Jumat, 28 November 2008

Seri road to holyland: Sorenang - Tarawangsa Bandung Selatan di ambang kematian

Selang dua hari sejak kepulangan saya dari Cirebon untuk menyaksikan Upacara Panjang Jimat pada tanggal 21 Maret 2008, saya mengikuti perjalanan seorang peneliti tarawangsa ke Soreang. Perjalanan saya menuju Cigarogol, Soreang, pada hari Minggu 23 Maret 2008 merupakan lanjutan perjalanan kami mencari jati diri. Perjalanan menuju ‘tanah suci’ yang sempat terhenti, dilanjutkan kembali. Perjalanan dari Bandung menuju Soreang kami tempuh dengan menggunakan sepeda motor, selama hampir 2 jam. Hitungan yang cukup memegalkan pinggang dan kaki, namun saya sangat senang karena gerimis sore hari itu menyegarkan tanah kering yang menjanda ditinggalkan panas sang matahari.
Sesampainya di gerbang ‘Selamat Datang’ kota Soreang, saya dikejutkan dengan pemandangan indah, sawah membentang hijaunya, Gunung Malabar berdiri dengan jumawanya, dan angin dingin yang berhembus agaknya dapat menenangkan keramaian suporter PERSIB yang memasuki kota Soreang bersama kami. Motorpun bergerak menjauhi kota Soreng, Mang Didi (begitu saya memanggil sang peneliti yang gemar tersenyum ini) membelokkan motornya ke perkampungan dengan medan yang terus menanjak. Menanjak, menanjak, dan terus menanjak. Di sebelah kiri tampak lembah yang semakin curam. Menanjak…menanjak. Sampai akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah panggung sederhana dengan panggung beratap terpal biru yang tersedia tepat di samping rumah.
Memasuki rumah tersebut, saya dirundung rasa pilu dalam dada. Tak henti saya terkagum sekaligus miris melihat kota Soreang dari ketinggian. Cantik sekali, namun tempat saya berdiri adalah rumah penduduk yang terpencil dengan fasilitas seadanya. Pilu yang terpilu menggetarkan tubuh saya ketika melangkah masuk ke dalam rumah. Disambut oleh senyuman seorang ibu tua yang bernama Emak Esih (68 thn)Saya juga melihat sepetak tempat yang sudah dipenuhi makanan sesaji, daun hanjuang yang ditauti selendang di empat sisi, dan sudah tentu ada pula tarawangsa yang bertengger di atas kecapi indung. Di sebelah kecapi itu duduk Aki yang akan memainkan tarawangsa. Saya duduk di dekat beliau sambil menyapanya dengan Bahasa Sunda standar penutur asing. Sempat dia menyangka saya seorang sinden yang datang untuk mengikuti upacara 14 Maulud malam itu.
Aki Oyo berusia 92 tahun, berprofesi pemain tarawangsa.Beliau menekuni tarawangsa sejak muda, tanpa ada penerusnya. Tiada orang muda yang akan meneruskan kepiawaiannya memainkan tarawangsa. Pilu terasa syahdu saat beliau berlatih memainkan tarawangsa ditemani Mang Didi. Sambil menikmati nada-nada jentreng tarawangsa, saya mengamati sesaji yang ada di depan saya. Banyak macamnya, kue-kue tradisional, buah pisang, kopi, teh, bubur merah, bubur putih, singkong rebus, kelapa muda, rujak pisang, beras dengan telur ayam di tengahnya, telur, ubi rebus, rambutan, salak, opak, pepes, ayam bakakak. Tak ketinggalan bokor kuningan yang berisi cerutu, kemenyan, daun sirih, dan botol minyak. Di luar batas selendang yang ditautkan pada daun hanjuang, terdapat beberapa botol air mineral yang terbuka tutupnya, benda-benda berupa seperangkat alat kosmetik, seperangkat alat mandi, beberapa senjata yang tampak tua. Tak lama, emak datang mengenakan kebaya warna putih dan kain. Emak duduk memegang sebilah golok, diusap, dan dimasukkan dalam wadah air. Senjata-senjata, pusaka itu, dicucinya perlahan. Beberapa orang datang meletakkan senjata-senjata, mereka buka bungkusnya, mengusap pelahan senjatanya, dan meletakkannya berdekatan dengan beberapa senjata yang ditenggelamkan dalam wadah air. Bermacam bentuk, pisau, golong, parang, ujung mata panah sampai jimat logam. Tak lama berselang, datanglah tiga orang wanita setengah baya dengan dandanan agak tebal meletakkan alat-alat komestik macam bedak, lipstik, pelembab wajah, lotion, foundation, pensil alis, maskara, eyeshadow, pelentik bulu mata, sisir. Saat itu saya masih terheran-heran sendiri dengan fenomena sosial skala kecil yang ada hadapan saya. Sambil mengamati sekitar, mata saya bertabrakan dengan pandangan dua orang anak kecil yang kedapatan sedang menatap saya. Mereka kemudian berbisik-bisik tanpa melepaskan pandangan mata dari saya. Saya tersenyum dan mereka ketawa cekikikan. Mata saya menjelajah ruang ukuran sekitar 3m x 6m yang mulai dipenuhi orang-orang. Tua muda, laki-laki perempuan, dan anak-anak kecil. Saat emak menawari makan malam, saya segera menerima tawaran Emak. Sedikit makan malam cukup membuat hati saya sumringah. Ada bebepa anak kecil yang sempat saya tanyai:
“Suka nonton tarawangsa?”
“Sukaaaa,” tiga orang bocah tengil menjawab bersamaan.
Saya terhenyak, rupanya mereka sudah lebih dini mengenal tarawangsa. Dibanding dengan saya yang baru tiga bulan mengenal tarawangsa, mereka sangat beruntung.
Saya pun segera beringsut menuju tempat di samping Mang Didi yang sudah menebar alat-alat rekam suara dan pernak-perniknya. Beliau memang sengaja merekam pertunjukkan baik audio maupun visual untuk penelitiannya tentang konservasi tarawangsa di daerah Banjaran Soreang. Sungguh sebuah usaha pendokumentasian budaya yang patut dilakukan pada kesenian tradisional.
Pemetik kecapi sudah menempati posisinya. Pembacaan doa pun dimulai. Doa syukur dan keselamatan yang dibacakan oleh putra si Aki. Selesai pembacaan doa, Aki pun mengambil alih kendali acara. Saat dupa dinyalakan, Aki pun berkata, “Ieu kangge mestakeun ‘nu geulis’ jeung ‘nu kasep’ (ini untuk memestakan si cantik dan si ganteng).”
Sontak saya segera berbisik mengucapkan kata, “terima kasih.”
Namun rupanya si Aki melanjutkan kata-katanya, “ ‘nu geulis’ teh pare, ‘nu kasep’ teh duit (si cantik itu padi, si ganteng itu uang).” Dan saya tersenyum curang karena tetap beranggapan bahwa si cantik itu adalah saya.
Saya bertanya pada Mang Didi, “buat apa air mineral, pusaka, alat kecantikan, alat mandi bahkan mikrofon dan alat pemutar kaset berjajar di dekat sesaji?”
Mang Didi menjawab,”semua barang yang ada di depan kita itu sedang berkomunikasi. Mereka mempunyai frekwensi sendiri dan saling bercakap-cakap. Sesaji yang ada memiliki aura-aura yang akan diperkaya dengan percikan bunyi tarawangsa dan kecapi. Mereka semua akan mendapat cipratan energi suci.”
Saya semakin tidak mengerti dengan penjelasan itu. Saat bersamaan, seorang teman mengirim pesan pendek yang berbunyi, “jangan dimengerti, dirasakan saja.”
“Mang, apakah boleh saya meletakkan barang-barang kecil?”
“Boleh, dekatkan di sana, supaya terkena perciknya.”
Saya pun meletakan botol minum dan beberapa alat kosmetik. Saya tersenyum ketika beberapa lengan menyodorkan telepon genggam, dompet, ikat kepala untuk diletakkan di dekat area sesaji. Dan saya pun menemukan monopod yang ikut ‘mejeng’ di dekat area tersebut.
Tarawangsa mulai digesek, kecapi mulai dipetik. Emak yang telah berganti baju mengenakan kebaya warna hijau. Doa mulai dibacakan. Wewangian dihisapnya dalam-dalam, asap dupa pun mengepul seakan hendak menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya. Dan emak berkata, “Putu, sumping sadayana (cucu, datang semuanya).” Emak pun sudah dikuasai karuhun. Perlahan emak bangkit, berdiri, menggerakan kedua tangannya dan mulai menari. Emak menari mengikuti irama. Sampai suatu ketika emak berhenti karena lelah. Namun tak lama, emak menari lagi. Berhenti, menari lagi. Berhenti dan menari lagi. Emak menanggung masuknya beberapa roh karuhun yang ingin menari bersamanya. Dan emak lelah. Seorang pria duduk di samping emak, dan berdoa bersama emak. Mereka berdua pun mulai menari lagi. Dua tubuh, dua sesepuh menari. Aki dan emak kelelahan. Pemain kecapi pun kelelahan. Sebelum pertunjukkan berakhir, pemain kecapi beristirahat dan permainannya diteruskan oleh Mang Didi. Karuhun masih ingin menari. Sebuah lagu dimainkan. Kali ini sinden pun ikut menyanyi, lagu ucing-ucingan. Saya baru pertama kali ini mendengar tarawangsa dibareangi dengan nyanyian. Nada dan iramanya sangat dinamis, karuhun menari dengan gerakan pasti. Tampaknya karuhun sangat senang. Tak lama, upacara kecil itu pun selesai.
Pertunjukkan dilanjutkan di luar, di panggung yang telah disediakan. Sinden dan nayaga-nayaga yang sebelumnya mendapat semacam pemberkatan pada saat upacara berlangsung mulai mempertunjukkan kebolehannya. Beberapa lelaki yang mengenakan mantel ala Jenderal Sudirman naik ke panggung menari. Bergaya pencak silat dan dengan asiknya mengikuti lagu yang dimainkan. Saya duduk menyaksikan sang jenderal menari. Di samping saya banyak orang berbaring tidur di tepas rumah itu. Sudah malam. Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Dingin menyengat. Saya memutuskan untuk meninggalkan tepas, kembali ke dalam ruangan. Beberapa tentara sedang menimang pusaka-pusaka mereka. Ruangan dipenuhi orang-orang yang mulai mengantuk. Si Aki sudah berbaring. Semua menuju tidurnya.
Duduk di dekat Aki yang sudah tertidur saya memandangi semua alat dan sesaji yang terhapar. Inikah tradisi? Tarawangsa di Cigarogol asing untuk saya. Tidak seperti tarawangsa Rancakalong yang saya lihat pertama kali di acara Seren Taun Cigugur 2007. Lagu yang dimainkan tidak pernah saya dengar sebelumnya, sesajinya pun agak berbeda dengan yang saya lihat sebelumnya. Apalagi penarinya, hanya seorang….hanya emak seorang. Yang kemudian ia kelelahan menanggung masuknya roh karuhun yang ingin menari, berpesta bersama ‘si geulis’ dan ‘si kasep.
Ingatan saya melayang pada saat pertama kali saya melihat pertunjukkan tarawangsa di Cigugur. Saya bertanya lagi, yang mana yang merupakan tradisi. Saat melihat pertunjukkan di Cigugur, tampaknya saya merasakan eforia dalam hati karena itu adalah tarawangsa yang pertama kali saya lihat seumur hidup saya, dan segera setelah itu, saya jatuh cinta kepadanya. Namun saya tidak mendapat fenomena orang-orang yang serius memohon doa, meletakkan harta bendanya keramatnya dan penghasilannya di daerah sesaji, tidak seperti hal yang terjadi di Soreang. Apa karena tarawangsa yang saya lihat di Cigugur terlalu ramai? Terlalu banyak penonton? Terlalu banyak penari? Terlalu banyak asap….atau hanya berupa pertunjukkan semata? Sama halnya pertunjukkan tarawangsa yang ada pada saat Seren Taun di Sindangbarang Bogor 2008? Pertunjukkan yang tampak hanya pertunjukkan. Seni tradisi yang hanya dianggap sebagai sesuatu hal yang profan? Di Soreang terasa lebih intim. Udara yang saya hirup pun terasa hangat, berlawanan dengan suasana dingin di daerah dengan ketinggian lebih dari 800mdpl. Beberapa unsur religius lebih terasa dekat. Penghormatan terhadap padi dan uang dilakukan tanpa ada pemberitaan.


agni malagina

Tidak ada komentar: