Setelah beberapa hari istirahat dari perjalanan Cigugur, perjalanan mencari pemahaman jati diri dalam seri Road to Holyland kali ini membawa kami ke acara Tutup Taun Ngemban Taun Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat, tertanggal 10 Januari 2008.
Tak terbayangkan sebelumnya apa, bagaimana dan ada apa di daerah itu. Perjalanan dimulai dari kegelisahan saya untuk menengok sebuah upacara Tutup Taun di kampung adat yang terletak berdampingan dengan TPA (tempat pembuangan akhir) Leuwi Gajah nan legendaris karena longsornya pernah menimbun puluhan warga di sekitar TPA tersebut.
Perjalanan menuju Cireundeu dimulai saat ojeg yang membawa saya tersesat entah kemana. Berputar, menjauh, melewati lahan persawahan, panas terik matahari membakar kulit, dan pada intinya adalah NYASAR!! Namun nyasar di Cireundeu adalah salah satu pengalaman manis mencari nilai luhur dan keberagaman ke-Sunda-an.
Cireundeu, dimulai dari masyarakat Cirendeu mulai mengenal Pangeran Madrais (Cigugur) sejak tahun 1918. Abah Asep mengaku sampai sekarang falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Yang paling menarik adalah bahan makanan pokok yang dimakan oleh warga kampung Cireundeu RW 10. Singkong dibuat menjadi nasi singkong. Sesepuh Cirendeu mengaku bahwa mereka sudah makan singkong sejak tahun 1924. Generasi tua Cirendeu pun mengiyakan bahwa mereka tidak mengenal rasa nasi. Saya memikirkan bagaimana rasanya makan singkong selamanya. Tapi mereka mengaku tidak ada masalah dengan memakan singkong. Saya bertanya mengapa warga Cirendeu makan singkong? Beberapa mereka bercerita bahwa pada tahun 1924-an, banyak warga yanng menanak nasi dari hasil sawah mereka. Dalam jangka waktu yang panjang, setiap mereka menanak nasi maka hasilnya tidak baik untuk dimakan, rasa tidak enak dan cepat basi. Kemudian mereka memutuskan untuk mengolah singkong sebagai makanan pokoknya. Meraka mengaku tidak tergantung pada beras, maka saat daerah lain mengalami musim paceklik, mereka tidak mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. Mereka menyatakan syukur atas nikmat alam dari Tuhan dengan cara melaksanakan Upacara Tutup Tahun, Ngemban Tahun. Seperti yang saya datangi pada tanggal 10 Januari 2008, Tutup Tahun 1940 S, Ngemban Tahun 1 Sura 1941 Saka.
Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 1 Muharam, atau yang sering disebut 1 Sura. Upacara ini pun kemudian dikenal dengan sebutan Suraan. Sehari sebelum perhelatan Suraan digelar, dikabarkan tidak ada intensitas kesibukan yang tinggi. Hanya persiapan-persiapan rutin tahunan yang sudah biasa digelar. Memasak, menyiapkan hidangan, menyiapkan sesajen, membuat gunungan dari buah-buahan, pertunjukkan kesenian dan doa dalam semangat kebersamaan dan gotong royong. Suraan kali ini dilaksanakan dengan semangat ’mugia rukun repeh rapih sareng sasama hirup’. Sebuah slogan yang sangat menyentuh hati. Kala keharmonisan ditegaskan. Apa makna dibalik semoga hidup rukun antar manusia? Sebuah perenungan yang membutuhkan daya kontemplasi tinggi. Bagaimanakah seharusnya kita hidup saling berdampingan dengan sesama manusia? Pertanyaan yang perlu kita pikirkan bersama. Sasama hirup....apakah hanya dengan manusia saja? Saya rasa tidak...rukun tidak dengan hanya dengan sesama manusia, tapi dengan sesama mahluk hidup lainnya. Hidup berdampingan dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Bagaimana caranya? Salah seorang sesepuh mengatakan bahwa manusia di Cirendeu dan juga manusia lain harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan. Kuncinya tidak hanya simpati, tapi juga empati. Tapi dimana empati itu kini?
Hanya menjadi wacana rasa yang wararasa?
Dimanakah rasa cinta terhadap sesama manusia? Dimanakah rasa cinta manusia terhadap lingkungannya? Dimanakah rasa cinta manusia terhadap hutannya? Tiada rasa cinta, tiada kerukunan, maka tiada keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alamnya, manusia dengan Tuhan.
Sunda merupakan jati diri, tutur Abah Asep. Sederhana, tahu rasa, dan dekat dengan alam merupakan salah sekian tuntutan hidup sebagai orang sunda. Silih asih, silih asuh, dan silih deudeuhkeun harus menjadi semangat hidup warga Cirendeu. Sebuah masyarakat adat apabila sudah tidak memiliki ciri tradisinya makan akan hilang jati dirinya. Saat hilang jati diri, maka hilanglah sebuah bangsa.
Saya memikirkan beberapa kalimat terakhir. Indonesia dengan beragam masyarakat dengan tradisi masing-masing memiliki kearifan lokalnya sendiri-sendiri. Apabila kearifan lokal Sunda, Bali, Dayak, Suku Anak Dalam dan yang lainnya tidak dilestarikan, bagaimana bangsa Indonesia mengenal jatidirinya? Tanpa ada masyarakat-masyarakat adat tersebut, tentu tidak akan ada Indonesia? Banyak diantara masyarakat adat tersebut mengalami pergeseran budaya akibat seleksi alam dan jaman. Pengaruh globalisasi seakan menggempur dan nyaris menghancurkan nilai tradisi masyarakat adat. Namun yang mengerikan apabila terjadi sebuah keputusan dari kelompok elit yang berusaha menghilangkan masyarakat tradisi karena kepercayaan, tradisi, ritual yang dijalankan tidak sejalan dengan ideologi kelompok elit tersebut, sampai-sampai harus disebut ’aliran sesat’. Apa yang terjadi ketika masyarakat adat Baduy yang menjadi salah satu ikon budaya Jawa Barat disebut aliran sesat oleh MUI? Hal ini perlu direnungkan bersama. Dimanakah negosiasi antara adat dan religi? Entah mau dibawa kemana arah bangsa ini...
Sebelum saya meninggalkan Cirendeu, saya masih sempat menyaksikan anak-anak kecil berebut mengambil buah-buahan yang dihias pada gunungan setinggi 1 meteran. Beberapa diantaranya juga mengambil kue-kue sesaji. Hanya 2 nampan yang tidak mereka sentuh, satu nampan berisi cangkir-cangkir mini (berisi beras, tepung, kopi, gula) dan satu nampan berisi 2 piring bubur merah bubur putih. Kami bersyukur pada Tuhan atas berkah yang diberikan selama satu tahun ini, kami bersyukur bisa terus berkesenian, hidup rukun dengan warga dan alam di sini, ujar Kang Agus yang getol melatih anak-anak usia muda bermain kecapi.
Akhir perjalanan, saya menumpang kru Bandung TV yang dimotori Dadang Domba sang aktor dalam acara Pulang Kampung sambil menikmati lagu-lagu Bang Roma.....minus kacapi suling dan tarawangsa yang bertengger jumawa menguasai isi MP3 player saya. Mati.
Perjalanan selanjutnya, Seren Taun Giri jaya, Cidahu, Sukabumi
salam,
agni malagina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar