Setahun belakangan ini gw banyak jalan-jalan...yaa emang ga jauh-jauh siiy...hanya seputaran Gunung Salak, itupun untuk alasan pencarian sesuatu yg mungkin ga penting bagi banyak orang. Seneng banget gw bisa liat banyak pemandangan..kenal banyak orang baru...seneng banget...apalagi kalo udah ada sesi foto-foto....hahaha...bisa narsis soalnya...
banyak juga gw jumpa fotografer dari pelbagai lapisan...dari pemula, amatir, sampai profesinal. Proresional pun terbagi lagi...ada yang profesional dengan jam terbang taraf internasional, ada profesional yang jam terbang nasional, ada profesional yang mengaku punya jangkauan daerah luas, ada pula yang mengaku sebagai profesional...nah untuk urusan ini gw agak sulit membedakan antara amatir yang mengaku profesional dengan profesional beneran..hahaha....
gw kadang bingung ketika ketemu fenomena fotografer muda yang punya gaya motret puluhan gaya...gw pikir dia ngambil gaya itu pasti dari Kamasutra...moto sampai tiduran di tanah, guling-gulingan, kayang...haduuuh....
sampai gw bingung apakah fotografer profesional itu selalu bergaya seperti itu. iyaaa...siiiy...gw kagum sama kamera dengan zoom2 yang puanjang itu, yang bisa 32 kali jepret dalam 1 kali klik..(haduh apa istilahnya tuu)...dan kebanyakan pemuda2 itu make kamere canggih dan mahal tentunya yaa....dengan gaya yang bikin gw pusing. sampai bikin gw kwatir...takut kalo-kalo mereka keinjek kalo pas lagi moto parade reak (seni barong Sunda khas Subang) yang tampil di Festival Budaya Jawa Barat kemarin. untunglah selamat...
banyak juga pertanyaan muncul...
apa siiy fungsinya fotografer dan foto yang ia buat dari gaya-gaya moto begitu? apakah ga bisa bikin foto bagus dengan gaya biasa saja?
belum lagi gw sempat bertemu dengan seorang pimpinan rombongan fotografer di sebuah daerah yang menegaskan pada anak buahnya bahwa motret hanyalah motret. bahwa kepentingan mereka di daerah itu hanyalah motret...
gw sedih buanget...mereka para fotografer muda itu hanya menganggap budaya sebagai objek, benda yang bagus untuk diabadikan. mungkin mereka tidak mau menyentuh dengan tulius dan mengikat emosi mereka di dalam budaya itu....gw bingung...apakah fotografer itu bukan pelaku budaya? apakah benar bahwa kepentingan mereka hanyalah membuat foto untuk kemudian dipamerkan? apa bisa foto itu bercerita jika jiwa pemotretnya tidak bersatu dengan alam dari budaya yang dipotretnya?
di suatu sisi, banyak pihak sedang berusaha mencairkan ketengangan, merobohkan pembatas...di sisi ini malah para fotografer membangun tembok dengan objek fotonya...tidak mau cair dengan sekelilingnya...dan bersikap bahwa mereka adalah juru foto pro. sedih banget gw....sedih banget...
ini curhatan gw..curhatan orang yang seneng foto-foto...seorang yang mengaku sebagai fotografer narsis..
salam
agni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar