Rabu, 28 Januari 2009

BOIKOT PRODUK YANG MENGUNTUNGKAN ISRAEL: spek produknya apa yaa Om?

Palestina sepertinya lagi ‘in’ buanget di kalangan tertentu...dari mahasiswa sampai partai politik, dari para santri sampai pemimpin negeri. Semua beramai-ramai mengeluarkan suara simpati sampai nekat pergi berjihad ke Palestina untuk melawan Israel.


Minggu tanggal 18 Januari 2009, saya melintas kota Bogor sepulang dari Giri Jaya. terkejutlah saya ketika di sudut mata saya tertangkaplah poster fotocopy-an bertuliskan “BOIKOT PRODUK YANG MENGUNTUNGKAN PENGUSAHA ISRAEL” yang dipajang di daerah pusat komunitas Arab, Empang, Bogor.

Nah lo, bagaimana saya tidak terkejut, jangankan produk Israel, untuk mengetahui produk Indonesia saja saya tidak bisa cepat tahu. Saya berpikir, yang mana ya produk Israel? Mungkin memang ada produk Israel yang masuk Indonesia, tapi yang manaaa?

Saya heran mengapa si pembuat poster seruan itu tidak mencantumkan spesifikasi produknya, untuk memudahkan saya sebagai masyarakat untuk mengidentifikasi produk Israel...hehehe

Saya bingung dengan tujuan si pembuat poster? kok ya sampai boikot-boikot negeri orang ya? kenapa tidak boikot LAPINDO saja? yang jelas-jelas merugikan tanah air dan bangsa Indonesia, Si NKRI yang sudah semakin renta ini. Atau boikot saja pemerintah Indonesia jika memang pemerintah dianggap tidak adil kepada rakyat. Laaa ini malah boikot produk negara orang yang tidak merugikan Indonesia. Boleh lah produk Israel diboikot jika terbukti mengandung merkuri, melamin, dan dapat membahayakan nyawa masyarakat Indonesia.


Belum lagi selesai....ketika saya melintas papan pengumuman di area kampus saya, saya membaca poster “EDUCATION FOR PALESTINE” yang kabarnya sudah mengumpulkan dana lebih dari 1 Milyar untuk beasiswa pemuda Palestina. diajukan juga opsi agar mereka dapat kuliah di Universitas Indonesia. Waduh...edan saya pikir, la wong di depok saja masih banyak anak putus sekolah lo. Kok ya jauh-jauh mikirin nasib pendidikan pemuda harapan bangsa Palestina. Lalu bagaimana dengan nasib pendidikan pemuda pemudi harapan bangsa NKRI ini?


Gelombang demo anti Israel pun memang masih bergejolak di seluruh dunia ini. Wajarlah itu terjadi dengan alasan simpati dan kemanusiaan. Tapi rasanya lucu jika semua-mua yang dilakukan di atas dilakukan dengan alasan solidaritas agama....hmmmm...agak lebaaay kayanya. Kalau mau memakai solidaritas agama...banyak muslim di Indonesia yang menderita miskin papa yang memerlukan uluran tangan dari muslim yang memiliki kemampuan membantu sesamanya. Rasanya tidak perlu jauh-jauh sampai menolong orang yang di Palestina. Palestina kan dekat dengan jutaan muslim yang tinggal di dunia Arab sana, pastilah banyak yang bisa lebih cepat membantunya. Pak ustad saya pernah bilang, “tolonglah saudaramu yang terdekat.”



Tapiii..ya apa daya seorang saya ini? Cuma bisa protes begini. paling tidak...saya sangat bangga, ada kalangan di Indonesia yang sangat peduli dengan sesamanya yang sedang menderita di belahan dunia mana pun. Saluut.....Terus perjuangkan kebebasan Palestina (????)... rakyat Palestina BERHAK BAHAGIA!



saya rasa, masyarakat Indonesia juga BERHAK BAHAGIAA!




Agi berkata: “Pak Ustad....tolong saya doong.”



salam,

agni

Jati diri Kota Depok: makan dengan tangan kanan? how come????

Suatu malam, saya menaiki angkot menuju sebuah pertokoan terkenal di Depok. Di sebuah perempatan jalan, saya mendapati sebuah baligo besar yang bertuliskan: “Kembalikan jati diri bangsa. Dengan makan dan minum memakai tangan kanan.” Dengan tambahan visual orang-orang yang makan dengan menggunakan sendok garpu, sendok di tangan kanan, garpu di tangan kiri.



Awalnya saya agak merasa kecolongan dengan iklan layanan masyarakat itu. Sebab sebelumnya, baligo rakssa itu berisikan maskot kota Depok yang akan dikembangan sebagai produk unggulan kota yang sudah berkembang pesat itu. Ya....belimbing kuning. Buah berbentuk bintang itu tampak cantik karena produknya terasa sangat bear. Semacam jambu bangkok, durian bangkok dan bangkok-bangkok yang lain. Tapi ketika sore itu malam itu saya melihatnya sudah berubah rupa, saya pun sempat panik. Mungkinkah saya yang salah lihat. Saya pun segera meminta teman saya untuk melihat iklan itu. dia tidak berkomentar banyak. Saya makin ragu dengan pandangan mata itu. Tapi sudahlah...saya tidak akan membahas mata saya yang memang mulai minus.

Slogan kembalikan jati diri bangsa dengan cara makan menggunakan tangan kanan itu sangat menggelitik saya. Bukankan memang semua orang makan dengan tangan kanan? Kalaupun ada yang makan dengan tangan kiri, tampaknya kebiasaan itu datang karena si pemilik tangan itu pastilah kidal, saya juga berkawan dengan salah seorang yang berkecenderungan kidal tersebut. Saya jadi berburuk sangka terhadap pembuat iklan layanan masyarakat tersebut. Mengapa urusan makan menggunakan tangan mana menjadi masalah besar? Sampai-sampai disebut sebagai bangian dari jati diri bangsa?

Coba kita lihat apa saya yang masuk dalam katergori jati diri bangsa? Dalam pandangan saya, jati diri bangsa memang banyak sekali aspeknya. Seperti seni budaya tradisional, sejarah bangsa dan sebagainya. Mungkin makan dengan tangan kanan juga menjadi salah satu aspeknya. Tapi saya tetap tidak bisa paham, bagaimana iklan itu bisa muncul? Mengapa cara makan harus diurusi? Mengapa tidak menonjolkan budaya seni tradisi sebagai kekuatan kota?

Bukankah cara makan orang itu ada sesuatu yang sangat pribadi? Mungkinkah iklan ini dapat disejajarkan dengan iklan UU antipornografi dan pornoaksi yang dianggap oleh banyak pihak sebagai undang-undang yang menyentuh ranah pribadi. Cara makan merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan kemampuannya. Makan dengan tangan kanan atau tangan kiri adalah hak pribadi seseorang. Makan menggunakan sendok atau tangan telanjang pun merupakan hak pribadi. Dan saya pikir, cara makan dihubungkan dengan jati diri bangsa itu sedikit sekali hubungannya. Sampai saat ini saya masih mencari berbagai kemungkinan jawaban atas munculnya iklan tersebut. Tetapi, saya tetap bingung bagaimana caranya cara makan menjadi jati diri bangsa??

Mungkin ada yang bisa membantu saya mendapatkan jawaban tersebut.



Salam,

Agni Malagina

Bakso Mas Yemo, bengis-bengis manis

Niat tulus untuk mendinginkan pikiran di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan semangat pendorong bagiku dan kawan-kawan untuk menambah hari tinggal di KBS. Sungguh merupakan pengalaman batin yang luar biasa ketika kami bertiga turun dari KBS menuju perkampungan Sindangbarang untuk mencari semangkuk bakso berkuah hangat-hangat suam kuku.

Dimulailah perjalanan kami mencari bakso sore itu. Sambil berjalanan di pematang sawah, kami masih sempat berfoto dengan latar gunung Salak. Suasana sore itu mulai mendung, angin sepoi pun mulai membawa titik-titik airmya yang terjenih seolah ingin menyapu debu halus di permukaan dedaunan sang padi. Perjalanan kami lanjutkan dengan menembus situs punden berundak yang memiliki puncak batu berdakon 6. Kami berjalan dengan tujuan bakso Pakde depan masjid raya Sindangbarang. Saya bertemu dengan pakde yang sedang nangkring di tempat olah raga sambil melayani beberapa bapak-bapak yang juga memburu baksonya. Kami pikir,”ah...terlalu ramai, cari gorengan dulu saja.” Kami pun singgah di tukang gorengan sambil semal-cemil beberapa unit risol, pisang molen, bakwan dan ubi. Tak lupa juga kami membungkus beberapa jenis gorengan. Kami pun memutuskan untuk naik angkot. Baru saja duduk di dalam angkot, sang supir pun bertanya, ”mau ke Bogor?” kontan kami menjawab bersamaan,”enggak pak, mau cari tukang bakso.” Pak supir mengiyakan sambil tersenyum lebar. Tak lama, ia pun berhenti di depan pabrik PT Rama sambil mengatakan,”baksonya enak. Mang, mesen bakso tilu! (bang, pesan baksonya tiga!)”

Kani dan Lola pun masuk lebih dulu ke dalam kios bakso berukuran 3X2 meter itu. Saya masih disibukkan dengan urusan transaksi pembayaran angkot. Tak lama saya menyusul. Dan mendapatkan cerita, kira-kira sebagai berikut:

”Bang, baksonya tiga,” kata Lola,”dua baksonya aja.”

Tak lama si abang bertanya,”Pakai bakso enggak?”

Sempat mereka berdua terhenyak dengan pertanyaan itu, namun mereka cukup sigap menjawab dengan ketawa bingung.

Kami pun sedikit ribut membicarakan beberapa hal remeh temeh yang sebenarnya juga tidak telalu penting. Tapi perlu dicatat, setiap pembicaraan pasti selalu berakhir dengan derai tawa berkepanjangan. Tak lama, abang bakso pun datang membawa dua mangkok, satu ia letakkan di depan saya. Saya agak kebingungan dengan bakso polos tidak berbihun, bukan pesanan saya, saya pikir. Tiba-tiba terdengar kata pendek yang tidak pernah saya duga sebelumnya,”estafet,” kata si abang. Kani langsung menjawab,”wah...komando...komando.” Dengan penuh kesadaran pun kami akhirnya mengestafetkan mangkok bakso tersebut. Sekali lagi diiiringi derai tawa yang sangat tulus keluar dari lubuk hati. Saya bertanya padanya,”mas, siapa namanya?”

Dia menjawab,”mas gendut!”

”Wah, ga bisa mas, nanti kalau saya nanya mas gendut dimana, semua orang bingung nyari orang yang gendut-gendut. Saya panggil mas yanto aja ya.”

Dia menjawab,” iya boleh.”

Tiba-tiba datang celetukan dari Kani,”mas Yemo aja.”

Maka sejak saat itulah kami mendaulat dia dan tokonya dengan nama ’Bakso Mas Yemo’.

Beberapa suap kuah hangat pun saya rasakan berdu dalam mulut saya. Rasa gurih asin asik menyatu menekan syaraf-syaraf indera pencicip ini. Saat sedang konsentrasi penuh memakan bakso, saya tak sengaja mendengar percakapan antara abang bakso dengan seorang pembelinya:

”Baksonya mas,” kata si pembeli.

”Di mana?” tanya si abang. Hal ini lah yang saya perhatikan. Mengapa bisa muncul pertanyaan ’dimana’ dari si abang bakso. Saya sempat bingung. Belum bisa saya pikirkan alternatif jawaban pertanyaan ‘di mana’ itu, sang pembeli pun menjawa,”di mangkok.”

Saya tak tahan untuk menyampaikan percakapan mereka yang tiba-tiba masuk dalam frekwensi konsentrasi saya kepada kawan-kawan. Dan benar....selesai saya menceritakan kejadian itu, kami tertawa panjang lagi. Kemudian untuk beberapa saat, suasana kembali pada pembicaraan yang sekenanya saja. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan bakso mas Yemo.

Sampailah kami pada akhir masanya makan bakso. Kami meminta mas Yemo untuk menghitung harga bakso plus kerupuk kulit yang kami konsumsi. Mas Yemo mulai menghitung dengan jumawanya,”bakso tiga, kerupuk kulit tiga,” tidak berhenti sampai di situ, dia pun melanjutkan,”berapa gelas?”

Kami sempat mencoba mencerna kata-kata terakhir, namun rasanya tidak kesampaian menelan kata-kata tersebut. Hanya ada satu kata yang sanggup kami ucapkan,”WADUH!”

Setelah berusaha untuk mengingat berapa gelas air putih yang kami tenggak, satu persatu kami menyebutkan jumlahnya.

“Dua,” kata Kani.

“Dua,” kata Lola.

”Tiga, tapi ini belum habis,” kata saya.

Mas Yemo pun dengan cueknya menjawab sejumlah angka dengan akhiran lima ratus rupiah. Kami pun tetap dalam kondisi tertawa tak tertahankan. Tak lama mas Yemo datang memberikan lembaran uang kertas. Dan terakhir ia memberikan satu keping uang logam 500 rupiah sabil berkata,” buat ongkos.”

Saya sempat melongo, dan lagi-lagi kami tertawa lebar. Bagaimana tidak? Baru kali itu kami makan bakso dengan ratusan detik diisi oleh ketawa ketawa ketawa dan ketawa akibat ulah mas Yemo. Saat itu Mas Sawab, salah seorang anak buah Pupuhu Sindangbarang pun menjadi saksi ’kebengisan’ mas Yemo.

Waktu jualah yang memisahkan kami dengan mas Yemo sore itu. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan utama, menuju rumah Pupuhu KBS. Pembicaraan di angkot pun masih tetap seputar mas Yemo, tentang bagaimana gilanya mas Yemo menghadapi kami, tentang bagaimana kekejaman yang dilakukan mas Yemo, hingga kenangan-kenangan bersama masYemo.

Kami meninggalkan mas Yemo di belakang sana. Itulah yang kami lakukan. Kami meninggalkannya dengan penuh kesadaran bahwa kami memang harus pergi. Dengan membawa kenangan tentangnya. Tentang mas Yemo seorang.



Salam,

Agni