Kamis, 27 November 2008

Balada Titik Nol

Perjalanan menuju Banda Aceh merupakan salah satu perjalanan panjang yang sangat menyenangkan. Sejak kecil, saya selalu menginginkan sampai di ujung Indonesia ...salah satunya di lepas pantai Sabang! Titik Nol....merupakan tujuan hidup saya.

Mungkin sama seperti perjalanan kami (Simpay FIB UI) menuju Holy Land (pencarian jati diri). Perjalanan ke titik 0 sepertinya saya samakan dengan mencari "Tanah suci" mencari jati diri ke titik nol. Ke titik nol...entah apa yang akan saya temukan.

Tak banyak yang saya lihat
Hanya saja bisa dirasa
Kehidupan manusia di Aceh yang sama kompleksnya dengan kehidupan manusia di Jakarta . Mungkin yang membedakan bahwa saya harus mengenakan kerudung/jilbab di tanah rencong ini! Semua perempuan harus mengenakan jilbab...terserah model bajunya seperti apa. Lengan pendek pn boleh¡Kasal pakai kerudung! Wow...saya agak siyoook melihat fenomena ini! Kenapa sekalian saja tidak usah pakai kerudung ya? Saya yang bukan pengguna kerudung merasa aneh dengan fenomena yang saya lihat. Sungguh saya merasa sakit hati....ahhaha...sakit hati yang tidak ada juntrungannya hanya karena terpaksa mengenakan kerudung...plus...ketika saya melihat beberapa kawan WNA yang bekerja di NGO asing tidak mengenakan kerudung saat berada di jalanan¡Kkenapa lagii ini?
Aaargh....seharusnya ketika datang ke Aceh saya berubah bentuk dulu menjadi bule!
Ahahhaha
By the way...bukan itu intinya..
Hehehe

Saya terharu melihat hamparan warung dan rumah took yang menjual makanan. Banyaaak sekaliiii. Mie Aceh, nasi goring, nasi gurih, sate matang, martabak, bahkan baso dan es cendol pun ada. Saat itu saya berujar, saya bias hidup lama di Aceh kalau makanannya beraneka ragam begini. Makanan padang pun ada. Hanya saja...saya tidak menemukan WARTEG. Jadi....tiadalah warteg macam sasari seperti yang ada di bilangan gang cengkeh Margonda Depok yang sehari-hari menjadi tongkrongan banyak mahasiswa.

Kembali ke sate matang,
Makanan ini merupakan makanan favorit saya selain mi kepiting.
Sate sapi bakar yang dihidang dengan gulai daging berlemak menjadi andalan banyak toko makanan di Banda Aceh. Dan saya sangat menikmatinya. Harganya memang agak mahal, hitungan 20ribuan, tapi tak masalah lah....apalah arti 20ribu untuk kenikmatan di luar Pulau Jawa!
Tak ketinggalan saya mencicipi nasi goreng khas aceh yang dihidangkan bersama gorengan seperrti kepiting goreng, udang goreng, ayam goreng, dan telur dadar goreng!
Ditambah asingan bawang merah penambah selerah. Wuiiih sedap betul.
Ketika saya menikmati hari terakhir di Banda Aceh dengan hidangan (lagi-lagi) sate matang, martabak dan beberapa bongkah udang goreng...saya teringat makanan udang dan kerang yang ada di Jakarta. Dan entah mengapa saya teringat sebuah tanyangan di salah satu stasiun televisi swasta yang memberitakan tentang makanan oalahan yang diolah secara sembarangan: seperti jamu yang dipalsukan (lengkap dengan pemalsuan kemasan), cumi yang dicuci dengan pemutih pakaian, kerang hijau yang direndam dengan pewarna plastik, makanan kadaluwarsa yang dikemas ulang, tahu yang diberi zat kimia, beras yang diberi pemutih dan masih banyak lagiii.
Sejenak saya kwatir, apakah makanan di Aceh juga diperlakukan sama?
Sedih sekali saya mengingat tayangan televisi itu. Makanan-makanan yang seharusnya menyehatkan malah diolah dengan salah kaprah hanya demi meraup keuntungan!
Gila...gilaaa...kemanakah logika? Kemanakan hati nurani?
Makanan yang sudah busuk dan seharusnya dibuang, dikembalikan ke alam supaya terus bersirkulasi dalam rantai makanan malah diolah kembali menjadi produk baru dengan tambahan zat kimia, campuran bahan lain, bahkan dikemas ulang. Hanya karena menginginkan keuntungan dan memanfaatkan budaya konsumerisme masyarakat Indonesia.

Oke laaah....pejabat dan orang kaya mungkin akan mendapat kualitas makanan yang sangat baik. Tapi bagaimana dengan nasib rakyat biasa, golongan menengah ke bawah yang akan membeli bahan makanan pasar? Sedangkan di pasar pun sekarang kebanjiran produk makanan impor asing yang tak terjamin mutunya, kebanjiran olahan makanan hasil pemalsuan dan penambahan bahan kimia berbahaya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa para pengolah itu tega memberikan racun untuk orang lain?
Mengapa hanya karena keuntungan, meraka tega meracuni bangsanya sendiri?
Saya yakin, mereka dan keluarganya tidak memakan makanan yang mereka olah dengan racun itu!
Mungkin alasa mereka melakukan itu karena mereka juga dituntut harus hidup. Sedangkan tidak ada kesejahteraan yang datang pada mereka. Mereka pun rela membuang hati nurani mereka hanya untuk kesejahteraan pribadi.
Dari mana datangnya kesejahteraan? Dari siapa?
Dari negara? Dari pemerintah? Dari kantor? Dari Koruspsi? Dari pemasungan seni? Dari mana?
Satu kasus makanan....merupakan salah satu titik dari ratusan titik dalam rantai lingkaran setan sistem di negeri ini. Saya hanya sedih. Hanya bisa sedih. Karena saya juga penggemar kerang hijau yang diambil dari kawasan perairan laut Jakarta yang sudah tercemar.

Saya siiy cuma bermimpi bahwa oknum-oknum yang tegaan itu segera ditangkap. Dan saya mengusulkan, sebaiknya mereka jangan dipenjara di balik jeruji besi. Cukup di konsentrasikan saja dalam rumah-rumah mereka dan lingkungan mereka, berikanlah makan dengan dengan makanan yang pernah mereka olah dengan pemutih pakaian,pewarna plastik dan lain-lain selama 2 tahun berturut-turut. Saya rasa mereka pantas memakan hasil olahan mereka sendiri. Bagaimana???? ANDA ADA IDE LAIN?

Oow...kejamnyaa hidup ini.
Perjalanan ke titik nol malah diingatkan dengan makanan yang diolah serampangan, yang akan sangat berabahaya bagi kesehatan manusia.
Renungan ke titik nol, sementara ini selesai

agni malagina

Tidak ada komentar: