Rabu, 28 Januari 2009

Bakso Mas Yemo, bengis-bengis manis

Niat tulus untuk mendinginkan pikiran di Kampung Budaya Sindangbarang merupakan semangat pendorong bagiku dan kawan-kawan untuk menambah hari tinggal di KBS. Sungguh merupakan pengalaman batin yang luar biasa ketika kami bertiga turun dari KBS menuju perkampungan Sindangbarang untuk mencari semangkuk bakso berkuah hangat-hangat suam kuku.

Dimulailah perjalanan kami mencari bakso sore itu. Sambil berjalanan di pematang sawah, kami masih sempat berfoto dengan latar gunung Salak. Suasana sore itu mulai mendung, angin sepoi pun mulai membawa titik-titik airmya yang terjenih seolah ingin menyapu debu halus di permukaan dedaunan sang padi. Perjalanan kami lanjutkan dengan menembus situs punden berundak yang memiliki puncak batu berdakon 6. Kami berjalan dengan tujuan bakso Pakde depan masjid raya Sindangbarang. Saya bertemu dengan pakde yang sedang nangkring di tempat olah raga sambil melayani beberapa bapak-bapak yang juga memburu baksonya. Kami pikir,”ah...terlalu ramai, cari gorengan dulu saja.” Kami pun singgah di tukang gorengan sambil semal-cemil beberapa unit risol, pisang molen, bakwan dan ubi. Tak lupa juga kami membungkus beberapa jenis gorengan. Kami pun memutuskan untuk naik angkot. Baru saja duduk di dalam angkot, sang supir pun bertanya, ”mau ke Bogor?” kontan kami menjawab bersamaan,”enggak pak, mau cari tukang bakso.” Pak supir mengiyakan sambil tersenyum lebar. Tak lama, ia pun berhenti di depan pabrik PT Rama sambil mengatakan,”baksonya enak. Mang, mesen bakso tilu! (bang, pesan baksonya tiga!)”

Kani dan Lola pun masuk lebih dulu ke dalam kios bakso berukuran 3X2 meter itu. Saya masih disibukkan dengan urusan transaksi pembayaran angkot. Tak lama saya menyusul. Dan mendapatkan cerita, kira-kira sebagai berikut:

”Bang, baksonya tiga,” kata Lola,”dua baksonya aja.”

Tak lama si abang bertanya,”Pakai bakso enggak?”

Sempat mereka berdua terhenyak dengan pertanyaan itu, namun mereka cukup sigap menjawab dengan ketawa bingung.

Kami pun sedikit ribut membicarakan beberapa hal remeh temeh yang sebenarnya juga tidak telalu penting. Tapi perlu dicatat, setiap pembicaraan pasti selalu berakhir dengan derai tawa berkepanjangan. Tak lama, abang bakso pun datang membawa dua mangkok, satu ia letakkan di depan saya. Saya agak kebingungan dengan bakso polos tidak berbihun, bukan pesanan saya, saya pikir. Tiba-tiba terdengar kata pendek yang tidak pernah saya duga sebelumnya,”estafet,” kata si abang. Kani langsung menjawab,”wah...komando...komando.” Dengan penuh kesadaran pun kami akhirnya mengestafetkan mangkok bakso tersebut. Sekali lagi diiiringi derai tawa yang sangat tulus keluar dari lubuk hati. Saya bertanya padanya,”mas, siapa namanya?”

Dia menjawab,”mas gendut!”

”Wah, ga bisa mas, nanti kalau saya nanya mas gendut dimana, semua orang bingung nyari orang yang gendut-gendut. Saya panggil mas yanto aja ya.”

Dia menjawab,” iya boleh.”

Tiba-tiba datang celetukan dari Kani,”mas Yemo aja.”

Maka sejak saat itulah kami mendaulat dia dan tokonya dengan nama ’Bakso Mas Yemo’.

Beberapa suap kuah hangat pun saya rasakan berdu dalam mulut saya. Rasa gurih asin asik menyatu menekan syaraf-syaraf indera pencicip ini. Saat sedang konsentrasi penuh memakan bakso, saya tak sengaja mendengar percakapan antara abang bakso dengan seorang pembelinya:

”Baksonya mas,” kata si pembeli.

”Di mana?” tanya si abang. Hal ini lah yang saya perhatikan. Mengapa bisa muncul pertanyaan ’dimana’ dari si abang bakso. Saya sempat bingung. Belum bisa saya pikirkan alternatif jawaban pertanyaan ‘di mana’ itu, sang pembeli pun menjawa,”di mangkok.”

Saya tak tahan untuk menyampaikan percakapan mereka yang tiba-tiba masuk dalam frekwensi konsentrasi saya kepada kawan-kawan. Dan benar....selesai saya menceritakan kejadian itu, kami tertawa panjang lagi. Kemudian untuk beberapa saat, suasana kembali pada pembicaraan yang sekenanya saja. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan bakso mas Yemo.

Sampailah kami pada akhir masanya makan bakso. Kami meminta mas Yemo untuk menghitung harga bakso plus kerupuk kulit yang kami konsumsi. Mas Yemo mulai menghitung dengan jumawanya,”bakso tiga, kerupuk kulit tiga,” tidak berhenti sampai di situ, dia pun melanjutkan,”berapa gelas?”

Kami sempat mencoba mencerna kata-kata terakhir, namun rasanya tidak kesampaian menelan kata-kata tersebut. Hanya ada satu kata yang sanggup kami ucapkan,”WADUH!”

Setelah berusaha untuk mengingat berapa gelas air putih yang kami tenggak, satu persatu kami menyebutkan jumlahnya.

“Dua,” kata Kani.

“Dua,” kata Lola.

”Tiga, tapi ini belum habis,” kata saya.

Mas Yemo pun dengan cueknya menjawab sejumlah angka dengan akhiran lima ratus rupiah. Kami pun tetap dalam kondisi tertawa tak tertahankan. Tak lama mas Yemo datang memberikan lembaran uang kertas. Dan terakhir ia memberikan satu keping uang logam 500 rupiah sabil berkata,” buat ongkos.”

Saya sempat melongo, dan lagi-lagi kami tertawa lebar. Bagaimana tidak? Baru kali itu kami makan bakso dengan ratusan detik diisi oleh ketawa ketawa ketawa dan ketawa akibat ulah mas Yemo. Saat itu Mas Sawab, salah seorang anak buah Pupuhu Sindangbarang pun menjadi saksi ’kebengisan’ mas Yemo.

Waktu jualah yang memisahkan kami dengan mas Yemo sore itu. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan utama, menuju rumah Pupuhu KBS. Pembicaraan di angkot pun masih tetap seputar mas Yemo, tentang bagaimana gilanya mas Yemo menghadapi kami, tentang bagaimana kekejaman yang dilakukan mas Yemo, hingga kenangan-kenangan bersama masYemo.

Kami meninggalkan mas Yemo di belakang sana. Itulah yang kami lakukan. Kami meninggalkannya dengan penuh kesadaran bahwa kami memang harus pergi. Dengan membawa kenangan tentangnya. Tentang mas Yemo seorang.



Salam,

Agni

Tidak ada komentar: