Tanggal 8 Desember 2007 lalu, kami, Simpay (paguyuban guar Sunda) FIB UI mengajak beberapa orang siswa SD Pasir Eurih menanam pohon di Kampung Budaya Sindangbarang (KBS). Kegiatan kami dimulai dengan sedikit kesalahan teknis yang berhubungan dengan jam waktu Depok dan jam waktu Sindangbarang, sehingga menyebabkan kami baru berangkat dari stasiun UI pukul 07.15. Beruntung, pupuhu Sindangbarang (Ama Maki) menerima kesepakatan sepihak dari kami bahwa pukul 07.00 ekuivalen dengan pukul 05.30.
Tepat pukul 09.00, kami tiba di KBS. Siswa-siswa dan pramuka sudah berkumpul di Bale Pangriungan. Kami tersenyum sambil colek-colek, " eh anak kecilnya banyak amat ya? Cemilan kurang niyy"
105 anak datang menanam pohon, kami terharu. Acara pagi itu dimulai dengan pembukaan santai dari Ama maki dan rombongan Simpay. Suara anak-anak menggelegar membalasa salam sampurasun: "rampeeees"
Selesai sambutan diselingi canda tawa, anak-anak dikondisikan di lapangan untuk persiapan menanam 26 jenis pohon buah dan pelindung yang berjumlah 56 pohon. Salah satunya adalah falmboyan (tanaman yang kami sediakan karena terobsesi dengan lagu gubahan Iwan Abdulrahman!)
Siswa SD kemudian berkumpul duduk di atas rumput untuk mendengarkan dongeng lingkungan yang dibawakan oleh Kakak Aio. Sementara Pramuka membantu persiapan penanaman pohon. Sesuai jadwal, pukul 10.30, diawali dengan doa bersama yang dipimpin Abah Encem, tanaman-tanaman pun digotong oleh 2-3 anak menuju 56 titik tanam yang tersebar di seluruh KBS. Mereka menanam pohon, menyiram dan memberi nama pada pohon itu. Di akhir acara, anak-anak mendapat ¡¥sertifikat pohon¡¦. Ama Maki berpesan, anak-anak boleh datang kapan saja utnk menengok pohon yang mereka tanam. Kelak jika pohon itu sudah besar dan berbuah, mereka pun boleh mengambil hasilnya. Saat itu, kami melihat anak-anak itu tertawa girang. Celetuk-celetukan mereka membuat suasana menjelang tangkap ikan semakin ramai. Siang hampir tengah hari, anak-anak digiring menuju balong ikan untuk menangkap ikan mas. Satu-satu perwakilan kelompok anak-anak berlomba menangkap ikan yang berkelit di antara lumpur dan rumput-rumput dalam kolam, alhasil anak-anak pun berlarian dan sering mereka terguling, pakaian mereka kotor ternoda lumpur lembur. Saat ikan berada dalam genggaman, mereka tertawa senang. Selesai menangkap ikan, mereka mandi, dan kami pun membakar ikan untuk makan bersama. Saat mereka pulang, gerimis turun, sepertinya ingin megurai panas, melepas dahaga sang pohon yang baru ditanam.
Satu minggu berselang, beberapa dari kami (rombongan sirkus yang sering datang ke KBS) datang untuk berlibur, tujuan kami adalah untuk melepas kepenatan dan menjenguk pohon- pohon. Sekali lagi¡Kterjadi kesalahan teknis¡Kyang menyebabkan kami baru tiba di KBS tepat pukul 12.00 siang hari bolong.
Sesampainya di KBS kami melihat Imah Gede ramai, dan selidik punya selidik, ternyata Ama Maki sedang wawancara siaran langsung dengan sebuah stasiun radio ternama di Bogor. Kami mendapat informasi bahwa saat itu Ama sedang diwawancara mengenai dihilangkannya dana anggaran untuk Seren Taun Sindangabarang dari anggaran daerah, malah para dewan menganggarkan 15 M untuk sepak bola. Saya sedikit terkejut dengan adanya berita itu. Walaupun saya tau bahwa pemerintah dapat bertindak apapun dan kapanpun mereka mau, tapi saya sedikit terhenyak ketika mengetahui bahwa dana utnuk mengembangan seni dan budata justru dihapuskan!
Okeee laaaah¡K.bola itu penting, tapi jika menelan biaya sampai 15 M???? Apa yang terjadi? Padahal bola juga ga pernah jadi jawara internasional? Apakah terobsesi ingin menyamai klub-klub bola terkenal di dunia? Bola siiy okelaaah...tapi kalo menelan dana sampai 15 M? Sedangkan tidak ada sepeserpun untuk seni dan budaya? Bagaimana ini? Apakah pemerintah daerah tidak mau mengembangan proyek seni dan budaya yang notabene katanya tidak komersil, tidak menguntungkan¡Kbahkan hanya menjadi parasit?!!
Pendapat macam apa yang dikeluarkan oleh anggota pemerintahan? Anggota dewan yang mengatakan seni tidak penting? Apa siiy yang ada dalam benak mereka? Mengapa mereka tidak ada hubungan emosi dengan seni dan budaya? Apakah akhirnya bola lebih penting dari seni dan budaya?
Banyak pertanyaan yang akan saya tulis dalam curhatan ini¡Ktermasuk apakah bola sebegitu pentingnya dalam hajat hidup orang bayak? Apakah dana 15 M yang dialokasikan untuk bola dapat meningkatkan taraf hidup orang banyak di daerah? Dana 15 M ini pastilah digunakan untuk operasional bola dan perbolaan. Termasuk membayar pemain asing yang tentunya honornya lebih tinggi dari pemain local. Atau membayar pelatih-pelatih? Atau mendanai perjalanan-perjalan ke luar kota ? Atau mungkin membayar dana jalur birokrasi? Aaah Non Sense
Mengapa pemerintah daerah bisa memberi dana 15 M untuk bola tapi tidak bisa mengalokasikan dana untuk seni?
Entah berapa banyak daerah di Jawa Barat, dan daerah di seluruh Indonesia yang mengalami hal serupa dengan Kampung Singdangbarang Bogor.
Saya sedikit sedih mendengar berita itu. Dana-dana untuk kampung adat lain di seluruh Jawa Barat mungkin juga tidak ada. Pada saat kearifan lokal sedang menjadi daya kekuatan Indonesia , justru tidak ada dukungan keuangan dari pemerintah daerah. tak heran, banyak kesenian lokal yang terancam punah¡Kdan bahkan sudah mati. Sedih sekali saya membayangkan generasi yang akan datang tidak akan lagi mengenal seni pantun Sunda, seni ronggeng gunung dan lain-lain. Mungkin mereka hanya akan mengenal seni-seni itu di museum¡Kpun kalau museum itu ada. Coba tengok warga negara asing yang datang ke Indonesia untuk belajar seni lokal, meneliti, dan menuliskannya dengan dana pribadi maupun dukungan pemerintahnya. Mengapa justru orang asing yang peduli dengan seni lokal Indonesia ? Mengapa bukan kita sendiri? Kalau pun ada orang Indonesia yang berjuang mati-matian untuk seni dan budaya Indonesia , perhatian pemerintah hanya seadanya. Apakah akan terjadi lagi kasus-kasus pencurian hak cipta kekayaan intelektual Indonesia oleh pihak di luar negeri? Bukankah ini adalah sebuah keprihatinan yang patut kita selipkan sedikit dalam khasanah pemikiran kita?
Pertanyaan itu memenuhi benak saya..dan tak mungkin terjawab lagi, sama seperti pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam seri tulisan Road to Holyland (amalagina.multiply.com).
Sore itu¡K..16 Desember 2007, sedih, kecewa menjadi bagian jiwa saya, sampai saat menjelang kepulangan kami ke Depok. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh kedatangan sekelompok anak kecil, yang berbisik-bisik:
"Itu kak Agi yaa?" dan saya mendatangi mereka berkata, "kenapa ya?"
"kak, kami boleh mupuk pohon ga?"
Saya terhenyak..lemas sesaat,kekecewaan saya sontak hilang
Dan mereka memperlihatkan pupuk urea atau KCl yang mereka bawa dari rumah.
"Masih ingat pohonnya ditanaman dimana? Kamu tanam pohon apa?"
Mereka berebut menjawab,"di sana , di sana . Aku tanam mangga."
"Aku tanam rambutan."
"Aku tanam buni."
Aku berkata, "carilah pohon kalian, siram yaa."
Tanpa menjawab, mereka berhamburan
Saat itu saya, kawan-kawan, pupuhu hanya bisa tersenyum dan kami berteriak, "pupuk dan siraaam yaa!"
Samar-samar dari kejauhan aku mendengar teriakan melengking, "iyaaaaaaaaaaaa."
Terima kasih untuk kawan-kawan seperjuangan: Lola, Mufti, Kenny, Aryo, kak Ocid, Risna. Kita ngariung lagi di Seren Taun Sindangbarang 23-27 Januari 2008!
Hatur Nuhun untuk sesepuh Simpay: Pak Agus Aris Munandar, kang Mumu spk
Salam,
Agni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar