Kamis, 27 November 2008

Seri road to holyland: Ruwatan Kampung Banceuy, saat tumbal terkubur.

Setelah beristirahat dari perjalanan Seren Taun Cigugur, saya melanjtukan lagi perjalanan menuju Kampung Banceuy, sebuah kampung yang memang tak pernah terbayang dalam ingatan saya. Perjalanan kali ini dimulai dari keisengan seorang kawan ntuk mengajak saya melihat sebuah kesenian gembyung, setelah itu say segera berangkat walaupun hanya dengan dana 20ribu rupiah. Tetapi dengan tambahan uang dari seorang teteh akhirnya saya bisa stay disana untuk 1 hari 1 malam.

Perjalanan menuju banceuy dimulai dengan bertem teman di kampus STSI Buah Batu Bandung kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan menaikik angkot sampai daerah Lembang setelah itu disambung dengan sebuah angkutan jenis ELF menuju Subang, dan perjalanan menuju tempat ini memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan dari Bandung. Setelah itu kami menaiki ojek dari ciater menuju banceuy, konon daerah ini masih memiliki pemandangan yang masih cantik untuk sekedar dicapture lewat kamera jenis SLR, sehingga kawan saya pun tak luput untuk melewatkan kesempatan ini.

Perjalanan kali ini mengantarkan saya untuk mengikuti acara Ruwatan bumi untuk menyambut Tahun baru Saka 1941 yang belum pernah terputus sejak 200 tahun yang lalu, disebuah kampung di tengah puncak gunung di daerah Subang, yaitu kampung Banceuy Desa Sanca Kabupaten Subang. Konon dari cerita masyarakat setempat kampung Banceuy didirikan sekitar tahun 1807 yang merupakan perpindahan dari kampung Negla yaitu 200 M arah timur dari kampung Banceuy setelah angin puting beliung menghantam kampung Negla yang dibuka oleh Eyang Ito atau Uyut Artawijaya. Nama Banceut diambil dari bahasa sunda “ngabanceuy’ yang artinya bermusyawarah menyelesaikan sebuah urusan. Sebagian besar penduduk Banceuy mempunyai pekerjaan sebagai petani padi dan palawija selain itu ada juga yang menjadi peternak sapi potong. Adapun tingkat pendidikan warganya rata-rata hanya sampai SMP tetapi ada juga pengajian untuk menambah wawasan pengetahuan keagamaan warga masyarakat Banceuy khususnya ibu-ibu.

Saat kami sampai di Banceuy, kami diterima di rumah bapak A. Ruhendi atau yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Iin beserta kelarga dan sesepuh lainnya. Di rumah ini kami sedikit berbincang tentang searah kampung Banceuy, setelah itu kami bertemu dengan rombongan Disbudpar Kabupaten Subang kemudian berbincang kembali sampai pukul 20.00 malam. Setelah itu kami beranjak menuju tempat diadakannya Gembyung lantas ketika prosesi Gembyung selesai kami menginap dirumah Abah Karlan.

Banceuy menurut pengakuan pupuhunya yaitu Abah Karlan mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Cirebon karena ada kemungkinan Uyut Artawijaya atau yang dikenal dengan Eyang Ito merupakan keturunan dari Cirebon, sehingga jenis padi yang dipakai oleh warganya juga sam dengan Cirebon yaitu padi putih. Adapun permasalahan norma atau Pamali hampir sama dengan daerah-daerah adat Sunda yang lainnya, selain itu uniknya di daerah ini tidak ada sar itutur sepuh yang mengharuskan warganya membangun rumah dari bilik bambu sehingga warga masyarakatnya sekarang hampir sebagian besar menggunakan bangunan permanen yang dimulai dari tahun 1958.

Kampung Banceuy saat ini dipimpin oleh seorang sesepuh bernama Karlan Sastradijaya atau Ahrub yang lebih dikenal dengan Abah Karlan, beliau dibantu oleh A. Ruhendi dan Ukar untuk urusan ritual ngaruat dan kesenian lainnya. Kesenian yang terdapat di daerah banceuy antara lain pencak silat, Gembyung dan Dog-dog, tetapi kesenian yang paling terkenal adalah gembyung atau terebang.

Acara Ruwatan yang kali ini dilaksanakan merupakan salah satu rangkaian acara dalam menyambut Tahun baru 1941 Saka atau yang lebih dikenal dengan nama suraan. Pada acara ini yang menjadi sentral dari kegiatannya adalah acara ngaruwat atau ngagembyung dan numbal disamping acara yang lainnya seperti helaran, ziaah ke situs atau makam. Gembyung ini merupakan kesenian asli banceuy yaitu kesenian yang dgunakan untuk ruwatan atau selametan selain itu gemnbyung dimaknai juga sebagai ritual seni yang diujukan untuk menghormati leluhur, sehingga gembyung tidak hanya dilaksanakan pada acara inti seperti mapag taun atau suraan tapi juga pada acara nikahan, selametan rumah dsb. Gembyung pada prosesinya dimainkan oleh 3 pemain rebana, 1 pemain kendang dan 1 pemain kecrek serta 2 penari laki-laki dan 1 penari perempuan dengan diiringi oleh sembilan tembang diantaranya adalah Bismilais, Yau-yau, Benjang, Engkleq, Kepat Endang, Ayun Ambing, Kembang Gadang, Raja Sirna dan Yang Moleyyang.

Selain gembyung yang menjadi acara inti adalah numbal, prosesinya dilaksanakan pada pagi hari yaitu sekitar pukul 8 pagi. Pada prosesnya pertama dibuat lubang kemudian semua sesaji yang telah disiapkan dikubur setelah itu dialirkan darah ayam yang disembelih diatasnya kemudian dikubur dan diatasnya diletakan kepala, sayap, kaki, buntut serta bulu punggung ayam yang disembelih sebelumnya kemudian dikubur kembali lantas ditanami pohon hanjuang, naramsa, jawer kotok dan tebu setelah itu dilafalkan jampi-jampi lantas ditutup dengan menyiram pohon tersebut dengan aur beras merah.

Numbal dalam hal ini digunakan sebagai sebuah jalan untuk memberikan ketentraman pada warganya, karena menurut pengakuan warga sekitar seperti Cicih yan berusia sekitar 40 tahun menyatakan jika numbal tidak dilaksanakan maka akan terjadi bala yang akan menimpa warga banceuy seperti angin puting beliung dan wabah penyakit, dan hal ini dikuatkan oleh pernyataan dari Yati dan Tasrib yang merupakan warga asli banceuy. Dari pelaksanaan prosesi tersebut saya sadar bahwa kemauan orang untuk memegang tradisinya akan membawa mereka menuju hal yang dinamakan ketentraman.

Akan tetapi lebih dari prosesi tersebut hal lain yang menarik untuk saya pribadi adalah sosok pribadi orang tua bernama Abah Karlan yakni seseorang yang telah berusia 75 tahun dengan kewibawaan dan keceriannya selalu menarik perhatian saya. Abah Karlan merupakan kuncen atau pupuhu ketiga setelah Uyut Artawijaya atau Eyang Ito dan Padijaya, pengetahuan serta kemampuannya sampai saat ini belum ada yang menandingi, disamping itu canda guraunya yang sedikit menyita perhatian saya dengan menggunakan budaya lama sebagai acuan guraunya dan juga kerendah hatiannya yang membawa beliau menjadi manusia yang tidak sombong.

Dari pertemuan saya dengan beliau, saya melihat bagaimana sosok tua Abah Karlan masih tetap segar dan mampu membina warga masyarakat Banceuy untuk tetap melestarikan nilai budayanya dengan tetap melaksanakan acara ruwatan bumi pada waktu pergantian taun Saka. Abah Karlan yang merupakan keturunan langsung dari Eyang Ito yaitu orang yang membuka kampung banceuy ini sedikit memperlihatkan kebijaksanaannya dengan tidak pernah mau mengusik pandangan yang menyudutkan posisinya dan tetap berada dalam posisi yang cukup bijaksana dalam melihat perbedaan. Pandangan-pandangannya tentang kebudayaan dan agama sangat berbau kaum posmois yakni meletakan kebijaksanaan tanpa pernah menghujat inilah yang membuat saya sedikit tercengang, karena epistemologi pengetahuan akan tradisi Sunda telah mengantarkan beliau menjadi manusia yang bijak.

Karenanya, pada perjalanan singkat saya kali ini menyiratkan sebuah pertanyaan besar dalam benak saya, yakni apakah nilai-nilai tradisi yang diimani dan diamini dengan teguh lantas akan membawa manusia yang mengamininya menuju kesempurnaan pemahaman akan perbedaan ditengah semua gejolak perbedaan yang membuat pertikaian ?. Tentunya itu merupakan pertanyaan besar yang harus saya jawab dalam perjalanan-perjalanan lain menuju Hollyland.

Pada saat hendak melakukan perjalanan pulang menuju Bandung, saya sempat melihat arak-arakan para penari yang diiringi oleh musik khas sisingaan dan mereka menari sambil terlihat seolah mabuk dan menarik perhatian saya sebenatar karena musiknya seolah membawa para penari menuju puncak trans disamping tambahan minuman keras yang mereka minum yang membuat mereka seolah semakin gila karena ketidaksadaran mereka. Lantas ketika pulang, kami dianrakan oleh 2 orang pegawai Disbudpar Kabupaten Subang sampai kepertigaan Ciater, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bandung dengan disertai obrolan-obrolan hangat tentang prosesi ritual yang baru kami alami di Banceuy.


Salam,
Mufti Ali S
muftiali.multiply.com

Tidak ada komentar: