sudah sampai di rektorat.<br />Masa tegang kami terjadi pada tanggal 15 Agustus 2006. Kami mendanai operasional dengan dana pribadi yang kami salurkan lewat Pusat Krisis FIB. Sudah semakin menipis, dan kepastian dari rektorat dan surat ijin kegiatan dari Direktur Hubungan Mahasiswa dan Alumni sudah tidak dapat kami peroleh. Bahkan dana pun tidak ada. Keuangan kami hanya cukup untuk tarik mundur pasukan yang ada di Pangandaran. Saat itu siang menjelang sore, saya selaku “komendan” meminta Ken Miryam (koordinator lapangan) untuk menarik mundur semua pasukan. Entah apa yang terjadi, tidak lebih dari 30 menit, Ken menghubungi saya, meminta agar pasukan tidak ditarik mundur karena DPP Sekar Telkom akan membiayai sisa flight. Alhamdulillah, saya menarik nafas yang sudah terikat dengan emosi syukur yang tak tertahan. Bersama titik air mata, syukur terucap. Alhamdulillah, kami bisa melanjutkan program untuk anak-anak di Pangandaran sampai Cimerak. Alhamdulillah, kami bisa mengajak adik-adik kami di pengungsian untuk bermain ke laut. Menghadapi laut, kembali ke laut. Rasa susah sedih dan derita yang lalu tak terasa lagi. Hanya keinginan melihat wajah adik-adik kami yang membuat kami segera bergabung dengan tim advance.<br />Apa yang kami lakukan ini mungkin hanya sedikit meringankan beban saudara kita yang terkena bencana, namun semua kami lakukan dengan gembira. Kami ingin berbagi sedikit pengalaman dalam menangani trauma bencana pada anak, walau mungkin yang kami tampilkan ini sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, mudah-mudahan laporan ini bisa memberikan gambaran kerja yang telah kami lakukan. Ada gaya bertutur yang sedikit menyerupai feature, namun kami berharap dapat disajikan untuk memberikan gambaran dari kerja yang telah kami lakukan. Pengalaman ini kami sajikan dengan agak lebih panjang secara hari per hari untuk memberikan gambaran kemajuan yang dialami oleh anak-anak korban tsunami. Cerita pendek yang sangat panjang. Maaf…<br />Mohon maaf kami sampaikan kepada seluruh donatur, rekan-rekan realawan, rekan-rekan kampus yang selalu mendukung kami, aparat, warga sepanjang lintasan Trauma Coping FIB UI. Terima kasih banyak untuk para fasil...hanya karena kalianlah...kita dapat bertahan untuk bermain dan bermain.<br />Berikut ini adalah intermezzo yang harus kami tuliskan dalam lembaran ini. Karena tanpa beliau-beliau yang kami sebutkan di bawah ini, program kami tidak akan terlaksana.<br /><br />Ucapan terima kasih kami haturkan kepada:<br /><br />1. Prof. Dr. Ida Sundari Husen, Dekan FIB UI, yang telah memberikan ijin dan semangat bagi kami tim teknis dan fasilitator utnuk berangkat ke Pangandaran dengan fasilitas dan kemudahan dari FIB UI.<br />2. Bapak Prapto Yuwono, yang telah memberikan dorongan dan semangat serta berbagai kemudahan birokrasi dan perlengkapan teknis posko.<br />3. Bapak Cecep Eka Permana, yang telah memberikan ijin jalan kepada kami dan tim fasilitator untuk bergabung dengan tim advance yang sudah lebih dulu ada di Pangandaran.<br />4. Bapak Luthfi Zuhdi, dan Dewan Penasehat Pusat Krisis FIB UI, yang telah memberi bantuan moral dan material sejak bencana Bantul sampai dengan Pangadaran.<br />5. Ketua DPP Sekar Telkom, yang telah mendengar uneg-uneg mahasiswa ini dan memberikan bantuan suntikan dana operasional program flight Madasari-Cidadap-Legok-Logodor.<br />6. Ibu Ira dan Ibu Ida, Sekar Telkom, yang sudah melancarkan urusan pendanaan, dan sudah hadir di camp Cidadap. Maaf, pada saat Ibu datang, acara tertunda karena kesalahan teknis dan data kegiatan. Human error yang ada pada kami perlu dievaluasi. Maaf Bu.<br />7. Kang Erie, yang telah mengijinkan kami untuk tetap berjaya di Jln Raya Pangandaran 273! Sekaligus menjadi pencerahan bagi tim ”Papap Pangandaran”.<br />8. TELKOM, yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran komunikasi relawan. Kami dapat berhubungan dengan keluarga di Jakarta. Jarak yang jauh tak terasa. Bersama TELKOM kami aman!<br />9. Ketua Dewan Pengurus Wanadri, Kang Febby, yang sudah memberikan bantuan pengiriman logistik alat games dan ijin jalan tim teknis Wanadri.<br />10. Bang Ben (Imam Mawardi), dari Earth Color, yang sudah dengan cerah ceria meminjamkan alat games flying fox yang sekarang melegenda di Pangandaran. Bang, terima kasih, jasamu abadi! Salah satu sponsor utama yang berjiwa besar!<br />11. Para donator, terima kasih kepada Ibu Riris K.Toha Sarumpaet, Ibu Tuty Nur. Mutia Muas, IbuTjindarsih Wemmy, Ibu Djuariah PPIG UI, yang telah menjadi donator Pusat Krisis FIB UI sejak masa tanggap darurat (17 Juli - 4 Agustus 2006), sumbangan sudah kami salurkan kepada korban yang membutuhkan. Terima kasih sudah mendukung kegiatan kami.<br />12. Kang Dadang Abdul, yang bersedia kembali ke Pangandaran bersama kami, membina adik-adik mahasiswa untuk belajar berbagai macam hal. Diantaranya bagaimana mengambil keputusan pada saat genting. Sekaligus bagaimana cara bernyanyi yang baik. Terima kasih atas bantuan moral dan material yang diberikan.<br />13. Mba Anna RRD, yang telah menyediakan transportasi untuk mengangkut barang baksos dari kampus FIB UI.<br />14. Pak Dar, yang sudah mengantarkan barang baksos mahasiswa baru FIB UI sampai tengah malam di Cidadap.<br />15. dr. Monang Tampubolon, Opung kita tersayang, yang telah membuat kami selalu sehat. Terima kasih sudah rutin diperiksa, ditensi dan diberi suplemen. Terima kasih Opung sudah merawat kami yang sakit. Terima kasih Opung sudah membuat kami bertahan. Menyelesaikan mimpi bersama ini.<br />16. dr. Merry, ibu dokter cantik yang satu ini sudah bersama kami sejak masa tanggap darurat. Dan masih bersedia kembali ke Pangandaran untuk membantu Opung dan Tim Papap. Terima kasih telah memberi kami kekuatan!<br />17. Suster Dona, terima kasih sudah menemani kami sepanjang perjalanan, termasuk menjaga kami untuk tetap sehat.<br />18. Terima kasih untuk Wanadri: Kang Ozos, Kang Jokop, Kang Anset, Kang Psoy, Kang Dewa, Kang Handoko, Kang Dudy, Kang Kolotok, Kang Ade, Kang Fajar yang sudah sangat membantu kami untuk operator alat games. Kisah bersama kalian tidak akan terlupakan. Bahkan sesaat bersama kalian pun adalah kenangan yang akan kami simpan dalam hati. Kalian adalah semangat kami untuk selalu ada di lapangan dan tepi api unggun saat panas menyengat dan dingin terhebat.<br />19. Kang Karawang dan Kang Kolotok, yang telah menjaga kualitas Dapur Umum tetap prima. Papap Karawang, terima kasih atas layanan kesehatan yang diberikan. Celoteh papap dan kang Klotsky membuat hari-hari kami yang berat tak terasa. Kegembiraan bersama kalian berdua adalah hal yang sangat langka. Papap, namamu abadi bersama milis kita!<br />20. Kang Toing Se, yang sudah mengantar kami ngebut kemana-mana.<br />21. Kang Dudy, Kang Anset, Kak Ocid, Icy, yang sudah dikutuk menjadi tim dokumentasi. Kang Dudy yang telah dengan sangat jagoan mampu mengambil momen dan ekspresi wajah-wajah anak-anak, ekspresi yang sebenarnya dari fasil dan nyawa dari kegiatan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata. Ada ribuan kata dan emosi yang terpatri dalam gambarmu! Kang Aset, Kak Ocid, Icy, terima kasih syutingannya…sebuah dokumentasi audio visual yang sangat berharga.<br />22. Kang Dewa, yang telah sangat berjasa dalam urusan data informasi, perbaikan instalasi listrik sampai perawatan komputer!<br />23. Kak Ocid dan Lola, yang sudah membuat urusan sekretariat menjadi lancar, lengkap, dan terorganisir. Lola, terima kasih sudah membuat file lengkap. Juga sudah dengan sabar menerima teror tanda tangan rokok selama flying camp.<br />24. Wa Kacus, terima kasih untuk foto-foto dadakan dan support kepitingnya.<br />25. Para koordinator camp pengungsi di Madasari, Legok Jawa, Cidadap, Legodor, Karang Jaladri, Batu Karas, Pangandaran, yang telah mempermudah kegiatan kami.<br />26. Aci, Rafi, Ade, Nanin, Citra, Atre, Amalia Septianingsih, Dharmestya, Angka, Nindi, Anindita Puspajati, Amel, Is, Arieska Kurniawaty, Arif Aprizal, Arifah Sakti N, Asep, Asep Wahyudin, Bunga, Chicha, Christanty, Dian Prastiti Utami, Edi Sunardi, Fifi, Galih Putri, Hajat, Heggy Kearens, Ina Maulinda, Lola, Liesta, M. Hidayat, Meity, Moch. Ariyo F.Z., Nimitta Kusumastuti, Nursanti Budianto, Nurul Hidayah, Rara Ayuningtyas Pramudita, Sofyan Suri, Syarif, Teuku Andhika Mulya, Triyana Sulistari, Triyaniarrinita, Vicky, Yopie Pieters, Angga, Ozi, Eby, Mul, Zainal, Atek, teteh Devi, Dea, yang sudah menjadi fasil yang baik. Sangat baik. Cinta kasih kepada adik-adik kecil itu dapat membuat mereka menjadi lebih ceria dan gembira. Mereka sudah kembali ke lauuut! Semangaat yaaa! Kalian memang paling hebat. Tanpa kalian program ini tidak mungkin terlaksana! (fasil-fasil tercinta….sudah tersebut semua belum siy Ken? Aduuh, maaf apabila ada yang terlewat ya? Mohon segera lapor ke sekret!)<br />27. Bapak RT 2 Cidadap yang sudah merelakan rumahnya untuk kami tempati. Walaupun kaca pecah, angin berhembus kencang, di dalam rumah, kami merasa hangat. Belakangan setelah kembali ke Jakarta, kami baru diberitahu tim teknis Wanadri bahwa rumah yang kami tempati pernah menjadi rumah penampungan mayat sementara ketika masa SAR. Hebat, kami aman bersama Wanadri! Body system ternyata ampuh…!<br />28. Emak, terima kasih sudah membantu menyediakan sarapan, makan siang, makan malam para relawan yang ganas-ganas ini.<br />29. Kawan-kawan IKPD FIB UI dan maba program Diploma FIB UI, yang telah mengumpulkan buku tulis dan peralatan sekolah untuk adik-adik di Pangandaran-Cimerak. Terima kasih sudah menulis surat cinta untuk mereka, surat dari kawan-kawan membuat mereka senang. Semoga adik-adik kecil kita akan termotivasi untuk belajar giat dan menyusul kalian masuk Universitas Indonesia. Anak pantai dengan kulit hitam dan rambut pirang di sana sangat cerdas. Mereka pasti bisa!<br />30. BEM, yang telah datang bersama ke posko gabungan sekaligus droping logistik dan membantu program anak pada saat awal program. Maaf apbila pelayanan kami dinilai kurang memuaskan. Mohon maaf telah bersitegang dengan kawan dari BEM karena mungkin program kami dianggap kurang tepat guna. Karena hanya menangani anak saja. Tidak senergi dengan penanganan trauma pada orang dewasa. Maaf, kemampuan kami hanya sebatas mengajak anak kecil bermain.<br />31. Mohon maaf kepada Ketua Senat FKUI sempat meminta agar relawan FK tinggal di posko membantu operasi medis, kami khilaf karena relawan dari FK ada di bawah tanggung jawab Anda, sehingga kami tidak bisa sembarangan menahan relawan yang juga ingin tinggal. Kami sadar betul, Anda yang bisa menilai kompetensi relawan FK. Kami yang ada di lapangan tidak bisa.<br />32. Senat Mahasiswa FIB UI, yang telah dengan “sigap cepat tanggap” merespon kegiatan kami. Sumbangan mahasiswa baru berupa logistik keperluan wanita dan alat sekolah anak yang dikoordinir oleh SM FIB sangat membantu korban yang ada di pengungsian.<br />33. Terima kasih juga kami haturkan kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebut satu persatu. Mohon maaf apabila ada khilaf kami selama pelaksanaan program.neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-82412650665016178022008-11-28T21:42:00.000-08:002008-11-28T21:43:08.087-08:00Giloooooooooo: catatan seorang agi yang ngikutan bikin laporan trikenya wanadri-menegporaPergaulan gw dengan Wanadri memang belum lama. yaaaa...dimulai sejak gw sama Kani ke Pangandaran waktu tsunami dulu tea. yaa..banyak ceritanya. sampai kemudian tgl 7 juli 2008 gw ikut menyelesaikan penulisan beberapa feature ttg perjalanan trike mereka. Mufti, adikku tersayang, pun ikut dalam penulisan feature. kami menulis sesuai dengan pembagian daerah yang disepakati<br />gw ga menyelesaikan kewajiban gw menulis sampai selesa...karena pada tanggal 7 itu banyak kejadian yang merubah jalur hidup gw. salah satunya dengan meninggalnya Ka Didi, kakakku yang sabar membimbing aku memahami budaya Sunda. saat dia mengajak gw ke baduy minggu2 sebelum tgl 7 Juli, gw menolak karena gw membantu pembuatan laporan trike...sedihnya tak terkirakan...sesalnya tak tergantikan...pun banyak hal yang membuatku tertekan...<br />sediiih sekali...<br />sampai suatu ketika gw memutuskan untuk memuat artikel yang gw tulis. Yemo wakulu memang menyebalkan...(gw nyesel ngasi nomer telpon temen gw yang dia kejar2, eee..pas udah mau tu temen gw, ternyata yemo nikah sama perempuan lain? ga sangka...tapi yemo hebat deh, bisa menyembunyikan calon istrinya dari temen gw itu. yaaa...yemo pasti punya alasan atas perbuatannya, tapi bagi gw...udah Y CORET!! hahaa) tapi gw tetap memliki hak atas tulisan gw kan? hak cipta tetap punya gw kaaan?<br />tulisan ini gw upload karena gw menghormati Wanadri...tapi gw cukup kecewa dengan beberapa person saja. terutama yang sok campur urusan gw, bahkan ada yang mulutnya lebih parah dari wanita penggosip...hahaha....tapi gw sadar, semua orang berhak dengan sikapnya.<br />tekanan yang gw rasakan beberapa lamanya...terobati dengan hadiah kecil dari Ibu Hermin tersayang. beliau yang paling tahu kegundahanku dan penderitaanku, dan berangkatlah gw ke taiwan untuk beberapa waktu....<br />guys....<br />gw hanya ingin berbagi pengalaman gw yang unik ini<br />terima kasih untuk yemo wakulu<br />terimakasih untuk Abah Iwan yang khusus menyanyikan Randu untukku<br />terimakasih untuk uwa Usol yang sudah merelakan groudcrew-nya ditulis dengan acak-acakan<br />terimakasih semua<br /><br />salam,<br />agni malagina<br /><br />tulisan ini untuk sahabat2ku: kani, lola, prima, mamir, kak o, risna, riri, kang mumu, pak agus, ibu hermin, teh novi<br />juga untuk orang yang kusayangi sekali, yang sudah sabar dan berjuang untukku...maaf Kang...: Kang Klotok W 730 ERAneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-83455400819945521752008-11-28T21:41:00.002-08:002008-11-28T21:42:26.511-08:00Ekspedisi trike Wanadri Menegpora 2008: BabarSaumlaki, Babar: Dia yang Hanya Melintas Saja<br /> agni malagina<br /><br /><br />Sender: +6281383806xxx<br />20 Mei 2008, 20:33<br />Di sini lampu mati bergiliran, spt kota mati, orgnya tdk bisa bergaul, ada hiburan sangat mahal, skrg lagi hujan badai, gw sendirian lg ditemani lilin kecil<br /><br /><br />Dibalas,<br />hahaha loe puitis melankolis gitu. Ya udah mau gak mau kan harus dilalui juga. Hiburan mahal? Hiburan apaan tu?<br /> <br />Sender: +6281383806xxx<br />20 Mei 2008, 20:54<br />Bir aja 40 rb/botol, , itupun cuma 1 tempat, wah sudah ga mungkin! gw cuma sdkt boring aja, tp gw siap melewatinya, KOMANDO!<br /><br />dibalas<br />Siap...naa itu baru Wanadri, ok lanjut, KOMANDO...!!!! baru ini yang bisa kita berikan untuk bangsa. Slmat bertugas<br /><br />Itulah gambaran haru perasaan seorang groundcrew menghabiskan malam – malam di Saumlaki. Dengan fasilitas genset satu hari genset menyala, satu hari mati, yang hidup pun hanya pada setengah malam saja. Kejenuhan dalam bertugas tak terelakkan. Pesan-pesan pendek itupun dikirim untuk staf puskodal di Jakarta.<br />Perjalanan Andreas Ariano dan Erwin Gumay berlanjut setelah meninggalkan Anset di Kisar. Dengan menumpang kapal Abadi Permai, mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Babar dan menurunkan 2 jerigen. Di pulau Babar kapal hanya berhenti untuk lego jangkar sekitar 1 – 2 jam sehingga mereka hanya memerlukan waktu singkat untuk menurunkan jerigen dan berkoordinasi dengan Pemda setempat. Segera mereka melanjutkan perjalanan ke Saumlaki untuk menurunkan 4 jerigen BBM dalam waktu berlayar selama 2 hari. Kali ini mereka menginap satu malam. Keesokan harinya Erwin harus melanjutkan perjalanannya ke Tual, Andreas tetap tinggal di Saumlaki untuk meneruskan perjalanan dorlog BBM menuju Pulau Babar.<br />Setelah berpisah dengan Erwin, Andreas mengontak Camat Babar (Ari Kilikili) yg sedang berada di Saumlaki untuk menginap, namun ada saat itu tidak memungkinkan. Diputuskan untuk menginap di penginapan. Mengingat kondisi keuangan yang tidak berlebih, maka muncul inisiatif mencari rumah yang kamarnya dapat disewakan untuk satu bulan. Koordinasi kembali dilakukan dengan Pak Camat untuk mengetahui jadwal kapal Abadi Permai untuk perjalanan menuju Pulau Babar.<br />Tanggal 23 Mei 2008 berangkat dari Saumlaki menuju Babar. Perjalanan menyita waktu selama 2 hari. Sebelum masuk Tepa (Pelabuhan Babar), kapal terlebih dulu masuk Kroing di Kecamatan Babar Timur. ”Pada saat itu ada 4 camat dengan keluarga-keluarganya. Camat Babar Timur, Pulau-Pulau Babar, Moa, dan Donahera. Kita berada dalam satu kapal, karena saya tamu kehormatan, di kapalpun KALWEDO. Di kantin hanya tersedia Red label, bukan sophie. Saya minum supaya nyenyak tidur karena gelombang lumayan tinggi. Setelah minum malah tambah goyang. Kacau. Minum bersama 4 camat dan Mualim 1. Si gondrong juga ikut,” ujar Andreas tak kuasa menolak tradisi Kalwedo dengan Red Label.<br />Andreas tiba di Kroing keesokan siang harinya. Kapal tidak bisa berlabuh karena ombak tinggi. Cukup lama kapal tertahan di perairan Kroing, para camat pun turun. Alasannya baru diketahui keesokan harinya bahwa dari Kroing ke Tepa ternyata bisa melalui jalur darat. Dari Kroing menuju Tepa harus melewati Pulau Sermata kemudian kembali ke Babar. Jalur ini pun berombak tinggi. Gelombang datang dari kanan kiri muka belakang. Posisi kapal pun oleng selalu. ”Kondisi kapal memprihatikan. Semua goyang dan semua bau. Akhirnya muntah juga!” kata Andreas yang mengaku hanya sekali mabuk laut.<br />Andreas akhirnya sampai di Tepa dan tinggal selama 3 minggu. Saat melakukan survey lokasi rencana pendaratan di Letwurung di Kecamatan Babar Timur, banyak didapati sungai-sungai, baik besar maupun kecil. Perjalanan ditemuh dalam waktu 5 jam. Apabila ada fasilitas jembatan perjalanan dapat ditempuh dengan 2 jam. Jalur Tepa - Letwurung sebenarnya mudah dilalui bila proyek pembangunan jembatan cepat dikerjakan sampai tuntas. Pada kenyataannya di lapangan banyak proyek yang terbengkalai. Entah karena kekurangan dana atau dana dilarikan oleh kontraktor nakal.<br />Perjalanan menggunakan motor pun wajib masuk ke dalam sungai. Sungai Air Besar merupakan salah satu sungai yang paling sulit diseberangi. Dengan lebar sampai 20 meter dan kedalaman hampir mencapai ½ meter, motor yang melalui sungai itu bisa saja terbawa arus sungai yang cukup deras bila tidak berhati-hati dan penuh perhitungan. Di antara pulau-pulau di MTB (Maluku Tenggara Barat ). Babar merupakan pulau tersubur dengan area pegunungan dan hutan yang cukup besar. Pulau Babar merupakan pulau yang paling banyak sumber mata air nya dibandingkan pulau-pulau lain di kawasan MTB dikarenakan Pulau Babar adalah daerah pegunungan yang sangat banyak hutannya. Tanahnya subur sehingga daerah ini banyak menghasilkan rempah-rempah seperti: pala, lada, kopra, kayu putih, dan lain-lain. Hewannya pun beragam seperti sapi, kambing, babi, baik yang dipelihara maupun liar di dalam hutan. Untuk hasil lautnya terdapat seperti ikan laut, teripang, dan ikan hiu.<br />Survey panjang di Letwurung (Babar Timur) selesai. Persiapan sudah dilakukan, penyambutan sudah direncanakan dengan baik. Antusiasme warga menyambut pesawat pun tampak dari persiapan yang dilakukan, memotong ayam, memasak daging dan lain-lain. Dalam rencana operasi, Pulau Babar merupakan RTB (Return to Base). Artinya, pada tanggal 7 Juni 2008, Pulau Babar akan disinggahi bila terjadi sesuatu masalah pada pesawat atau cuaca buruk. Dan pada hari H, PKS 205 tidak mendarat di Babar. Informasi RTB ini sudah diinformasikan sebelumnya kepada Camat dan semua kepala desa sehingga mereka mengerti ketika pesawat tidak mendarat di Babar, berbeda dengan warga yang belum mendapatkan informasi tersebut sehingga mereka sedikit kecewa. Namun apa daya, ketika Puskodal memberi kabar bahwa pesawat sudah aman melewati Babar menuju Saumlaki, warga pun bersama-sama membuat keriaan.<br />Persiapan keluar Babar sendiri menjadi cerita seru. Pada saat memutuskan pulang, kondisi di lapangan sudah lewat 1 kapal. Menurut informasi, baru minggu depan ada kapal datang dari Kupang. Andreas menambahkan, “Jadi saya menunnggu kapal lagi. Bisa menunggu kapal yang geser ke Kupang atau ke Ambon. Namun lebih aman dari Babar ke Ambon, 3 hari, naik kapal cepat. Kalo ke Kupang 5 hari. Sementara ke Surabaya 9 hari. Bisa berlumut di jalan itu.” Sambil menunggu kapal datang, Andreas banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan kreatif yaitu memancing dan berburu. Sejarah Babar juga berhasil menarik perhatian pemuda ini. Di antaranya adalah kisah pembunuhan massal di Babar yang terjadi pada jaman jepang di sekitar daerah Emplawas, tepatnya 500 m dari Emplawas. Sejarah pembantaian tersebut diteliti dan dituangkan dalam skripsi yang ditulis oleh istri camat Babar. Kisahnya, saat itu ada tentara Jepang yang menggoda warga di sebuah warung. Karena warga marah, salah seorang tentara dibunuh dan yang lain berhasil kabur untuk kemudian kembali ke desa itu dengan membawa tentara yang lebih banyak. Semua masyarakat dikumpulkan di sepanjang garis pantai. Tiada yang tersisa di rumah. Warga barbaris dan ditembaki. Mati. Tak bersisa. Beberapa tahun kota itu sempat menjadi kota mati. Sampai saat ini kenangan tersebut diabadikan dalam sebuah monumen.<br />Setelah menunggu selama satu minggu, Andreas pun berhasil keluar dari Babar pada tanggal 15 Mei 2008 menuju Saumlaki dan bergerak ke Ambon. Pulang ke Jakarta adalah tujuan akhir perjalanannya sembari membawa sebundel catatan harian dari Babar.<br /> Sekelumit perjalanan Andreas dalam 45 hari mungkin hanya dapat disajikan dalam beberapa paragraf saja. Kekuatan, keuletan, kesabaran, dan ketabahan para groundcrew di lapangan tentu bervariasi. Intinya mereka semua memberikan yang terbaik pada Ekspedisi Trike ini. Semangat kebersamaan, nasionalisme dan kebangsaan yang digaungkan oleh seorang Kang Ujang dari Sabang sampai Merauke pun dapat dimaknai oleh banyak masyarakat Indonesia di sepanjang jalur pendaratannya.neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-14420259764423820692008-11-28T21:41:00.001-08:002008-11-28T21:41:37.385-08:00Ekspedisi Trike Wanadri menegpora 2008: Dobo 2Catatan dari Dobo: Survey Cakar Bongkar sampai Cenderawasih Dobo<br /> agni malagina<br /><br />Kami sama-sama punya kenangan dengan Ibu Darto. Tiket transportasi tempat pun diurus oleh keluarga Darto. Ada juga proses ”oranyenisasi Dobo tampak dari munculnya kacang wanadri sampai mobil pun dinamai mobil wanadri, bahkan adapula kapal terbang wanadri” (ada pesawat di Bandara dobo, tidak ada baling-balingnya).<br />Johnny Edward (WK 092)<br /><br /><br /><br />Masih ingat kisah perjalanan saudaraku Erwin Gumay ketika menunaikan tugas dorlog BBM-nya sampai ke Dobo? Ketika serah terima BBM dengan Pak Darto Kepala Bandara Dobo sudah terlaksana, maka jalur BBM untuk Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora RI pun positif dalam keadaan GREEN LIGHT pada tanggal 23 Mei 2008. BBM Dobo sedianya akan diugunakan oleh Kang Ujang pada tanggal 14 Juni 2008 untuk terbang menuju Timika.<br />Tim groundcrew Dobo yang terdiri dari Aries Muzaqier (W 694 TL), Iwan ’Karawang’ Nirwana (W 660 TL), dan Jhonny (WK 092) semula direncanakan masuk Dobo pada tanggal 7 Juni 2008 Namun mereka baru dapat tiba di Dobo pada tanggal 10 Juni 2008 karena perjalanan Tual – Dobo terhalang kendala teknis transportasi, ada kapal tetapi tidak ada bahan bakar!!! Belum lagi harus terhalang cuaca yang semena-mena sering berganti rupa. Kadang terang, tiba-tiba hujan. Kadang hujan, tiba-tiba badai. PKS 205 sendiri direncanakan tiba di Dobo pada tanggal 10 Juni 2008 namun karena cuaca buruk di beberapa tempat penerbangan pun tertunda. Akan tetapi, kondisi ini ternyata bisa dibilang ”menguntungkan”. Karena apabila PKS 205 menepati jadwal, maka Kang Ujang bisa lebih dulu masuk Dobo sebelum groundcrew merapat ke Dobo.<br />”Kalau tidak ada yang ’mengatur’, bisa kejadian.! Lu mau disambut Kang Ujang?! Bisa ditempiling itu! Saha maneh!” celetuk Ketua Ekspedisi sambil tergelak ketika mendengar kisah para groundcrew Dobo yang sulit masuk – keluar Dobo.<br />”Kita di Tual 4 malam, lho. Cuaca buruk. Kita mondar – mandir pelabuhan. Nongkrong di pelabuhan. Kalau cuaca bagus baru berangkat. Kita bisa berangkat kapan saja. Kita sudah siap, sudah packing, tapi syahbandar tidak mengijinkan berangkat,” ujar Aries menyambung kisah Karawang. Karawang menambahkan bahwa selama mempersiapkan kedatangan PKS 205, koordinasi dengan banyak pihak berjalan lancar. Sambutan masyarakat Dobo juga sangat menggembirakan.<br />Tanggal 13 Juni 2008, Kang Ujang tiba di Dobo pukul 08.45 WIT. Penyambutan pun berlangsung meriah. Hingar bingar kegembiraan para pemuda – pemudi Dobo mengawali rangkaian kegiatan Kang Ujang di Dobo. Anak – anak sekolah dasar pun tampak gembira menyambut Kang Ujang dengan pesawat mininya. Setelah upacara penyambutan, diadakan dialog antara masyarakat Dobo dengan sang pilot. Para pemuda terlihat sangat antusias. Bahkan banyak komentar-komentar untuk pemerintah. Namun sekali lagi Kang Ujang mengatakan “JANGAN TANYAKAN APA YANG BISA NEGARA BERIKAN UNTUK KITA, TAPI TANYAKAN APA YANG BISA KITA BERIKAN UNTUK NEGARA!” Kalimat ini membuat banyak pihak terharu. Salah satunya adalah Kepala Diknas Dobo yang kemudian berinisiatif ingin membuat kegiatan yang bisa membangkitkan rasa nsionalisme pemuda–pemudi Dobo. Menurut beliau, kegiatan macam trike ini sangat positif untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Bahkan pertukaran pelajar yang sekarang menjadi program tahunan di Dobo dianggap tidak efektif untuk membangkitkan nasionalisme.<br />Dobo merupakan titik pendaratan yang dianggap cukup menegangkan, karena jalur Dobo–Timika adalah jalur penyeberangan bandara to bandara yang terpanjang. Terpanjang melewati permukaan laut, sekitar 316 km. Diceritakan pula bahwa Kang Ujang tampak tegang sebelum terbang meninggalkan Dobo.<br />”Ngomel-ngomel terus, euy, si Babeh mah!”, ujar Karawang ketika ditanya bagaimana keadaan Kang Ujang.<br />”Beh, pocari tambahan nya (Beh, pocari ditambah ya),” lanjutnya.<br />”Teu kudu, di pesawat loba! (tidak usah, di pesawat banyak!), jawab Kang Ujang.<br />”Eeh, aripek teh’ Isuk – isuk pas rek terbang mah, eweeuh..!(pagi–pagi pas akan terbang tidak ada!),”ujar Aries menambahkan. Maka semuapun menjadi tegang. Kemudian Kang Ujang meminta air mineral untuk dibawa terbang. Semua pun bertambah panik. Dengan sigap Karawang berlari menuju rumah, mengambil sekenanya botol air mineral sisa minum Kang Ujang semalam, dan diisi kembali dengan air mineral baru. Tanpa angkat bicara lagi, Karawang menatap ketika sang botol air mineral itu dibawa terbang menuju Timika. Kang Ujang sempat dalam keadaan stress ketika melihat keadaan berkabut. Akan tetapi semua bersyukur kabut sedikit demi sedikit mulai buyar.<br />Setelah Kang Ujang lepas landas pukul 06.15 wit, para groundcrew bersama Pak Darto berkumpul di ruang radio.<br />“Kita memantau terus. Pak Darto sudah berkomunikasi dengan radio pantai. Berhubungan juga dengan nelayan - nelayan di sekitar jalur pantai Dobo-Timika. Ketika pesawat masuk area Timika, Dobo terus memantau, begitu PKS 205 mendarat semua yang di Dobo tenang. Pak darto sangat membantu penerbangan Dobo–Timika. Sampai 69 mil pun masih tetap berusaha mengontak” ujar Aries.<br />”Malam harinya kita langsung ke pantai, bakar ikan. Mengikuti adat Dobo dalam menjamu tamu. Sekaligus ber-kalwedo-ria!” sambung Karawang.<br />”Pada dasarnya kita menghormati Pak Darto dan tardisi masyarakat setempat kan ya,” lanjut Johnny kalem.<br />Salah satu pengalaman para groundcrew yang lucu adalah ketika Mbak Ana Kodal (staff Puskodal) menanyakan keberadaan mereka sekaligus mengontak groundcrew untuk morning call, begini ceritanya,<br />”Pak Iwan, sudah bangun? Apakah sudah di Bandara?” tanya Ana dari ujung telepon di Jakarta.<br />”Aman, Mbak Ana. Kita sudah di Bandara! Kadang sebelum Mba Ana menelpon kita, saya sudah memberikan konfirmasi terlebih dahulu. Dan sebenarnya kita tinggal di dalam bandara! Jadi kalo kodal telpon bertanya apakah kita sudah dibandara apa belum, ya kita jawab kita sudah di bandara. Padahal mah lagi ngopi-ngopi’ Ya orang rumahnya Pak Darto ada di dalam bandara!”ujar Karawang sambil tertawa.<br /> Kedekatan trio groundcrew dengan keluarga Darto menjadi catatan tersendiri bagi Erwin Gumay ketika bertugas dorlog BBM, begitu juga dengan tim groundcrew Dobo. Sesungguhnyalah isu kacang Wanadrilah yang mempersatukan mereka.<br />”Kami sama – sama punya kenangan dengan Ibu Darto. Tiket transportasi tempat pun diurus oleh keluarga Darto. Ada juga proses ”oranyenisasi Dobo”, dari kacang wanadri sampai mobil pun dinamai mobil Wanadri, ada kapal terbang Wanadri (ada pesawat di Bandara Dobo, tidak ada baling-balingnya),” ujar Johnny Edward mengenang keluarga Darto. Bahkan mereka berhasil mengangkat rahasia cara Ibu Darto memasak kacang Wanadri setelah Erwin gagal mendapat resep tersebut.<br />”Kacang dimasak biasa kok, dibumbui sedikit, dan dimakan Erwin. Jadilah kacang Wanadri! Entah mungkin Ibu Darto akan segera mematenkan merek dagang ini!” ujar Karawang diiringi derai tawa panjang.<br />”Sebenarnya kacang Wanadri khusus persembahan untuk Erwin, kata Bu Darto,” jelas Karawang, ”dan mendengar ini kami sangat terharu.”<br /> Setelah berita PKS 205 mendarat di Timika, tim Dobo sudah dapat bersantai, lepas tugas dan siap untuk kembali ke Jakarta. Namun mereka harus keluar Dobo menuju Tual terlebih dahulu. Menunggu keberangkatan ke Tual pun menjadi cerita unik bagi para groundcrew ini. Dikarenakan masalah cuaca yang tidak bersahabat, yakni ombak tinggi antara Tual–Dobo, kapal perintis dari Tual belum dapat merapat ke Dobo. Alhasil, tim Dobo pun terkunci di Dobo. Namun bukan Wanadri jika mereka tidak berhasil mencari kebahagian hidup di Dobo dengan teknik ’survival’-nya.<br />”Kita jalan-jalan mengelilingi Dobo!,”jelas Edward bersemangat.<br />”Pantainya menarik, sangat indah. Banyak nelayan. Kita ketemu teteh Tasik yang menjadi pengusaha perikanan di Dobo,” lanjut Aries.<br />”Kita dijamu 20 buah lobster oleh Teteh Tasik. Potensi daerah Dobo yang terkuat adalah seafood. Banyak yang dikirim ke Jakarta, Singapur, Hongkong. Ada 1 orang sampai punya 20 kapal, namun tetap hidup sederhana. Hebat sekali Dobo ini!,”sambung Karawang. Tak kalah menariknya, Dobo memiliki sejumlah bahasa daerah yang mulai tidak digunakan oleh penduduknya.<br />”Ada 12 bahasa daerah. ada linguis dari Amerika yang datang meneliti bahasa di Kepulauan Aru. Sampai anak-anaknya bisa berbahasa daerah itu lho. Hebat, ya?. Sedangkan orang Aru-nya sudah meninggalkan. Orang Dobo juga sudah tidak bisa,” ujar Karawang. Mereka semua mengaku sudah menjelajahi sudut wisata Dobo. Namun sayang, semua objek wisata tersebut kurang dikelola dengan baik. Padahal Dobo yang merupakan ibu kota kepulauan Aru ini memiliki keistimewaan tersendiri. Kabupaten kepulauan terbesar di dunia. 58 pulau. Dan 8 pulau garis depan Indonesia dimiliki oleh Dobo. Cenderawasih pun merupakan salah satu spesies burung cantik yang berasal dari Dobo.<br />“Ada dongeng tentang Cenderawasih,” kata Karawang,”asalnya dari Dobo. Ketika Cendrawasih terbang ke Irian, si Cenderawasih teh kecemplung di laut, bulunya jadi redup. Makanya Cenderawasih di Dobo masih cerah, tapi di Irian, cenderawasih sudah berbulu buram.”<br />“Pokoknya di Dobo indah banget. Kita juga dioleh-olehi mutiara Dobo. Wah, sempat snorkling juga lho!” lanjut Johnny sekaligus diiyakan oleh Aries.<br />Tiba – tiba ada celetukan dari salah seorang anggota tim dorlog BBM timur, “Wah...wah...Dobo itu kan memang pusatnya hiburan untuk Maluku Tenggara Barat. Makanya mereka (tim Dobo) pura – pura ketinggalan kapal tuh.!,”ujar Andreas, sesaat suasana hening, semua mata pun tertuju kepada tim Dobo. Dan tawa pun segera memecahkan keheningan sejenak itu.<br />“Di sana juga ada pasar ‘cimol’ kaya di Bandung lho,”kata Aries,” tuh Karawang survey cakar bongkar! Di sana dia dapat 2 loreng!”<br />“Buat seragam PDW (Pendidikan Dasar Wanadri), Beh!,”sambung Karawang.<br />Mereka ‘terdampar’ di Dobo sejak tanggal 9 – 19 Juni 2008, dan pada tanggal 19 Juni mereka meninggalkan Dobo dengan dilepas isak tangis haru Ibu Darto. Mereka berangkat menuju Tual menggunakan kapal perintis. Aries mengatakan bahwa selama perjalanan menggunakan kapal perintis dari Dobo ke Tual juga merupakan perjuangan tersendiri. Belum lagi karena kendala cuaca.<br />“Pake kapal barang. Tiga hari digoyang, di kapal Gelap,” ujar Aries<br />“Sare meureun poek mah! (gelap karena tidur tuh)” Karawang menyela.<br />”Kita sampai di sana sebenarnya tidak pas waktunya. Sedang masuk angin timur. Di kapal kepanasan. Menunggu kapal lama. Bisa menanti kapal dari pagi sampai sore. Kapal belum merapat pun para penumpang sudah berloncatan,” kata Aries.<br />“Sagala aya (semua ada) di perahu. Kambing sampai kulkas butut juga ada. Belum lagi wc-nya ampuun,” sambung Karawang,” Tapi syukurlah mereka tiba di Tual dengan selamat. Tanggal 23 Juni 2008 mereka kembali ke Jakarta dengan membawa kenangan Tual-Dobo dalam hati mereka. Pasukan siap tempur ini memberi catatan khusus atas tawaran dari pihak Dispora Dobo yang menginginkan kerja sama dalam rangka pembinaan wawasan kebangsaan pemuda Dobo. Semoga cita – cita mulia ini segera terlaksana....!!neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-52871285568985298612008-11-28T21:39:00.000-08:002008-11-28T21:40:48.486-08:00Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora 2008: Tual DoboTual, Dobo, dan Kacang Wanadri<br /> agni malagina<br /><br />“Saya namakan kacang ini, kacang Wanadri!”<br />(Bapak Sudarto, Kabandara Dobo)<br /><br />Erwin Gumay melanjutkan perjalannannya seorang diri setelah meninggalkan Anthony ”Anset” Setiawan di Kisar dan berpisah dengan Andreas Ariano di Saumlaki. Perpisahan dan kesendirian memaksanya untuk terus berjalan menuju titik terakhir dorlog BBM wilayah timur yang harus ia selesaikan, Tual dan Dobo. Sempat timbul keraguan dalam hatinya ketika dalam perjalanan kapalnya melewati ombak tinggi di perairan Aru. Ingin rasanya singgah agak lama di Saumlaki untuk melepas penat, “Tetapi tugas dari puskodal mengamanatkan untuk segera bergerak ke Tual, tetapi kapal tertahan sampai sore, tetapi akhirnya jadi juga berangkat menuju Tual. Malam hari kapal digoyang oleh gelombang ombak, tapi syukurnya sampai juga di Tual, lalu dilanjutkan ke Dobo.”<br />Tanggal 22 Mei 2008 Erwin tiba di Tual dan segera menuju bandara Dumatubun Tual untuk melakukan serah terima BBM. Erwin kemudian melanjutkan perjalanan menuju Dobo pada tanggal 23 Mei 2008 sekaligus menemui kepala Bandara Dobo – Pak Darto – untuk menyerahkan BBM. Tuntas sudah tugas serah terima BBM. Erwin mendeklarasikan bahwa jalur BBM Larantuka – Dobo dalam posisi GREEN LIGHT! Sempat tinggal di Dobo bersama keluarga Darto, menikmati seafood, jalan-jalan, dan mencicipi kacang buatan Ibu Darto yang belakangan tersohor dengan nama KACANG WANADRI. Erwin pada saat itu diminta merapat ke Saumlaki. Namun kapal Abadi Permai sudah lewat. Sehingga tidak bisa menyusul ke Saumlaki. Setelah 3 hari di Dobo, hari ketiga Erwin setengah memaksa ke Pak Darto untuk pulang. Karena Erwin belum mengadakan koordinasi dengan pihak terkait di Tual. Erwin mengatakan bahwa jika ia tidak keluar pada hari itu, tidak mungkin ada kesempatan keluar dalam waktu dekat. Pada saat itu ada kapal Maruka Ehe, dari Merauke menuju Ambon dan melewati Tual. Erwin memutuskan untuk keluar Dobo bersama Maruka Ehe. Kabarnya, kapal tersebut merapat pukul 12.00 WIT. Ternyata kapal baru berangkat pukul 17.00 WIT menuju Tual. Pak Darto kembali lagi untuk menemani Erwin di Dermaga sampai Erwin berangkat. ”Karena hanya semalam, saya tidak menyewa kamar. Hanya di bangsal saja, di dek 2 dengan tempat tidur dari besi alas matras dalm kondisi berlubang-lubang,” kata Erwin dan melanjutkan, “WC pun tidak ada air, harumya seperti di Abadai Permai, waktu di Abadi Permai tidak mandi 7 hari. Tidak gosok gigi hanya kumur-kumur saja. Untung perjalanan Dobo Tual hanya sebentar!” Tak disangka muncul celetukan, “Wanadri!! Jangankan yang engga ada air, ada air juga pada engga mandi!” Kembali suasana penuh gelak tawa muncul mengingat peristiwa itu. Erwin bercerita bahwa malam itu kapal oleng air masuk. Setelah cukup panik membuang air, kapal tenang kembali. Kisah di dalam ruang kapal Maruka Ehe berlanjut, Erwin bertutur,”pintu kamar mandi yang terombang- ambing gerakan kapal itu membuka menutup. Terus-terusan,tak berhenti. Ada drum sampah besar di dalam kamar mandi. Menjelang malam suara pintu selalu gubrak-gubrak. Seseorang berusaha mengikat pintu dengan tali. Untuk 5 menit pertama aman, tapi kemudian talinya putus.” Akhirnya erwin memutuskan untuk mengikat pintu dengan webbing. Tidak ada orang yang masuk kamar mandi. Namun gangguan lagi terjadi. Drum sampah di dalam kamar mandi beguling-guling. Dengan singkat kata, di dalam kapal tersebut tidak ada ketenangan sedikitpun.<br />Sesampainya di Tual pada tanggal 27 Mei 2008, Erwin langsung bergerak menuju penginapan dan setelah itu berencana bertemu dengan Bupati Tual, tapi ternyata Bupatinya tidak ada karena sedang ke Jakarta untuk mengundurkan diri dalam rangka mencalonkan diri kembali. Di Tual akhirnya bertemu dengan jajaran militer setempat dan melakukan koordinasi dengan Danlanal yang sangat mendukung kegiatan ini. Koordinasi juga dilakukan dalam rangka penyediaan tim medis, acara penyambutan PKS 205, pembuatan base di Mess AU, pengambilan data cuaca, dan survey akomodasi untuk Kang Ujang.<br />11 Juni 2008, PKS 205 mendarat di Langgur/Dumatubun Tual dengan sambutan dari warga Tual, jajaran pemerintahan, Pramuka dan lain-lain. Tim yang bertugas di Tual pada saat itu adalah Erwin Gumay, Rudi Faisal (W 681 TL), dan Sura Sasmita Albushiri (AMW 2056 HR). Selesai acara diskusi dan ramah tamah, tim beristirahat. Kang Ujang juga menjalani pemeriksaan kesehatan oleh tim dokter AU. Tanggal 12 Juni 2008, PKS 205 direncanakan terbang menuju Timika. Namun niat tersebut urung karena hujan turun. Pada tanggal 13 Juni 2008 PKS 205 terbang menuju Dobo. Erwin mengungkapkan, ”Ada 2 ketakutan pada saat itu, keadaan di tengah laut dan ketakutan melepas Kang Ujang ke Dobo. Itu beban moral kalau terjadi apa-apa. Ketika tim Dobo mengatakan bahwa PKS sudah mendarat di Dobo, sangat melegakan. Kami bertiga di ATC sangat lega. Hal ini tentu dialami oleh semua tim, rasa aman ketika Kang Ujang mendarat di tempat berikut. Namun tim terdekat dengan pendaratan kang ujang belum begeser untuk menjaga pelbagai kemungkinan. Dengan kawan ngobrol, didatangi kang usol bukan senang, tapi kwatir.” Puskodal pun berkomentar,”semua groundcrew sadar, ketika Kang Ujang mendarat di titiknya, groundcrew akan dilihat dipantau oleh seluruh ’dunia’. Pada saat itu para groudcrew diamati secara batin, visual, dan komunikasi. Semua groundcrew dipantau. Jadi wajar semua groundcrew yang kedatangan PKS berharap ’jangan sampai apes’. Para groundcrew akan berbuat mendekati ideal. Oleh karena itulah tekanan semakin besar. Begitu masuk Timika baru Tual geser. Banyak hal yang dipikirkan groundcrew untuk sesempurna mungkin dalam ekspedisi ini. Dalam keadaan tertakan seperti itu wajar, groundcrew merasa takut. Banyak variabel yang dapat menentukan sikap groundcrew di lapangan.” Syukurlah Kang Ujang sudah sampai di Dobo. Semua lega. Tanggal 15 juni 2008, tim Tual mendapat berita bahwa PKS 205 selamat mendarat di Timika setelah melewati badai aru di atas perairan sepanjang perjalanan Dobo – Timika. Tanggal 16 Juni 2008, tim Tual meninggalkan Tual menuju Jakarta.neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-92077075736762758012008-11-28T21:38:00.000-08:002008-11-28T21:39:44.510-08:00Ekspedisi Trike Wanadri Menegpora 2008: TimikaTimika: Sky Has No Limit, There is No Room for Error! Zero Accident!<br /><br /> agni malagina<br /><br />Danlanud dan pejabat setempatnya pun merasa haru dengan kejadian ini. Kang Andryana berperan sebagai mata Kang Ujang saat Kang Ujang tidak mampu melihat dalam kepungan badai di atas perairan Arafuru.<br />(Sandy Taruni, groundcrew Timika)<br /><br /><br />Jika ditanya dari seluruh lintasan PKS 205 jalur manakah yang menegangkan? Tentu akan dijawab, semua jalur sudah pasti menegangkan.Akan tetapi hasil jejak pendapat menyebutkan bahwa Dobo – Timika merupakan jalur yang paling menegangkan. Hal ini sudah pasti dirasakan oleh groundcrew yang bertugas di Timika. Syarif Hidayat (WK), Fajar Nugroho (W 770 ARA), dan Sandy Taruni ‘Uni’ (Boogie) menceritakan pengalamannya, terlebih ketika hanya ada titik air mata haru saat Kang Ujang melakukan sujud syukur mencium pertiwi di Bandara Moses Kilangin, Timika – Papua.<br /><br /> Tugas mereka di Timika diawali dengan kedatangan trio ini pada tanggal 12 Juni 2008. Tim disambut Kang Andryana (WK) dan diperkenalkan kepada para staf Airfast tempat Kang Andryana bekerja sebagai salah satu pilot Airfast.Tim lalu diantar ke penginapan. Setelah check in dan melakukan rapat singkat pada pukul 10.00 WIT, para groundcrew sepakat bertemu dengan Bapak Bupati dan staf beserta Kapolres setempat untuk berkoordinasi. Pada tanggal 13 Juni 2008, groundcrew berkoordinasi dengan Danlanal dan Danlanud Timika sekaligus mendapat susunan acara untuk penyambutan PKS 205. Selesai koordinasi, groundcrew bertemu dengan tim official (Abah Ukok, Kang Yayoen, dan Rovina). Hari itu juga mereka menyelesaikan koodinasi dengan Muspida Timika. Secara garis besar, persiapan pendaratan PKS 205 dan penyambutannya sudah disiapkan dengan matang oleh Kang Andryana. Berkat koordinasi jauh hari sebelumnya, tugas groundcrew dari Jakarta menjadi ringan. “Bahkan bisa dibilang kita tidak melakukan apa-apa,” Syarif sempat mengungkapkan isi hatinya.<br /><br /> Tanggal 14 Juni 2008, kesibukan di bandara sudah terlihat sejak pagi. Koordinasi dengan groundcrew di Dobo juga terus terjadi sampai Kang Ujang berangkat dari Dobo pukul 06.15 WIT. Untuk masalah BMG, groundcrew Timika sulit untuk mendapat data yang akurat, namun masalah data BMG dapat ditangani oleh Andryana, sehingga groundcrew fokus untuk penyambutan dibantu oleh TNI AD, AU, AL, Pramuka, dan anak-anak sekolah. Suasana mencekam terjadi pada saat Kang Ujang sudah melewati waktu pendaratan di Timika, cuaca mendung dan PKS 205 kehilangan kontak dengan ATC di bandara. Sementara itu Syarif dan Fajar segera membuka akses di bandara untuk dapat kontak dengan Kang Ujang. Perjuangan tidak sia – sia, komunikasi dengan PKS 205 akhirnya terbuka pada 60 mil ke arah Kokonao. Namun pada 30 mil arah Kokonao berita buruk tersampaikan ke ruang komunikasi di atas tower bahwa Kang Ujang mendapatkan hambatan yang serius berupa hujan badai dan awan tebal. Kapten Pilot Andryana mengambil alih ruang ATC di atas tower dan memposisikan dirinya sebagai mata dari PKS 205 yang sudah tidak mampu melihat dalam kepungan badai di atas perairan Arafura. PKS 205 dipaksa untuk bisa sampai di Timika. Sementara groundcrew sempat tegang karena takut Kang Ujang mengalami kecelakaan. Pukul 09.18 WIT ratusan pasang mata menyaksikan suatu mukjizat dari akhir suatu penantian yang mendebarkan, tiba – tiba PKS 205 yang dipiloti oleh Kang Ujang muncul di atas landasan pacu. Semua tertegun termasuk para groundcrew beserta para official. PKS 205 sukses mendarat di bandara Moses Kilangin. Suasana haru biru mengiringi Kang Ujang turun dari dalam pesawatnya dan mereka saling berpelukan.<br /><br />”Tak seorang pun percaya kalau PKS 205 dapat melewati jalur dengan kondisi medan dan cuaca yang sangat buruk seperti yang baru dialaminya. Saat ini sudah dibuktikan oleh seorang Soleh Sudrajat yang notabene jam terbangnya masih sangat minim, perjalanan tersulit telah dilaluinya. Seorang pilot yang sudah mahirpun bahkan tidak akan memilih jalur ini!!!” ujar Fajar yang sempat menangis ketika melihat PKS 205 mendarat. Sebenarnya bisa saja Kang Ujang memutar balik menuju Dobo, tapi hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena sebelum mencapai Dobo lagi bahan bakar pasti sudah habis. Satu-satunya pilihan adalah maju terus dengan kekuatan yang ada, harus melewati badai, dan berjuang sampai Timika.<br /><br />Sesaat setelah mendarat, Kang Ujang terlihat pucat setelah mengalami g force (gravity force) – gaya tarik gravitasi yang dapat mengakibatkan kecelakaan terbang, tetapi beliau tetap tenang dan tak terlihat labil setelah kejadian badai yang menimpanya. Pesawat dapat mendarat selamat dengan berbagai kerusakan yang dialami oleh pesawat seperti baling-baling rusak akibat terkena kerikil es di dalam badai (dalam suhu di bawah nol), kabin mesin terisi air, dan kamera metro tv yang rusak. Selanjutnya pesawat segera diamankan di hangar. Pesawat dibersihkan dan mulai diperiksa kelengkapannya. Baling-baling yang ditemukan rusak segera didokumentasikan. Foto pun dikirim ke Puskodal Jakarta untuk dibawa ke Lido dan diperiksa oleh Mas Sutiono (mekanik PKS 205). Saat itu Mas Tio memutuskan bahwa PKS 205 tidak memiliki toleransi untuk terbang. Di udara, tidak diperbolehkan ada kesalahan!<br /><br /><br />Beratnya medan yang baru dilalui dapat terlihat dari propeller yang rusak cukup parah dan harus diganti demi keselamatan penerbangan. Groundcrew segera mengirim informasi ke Jakarta untuk memberangkatkan Mas Tio sebagai teknisi mekanik yang mendukung lancarnya Ekspedisi Trike ini serta membawa propeller baru yang dipinjamkan oleh Bapak Reni yang sedang berlatih trike di Lido. Selanjutnya Mas Tio datang dari Jakarta untuk mengurus kerusakan yang dialami oleh pesawat. Sesampainya di Timika pada tanggal 16 Juni 2008, Mas Tio terlebih dulu memeriksa propeller, ternyata memang tidak layak terbang. Propeller baru pun segera dipasang. Kang Ujang terlihat kurang puas ujar Mas Tio. Dan begitu propeller selesai dipasang, Kang Ujang langsung mengadakan uji terbang. Selanjutnya pesawat tak jadi berangkat menuju Merauke tepat pada waktunya karena alasan cuaca dan keamanan pesawat. Akhirnya pada tanggal 17 Juni 2008, pukul 09.40 WIT, PKS 205 terbang menuju Merauke dan singgah bermalam di Agats. Mas Tio menambahkan, penggantian propeller baru rupanya membawa efek pengurangan kecepatan. Propeller yang semula dapat mendorong pesawat sampai dengan 70 mil per jam. Dengan dipasangnya propeller yang daya dorong pesawat hanya menjadi sampai 48 mil per jam. Namun demikian, hal ini menyebabkan pesawat lebih irit bahan bakar. Syukurlah penerbangan Timika – Agats tidak ada masalah dengan teknis pesawat.<br /><br />Sky has no limit, there is no room for error!!! Dengan kata lain ZERO ACCIDENT!!neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-59668447969934325862008-11-28T21:37:00.000-08:002008-11-28T21:38:30.408-08:00Ekspedsi Trike Wanadri Menegpora 2008: AlorAlor: Penerbangan yang tertunda<br /><br /><br />agni malagina<br /><br /><br />Alor menjadi pilihan singgah PKS 205 sebelum pesawat mini ini memasuki Pulau Kisar. Dahsyat W 553 ER dan Anthonius Hutagalung W 861 HR menceritakan pengalaman tim groundcrew Alor menyambut PKS 205 medio 31 Mei - 8 Juni 2008.<br /><br />Dahsyat mengaku memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan ekspedisi ini. Ia mengatakan bahwa ada semangat kuat yang dimiliki oleh setiap anggota ekspedisi untuk menumbuhkan nilai-nilai kejuangan dan semangat kebangsaan. Ia manambahkan bahwa keberangkatannya bersama Anton tidak hanya membawa semangat Ekspedisi Trike saja. Misi eksplorasi wilayah menjadi salah satu akspek yang menarik dalam perjalannya. Apabila Anton mengaku lebih banyak menghabiskan hari-harinya untuk persiapan teknis pendaratan dan pemberangakatan pesawat Kang Ujang, maka Dahsyat mengatakan lebih banyak berkoordinasi dengan pelbagai pihak sekaligus mengamati bagaimana kondisi ekonomi sosial budaya masyarakat Alor.<br /><br /> Setibanya di Alor tanggal 31 Mei, mereka segera melapor kepada pihak terkait terutama dengan pihak Danlanud Eltari. ”Kita lapor pada pihak-pihak terkait di daerah tersebut. Sebenarnya ada rasa bingung apa yang harus kita hadapi di daerah baru tersebut. Kita menjelaskan misi kegiatan Trike juga termasuk menjelaskan misi tentang penggalangan dana untuk membangun rumah sakit. Saya pikir daerah-daerah perlu memanfaatkan kegiatan ini. Alor juga bisa mempromosikan daerah itu. Ternyata respon dari mereka pun positif,” ujar Dahsyat. Dahsyat mengaku senang berada di Alor, terlebih ketika melakukan koordinasi. Termasuk ketika berhubungan dengan nelayan di Alor. “Angkatan laut cuma punya 1 kapal di Alor. Sedangkan ada ratusan kapal nelayan yang selalu beroperasi. Kita minta ke syahbandar untuk membuka komunikasi dengan para nelayan, untuk meminta dukungan pantau. Semua kapal barang dan ikan memberikan respon positif. Pada saat itu dijelaskan kondisi pesawat yang akan datang dan meninggalkan Alor. Mereka siap untuk memantau perjalanan Trike dari laut Kekuatan yang Dahsyat,” ujar Dahsyat. Pada saat yang bersamaan, keberhasilan koordinasi komunikasi Mali – Kupang tidak dibarengi dengan kelancaran komunikasi Mali – Kisar. Saat itu hubungan dengan groundcrew atas nama Anthony”Anset”Setiawan W 793 ARA terputus.<br /><br /><br />Kendala komunikasi menjadi catatan penting pada titik pemberhentian kali ini. Tak ingin berpanjang sedih, Dahsyat dan Anton berusaha mengkondisikan lapangan. Koordinasi dengan BMG pun dilakukan jauh hari sebelum PKS on position di Alor. Segera setelah urusan teknis selesai, Dahsyat dan Anton melakukan koordinasi dengan Pemda untuk upacara penyambutan.<br />Pesawat Trike yang akan mendarat bisa mencuri perhatian pelbagai pihak. Dengan BBM yang tidak mahal, pesawat ini bisa digunakan untuk memantau wilayah daerah sekitar. Dukungan para warga, ojek nelayan dan kelompok – kelompok pemuda pun turut membantu. Mereka ingin terlibat mendukung kegiatan, termasuk menjaga pesawat. Bahkan ketika pesawat sudah mendarat di Alor pada tanggal 4 Juni 2008, lebih dari 1.000 orang berfoto bersama pesawat. Pada saat Kang Ujang beraudiensi pun antusiasme dari para pemuda daerah, dari siswa SMP, SMA, serta para pencinta alam sangat besar. Masalah nasionalisme dan kebangsaan pun menjadi pembicaraan hangat saat itu. Sambutan warga di sana sangat bagus. Kang Ujang bercerita kisahnya terbang dari sabang sampai titik dia mendarat. Semua orang terharu, seperti tersihir.<br />Rencana keberangkatan Kang Ujang dari Alor menuju Kisar terhambat karena kerusakan pada sistem pelacakan udara (aircraft tracking system).<br /><br />Akhirnya Anset pun contact tim Mali pada tanggal 5 Juni 2008 pukul 07:00 WITA. Sempat sehari sebelum terbang Kang Ujang dalam keadaan tegang karena sudah 2 hari tertahan di Alor. Mereka juga mengatakan sempat menghadapi situasi sulit menghadapi karakter Kang Ujang yang keras. ”Pernah Kang Ujang ingin berangkat ingin lebih awal. Pun harus dibilang ada jemputan dengan mobil Bupati, tapi Kang Ujang malah nekat naik motor. Terpaksa kita berkelit kepada Bupati dengan alasan Kang Ujang harus menangani pesawatnya sendiri,” kata Anton yang merasa bahwa pada waktu itu tidak bisa berbuat banyak. ”Terjadi kesalahan fatal,” ujar Dahsyat, ”saya lupa membantu petugas radio bandara. Kebetulan kita sudah dekat dengan warga. Dengan segera Bapak penjaga radio tersebut datang sangat awal. Akhirnya radiopun aman.” Alhamdulillah Kang Ujang bisa terbang pada tanggal 6 Juni 2008 menuju Pualu Kisar. Ketegangan sempat terjadi karena Kang Ujang dan pesawatnya sempat menghilang dari pantauan. Namun setelah mendapat kabar bahwa Kang Ujang sudah sampai di Kisar, semua tenang.<br /><br /><br />Dahsyat yang gemar jalan-jalan pun tak melewatkan kesempatan mengamati keadaan di Alor. ”Saya sempat mengunjungi pulau sekitar Alor. Bahkan ada warga Alor yang tidak tahu daerah tersebut Sangat indah. Tenun pun sangat indah. Seharusnya ada komunikasi dengan warga guna meningkatkan kesejahteraan dengan kegiatan perniagaan. Cengkeh, vanili, kemiri adalah produk yang dapat dijadikan primadona dari daerah ini!” ujar Dahsyat yang sempat menyebarkan ”paham” semangat menanam pohon pada warga.<br />”Alor memiliki potensi perikanan yang besar juga, perlu diperhatikan!” tambahnya.<br /><br /> Ekspedisi Trike lintas Sabang – Merauke agaknya membawa efek domino permasalahan kebangsaan. Cinta tanah air ......neng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7116241423879114450.post-91411709420218773022008-11-28T21:35:00.000-08:002008-11-28T21:37:00.668-08:00Ekspedisi Trike Wanadri menegpora 2008: Ewer AgatsEwer – Agats: Kisah Dewa Udara dari Tanah Jawa<br /> agni malagina<br /><br /><br />“Bapak, kita semua sudah menjaga landasan ini. Kalo ada apa-apa itu orang kami tombak! Kami ingin melihat Pirsimbit<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftn1" name="_ftnref1">*</a>”<br />(Pemimpin salah satu suku di Agats Asmat)<br /><br /><br />Setelah di Timika Kang Ujang mengalami perbaikan blade (baling-baling) dan propeler pesawatnya, titik persinggahan PKS 205 selanjutnya adalah Ewer – Agats. Kang Ujang berangkat dari Timika pukul 09.40 WIT, dikarenakan cuaca baru terbuka cerah saat itu. PKS 205 sampai di Ewer – Agats pada pukul 11.20 WIT dengan menggunakan bahan bakar sejumlah 47 liter Pertamax Plus. Tiba di Ewer, 2 orang groundcrew – Sarbini (WK 095) dan Isra Yandi ’Ulil’ (W 751 KL) sudah menanti dengan kisah perjuangan masuk Ewer – Agats yang cukup menegangkan.<br /> Ulil membagi kisah perjalanannya masuk Ewer. Ulil, suami Rovina yang juga ikut mengabadikan perjalanan PKS 205 sepanjang lintasan Sabang – Merauke, awalnya mengaku masuk tim ekspedisi Wanadri – 92 Pulau Garis Depan Indonesia. Ketika ada tawaran masuk Ekspedisi Trike sebagai groundcrew, Ulil langsung bergabung walaupun belum tau akan ditempatkan di posisi mana. Ulil sempat terkejut ketika namanya tercetak dalam lembaran posisi groundcrew dengan posisi daerah di Agats. Tak sempat tau letak daerah tersebut, tapi ia bertekad akan menjalankan tugasnya demi Wanadri.<br /><br />“Awalnya saya berangkat ke Lampung pada tanggal 1 Mei 2008 untuk menjalankan tugas Dorlog BBM jalur barat Jakarta – Lampung – Palembang – Jambi – Pekanbaru – Dumai – Medan – Lokshemawe – Sabang. Selesai bertugas tanggal 18 Mei 2008, kemudian mendapat tugas ke Agats,” jelas Ulil mendahului kisahnya sampai tiba di Agasts bersama Sarbini.<br />Seharusnya Ulil dan Sarbini berangkat tanggal 5 Juni 2008, namun pemberangkatan dimajukan menjadi tanggal 2 Juni 2008. Dari Jakarta mendarat di Timika dan sempat disambut oleh Kapten Adryana (pilot helikopter Airfast yang juga menjadi supervisor teknis dalam Ekspedisi Trike). Malamnya Ulil dan Sarbini harus bergerak menuju Ewer. Meraka menyangka sudah ada kapal on position yang sudah siap berangkat menuju Ewer. Ternyata, mereka masih harus menunggu beberapa hari.<br /><br />”Saya pikir kapalnya ukuran besar, nyaman enak. Ternyata tidak. Kita naik kapal perintis. Kapal kayu kecil. Informasinya kapal akan berlayar selama 12 jam. Ternyata di lapangan sampai 20 jam. Dihantam badai dan ombak besar pula. Kami sampai tidak bisa berdiri,” jelas Ulil dan Sarbini. Kemudian kapal memasuki Teluk Flamingo. Sore hari sekitar pukul 5, kapal masuk perairan Flamingo. Ulil menceritakan bahwa di tengah laut kapal diutar-putar oleh ombak. Ternyata arus bawah membuat kapal berputar-putar sampai 3 kali putaran. Nahkoda sempat menjelaskan bahwa kapal harus mengikuti putaran tersebut. Tidak boleh melawan karena kapal akan terbalik. Sekitar 1 jam, kapal terlepas dari putaran dan kemudian masuk perairan Agats. Masuk Agats, kapal menghadapi 3 muara besar. Kapal pun diputar arus kembali, tapi kali ini Ulil dan Sarbini mengaku sudah tidak panik lagi. Pukul 6.30 sore, kapal sudah merapat di Agats. Kapten kapal dan ABK langsung berdoa, ”Alhamduliah Bapak bisa selamat.” Katanya kapal itu belum pernah membawa orang lain. Duo Wanadri ini sempat terkejut. Namun apa daya, mereka telah selamat tiba di Ewer. Akhirnya kapal bisa bersandar dan dijemput taksi air – sejenis kapal kecil yang menjembut penumpang dari kapal besar untuk menuju dermaga. Diperlukan biaya sebesar Rp 50.000 menuju dermaga ferry. Begitu turun taksi air, Ulil dan Sarbini sudah ditunggu orang – orang angkut dengan gerobak. Mereka berdua berusaha menjelaskan bahwa mereka sedang dalam perjalanan ekspedisi, namun para kuli angkut pelabuhan tidak peduli dan berkata, ”Bapak orang luar to! Hati - hati Bapak bisa mati!” Tak ada hujan tak ada angin Ulil dan Sarbini hanya bisa saling pandang dengan menebar senyum. Mereka memutuskan untuk segera menuju hotel setelah mengontak Kepala Bandara Ewer yang kebetulan sedang berada di Merauke. Kepala Bandara meminta mereka untuk menghubungi perwakilannya, Bapak Philipus. Tak lama menunggu, Bapak Philipus datang dan mengantar mereka menuju hotel Asmat. Mereka mengambil kamar VIP. ”Harganya lumayan. Saya pikir dengan Rp 375.000,- bisa mendapat fasilitas bagus. Wah, tetapi hanya mendapat kipas angin,” ujar Ulil.<br /><br />Pak Tori, Wakil Bupati Agats, menyambut mereka dengan sangat baik. Waki Bupati Agats ini bercerita tentang Ekspedisi Trike yang dikabarkan akan memasuki daerah Timika, tetapi Pemda Agats tidak mengira bahwa daerah mereka menjadi salah satu titik persinggahan pesawat tersebut. Setelah mereka selesai bercerita, barulah Ulil dan Sarbini mengeluarkan surat tugas Ekspedisi Trike dan menjelaskan misi mereka. Wakil Bupati dan jajarannya terkejut seperti layaknya akan kedatangan menteri atau presiden.”Daerah kita masuk to, mau didatangi pesawat to, harus bagaimana kita?” kata sang Wakil Bupati. Sontak mereka sibuk dan mengadakan kontak dengan pelbagai pihak di Agats dan luar Agats, seperti Timika dan Merauke. ”Ini kesempatan besar, merupakan jembatan memperkenalkan Agats kepada luar!” tambah Pak Tori bersemangat. Tanpa diminta mereka membantu memberikan beragam informasi, fasilitas, dan kemudahan lainnya. Mereka (PEMDA) mengatakan akan memberikan semua yang diperlukan oleh tim Ekspedisi Trike.<br /><br />Setelah 2 hari di Agats, mereka menemui masalah ganti rugi tanah di sekitar Bandara Ewer. ”Awalnya, perang suku memperebutkan tanah bandara. Ada tradisi di Ewer, jika kita membeli tanah pada A, 20 tahun kemudian anak si A akan menagih urusan tanahnya. Pada saat itu perjanjian jual beli tanah antara bandara dengan si A sudah habis. Dan tanah itu bukan urusan si A lagi, tapi sudah menjadi urusan anak si A. Bandara tersebut dipalang dan dipagari, orang – orang perhubungan hendak kabur malam itu, baru pagi harinya orang dinas perhubungan menyelematkan diri, keluar Agats dengan menggunakan speed boat,” jelas Ulil. Ketika Ulil sampai di Bandara Ewer, ia mengira ada penyambutan khusus untuk tim groundcrew yang datang.<br /><br />”Ada warga sudah dengan tombak dan panah mengarah pada kami. Saya tidak bertanya lagi apakah ini penyambutan untuk saya. Saya bertanya pada keamanan. Dijelaskan bahwa suasana panas. Saya pikir panas karena cuaca. Ternyata mereka sedang demo!” Ulil menjelaskan ternyata saat itu ada demo menuntut ganti rugi tanah bandara sampai mencapai nominal 60 milyar rupiah. Akhirnya dengan kesepakatan, turun menjadi 2 M. Selama beberapa hari mereka bolak balik Agats – Ewer – Agats untuk menyelesaikan urusan koordinasi.<br /><br />Mereka memberi laporan dari perkembangan situasi di Ewer – Agats kepada Puskodal di Jakarta. Sempat mereka diperingati Pemda Agats untuk segera meninggalkan Agats apabila selesai bertugas. Namun pesan dari Puskodal mengatakan mereka belum bisa menginggalkan Agats sebelum pesawat mendarat di Merauke. Setelah itu Bupati dan staffnya mengadakan rapat. Pemda mengatakan kepada warganya bahwa akan ada pahlawan dari udara, membawa pesawat kecil, dan akan mendarat di Ewer. Saat itu masyarakat antusias untuk mendukung. Bersamaan dengan itu permasalahan pembebasan tanah sudah dalam posisi aman.<br /><br />Pesawat tiba di Bandara Ewer – Agats pada tanggal 17 Juni 2008, pukul 11.20 WIT. Sambutan warga sangat luar biasa. Mereka datang dari pelosok-pelosok Agats menuju Bandara Ewer. Ulil dan Sarbini hanya berpesan pada petugas bandara agar pesawat jangan didekati untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan. Ulil menceritakan bahwa saat itu warga sangat kooperatif. Ulil mengenang kata-kata salah seorang pemimpin suku yang datang ke Ewer, “Bapak, kita semua sudah menjaga landasan ini. Kalo ada apa-apa itu orang kami tombak!”<br /><br />Sarbini menambahkan bahwa banyak tentara yang sudah berjaga-jaga di sekitar bandara. Namun, masyarakat yang berjaga lebih banyak dari tentara. Dan mereka ingin melihat sang pahlawan yang datang dengan pesawat kecil itu. Sekali lagi, mereka mengatakan ingin melihat Dewa Udara. Dewa Udara yang datang dari tanah Jawa. Saat itu warga hanya dapat melihat sang Dewa Udara dari jendela. Ulil menjelaskan bahwa julukan Dewa Udara ini merupakan suatu penghargaan besar dari masyarakat Agats Asmat untuk Kang Ujang, sang pemberani.<br />Tanggal 18 Juni 2008, PKS 205 bergerak menuju Merauke pukul 06.03 WIT. Setelah pesawat lepas landas, mereka (pimpinan) datang menemui Ulil dan minta ijin untuk pulang. Ulil pun masih bisa mengingat saat itu banyak sekali masyarakat yang keluar dari pinggir-pinggir hutan. Mereka bergerak beriringan berjalan meninggalkan Bandara Ewer untuk kemudian bayangan mereka pun hilang di balik pepohonan rindang. Masih ada beberapa kelompok masyarakat yang masih setia menanti di Bandara Ewer sampai Kang Ujang sampai di Merauke pada pukul 10.23 WIT. Kegembiraan terpancar di wajah-wajah mereka saat Ulil meneriakan bahwa Dewa Udara sudah mendarat selamat sampai di Merauke.<br /><br />“Apa yang saya dapat dari masyarakat sungguh di luar dugaan. Kita dikatakan telah menyentuh hati masyarakat Agats Asmat. Walau hanya dengan makan bersama mereka, makan dengan daun, minum dengan batok kelapa. Hal itu sama dengan menghargai mereka. Dekat dengan 1 keluarga maka akan dekat dengan seluruh warga suku tersebut. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketakutan saya ada 2, pertama ketakutan dari awal datang sampai pesawat berangkat dari Agats menuju Timika. Kedua, takut mengahadapi masayarakat yang konon masih suka memakan daging orang. Termasuk takut terkena malaria tropicana yang tersohor mampu mematikan korbanya dalam hitungan 1 hari saja. Cerita – cerita seram itu seketika hilang semua, saat selesai misi PKS 205.”<br /><br />Ulil masih sempat mengamati kehidupan masyarakat Agats Asmat yang terkenal dengan kerajinan ukiran kayunya. Totem – totem yang begitu terkenal hingga mancanegara. Harga barang – barang di Agats sangat mahal. Biaya hidup sehari-hari pun cukup tinggi. Untuk sekali makan dengan menu sederhana bisa mencapai harga Rp 45.000,- sampai Rp. 65.000,-. Sarbini menambahkan bahwa di Agats juga tidak ada transportasi angkutan. Masyarakatnya juga tidak mengenal mobil dan motor. Mereka lebih akrab dengan speedboat dan twin otter – sejenis kapal udara pengangkut penumpang dengan kapasitas kecil. Mata pencaharian masyarakat Agats pada umumnya adalah menjadi nelayan, pengrajin ukiran dan penjual anggrek.<br /><br />Dalam pandangan Ulil dan Sarbini, perjalanan menjadi groundcrew Ekspedisi Trike lintas Sabang – Merauke mempunyai makna tersendiri. Mereka mengaku dapat melihat keberagaman yang dimiliki Indonesia dan mereka belajar untuk menghargai kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan mereka mengatakan bahwa mereka menjunjung tinggi peribahasa yang mengatakan ”lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” dan ”dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Agaknya peribahasa ini pun sangat kental dirasakan oleh para groundcrew yang bertugas di semua lintasan PKS 205. BRAVO!!!<br /><br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://amalagina.multiply.com/journal/compose#_ftnref1" name="_ftn1">*</a> Pirsimbit (Bahasa Asmat) memiliki arti Dewa Udaraneng geulis teaaaa!http://www.blogger.com/profile/13065100746789404420noreply@blogger.com0