Kamis, 27 November 2008

Seri Road to holyland: Giri Jaya - Sejenak bernafas di Giri Jaya

Sekali lagi, perjalanan ke arah pemahaman jati diri mengantarkan saya ke tempat-tempat yang tak pernah saya pikirkan sebelumya. Giri Jaya...saya tidak pernah tau apa nama Giri Jaya itu. Apa artinya. Yang saya tau hanya Jaya Giri, itupun karena saya mendengar lagu Abah Iwan yang berjudul Melati dari Jaya Giri plus nonton latar tempat kawah putih Jaya Giri di dalam film GIE. Betapa saya ini seperti katak dalam tempurung, tidak tahu apa-apa....tentang Jaya Giri apalagi Giri Jaya.

Dari Sindangbarang saya ikut menaiki truk ukuran sedang bersama 2 orang utusan dari Kampung Budaya Sindangbarang dengan misi meminjam lisung (alat penumbuk padi yang terbuat dari gelondongan kayu sebuah pohon) kepada Abah Eneng, pupuhu kampung adat Kasepuhan Giri Jaya. Perjalanan kali ini agak santai karena saya terlebih dulu mendengar kabar bahwa medan yang akan kami tuju tidak sekejam seperti jalanan menuju Ciptagelar yang sempat membuat saya JetLag selama satu minggu. Hari Sabtu, tanggal 2 September 2007, pagi hari kami meluncur meninggalkan Kampung Budaya Sindangbarang. Dengan berat hati saya meninggalkan kawan-kawan seperjuangan yang sedang membantu Ama Maki(Achmad Mikami Sumawijaya) di Pusat Media.

Sebelum meninggalkan Bogor, Mang Ujang dan Kang Dodol mengajak saya untuk sarapan di sebuah kedai soto kaki di bilangan jalan Empang, Bogor. Yang jelas, kedai makan itu terletak di dekat masjid Al Mutaqin. Terpana saya melihat kedai soto itu. Meja hanya ada 2 bagian. Digunakan sebagai tempat makan sekaligus memajang makanan. Hebat. Daging, urat, kulit kaki yang telah direbus bumbu kuning terhampar dengan jumawanya. Banyak orang yang sudah antri mengambil daging-daging tersebut. Antri menunggu giliran dagingnya diproses oleh sang penjual. Giliran saya tiba, suapan pertama merupakan pengalaman batin yang tak terlupakan. Daging kenyal yang saya duga keras ternyata begitu empuknya, menyatu rasa dengan kuah soto yang kuning bening. Soto yang sudah 25 tahun berjaya itu tetap menyajikan resep turun temurun yang teruji. Terbukti dari panjangnya antriannya.

Puas menghabiskan tetes terakhir sang soto, kami pun mulai bergerak meninggalkan Bogor menuju Sukabumi. Langsung meluncur ke Giri Jaya. Rupanya saya menuju sisi timur Gunung Salak, sebuah gunung yang menjadi inspirasi bagi pendiri Pajajaran untuk merepresentasikan Paku yang Berjajar (puncak-puncak Gunung Salak) dalam nama Pakwan Pajajaran, dan memilih lokasi kerajaan tersebut di antara dua buah sungai yang berjajar….Nenek moyangku luar biasaaa….[1]

Semakin dekat dengan sisi timur Gunung Salak, semakin menanjak jalannya. Namun tampaknya pemda setempat (Sukabumi) sudah memberi perhatian khusus pada jalan-jalan akses menuju kasepuhan Giri Jaya. Jalan aspal memang tidak sesempurna daerah perkotaan, namun tampaknya jalan yang cukup bersahabat tersebut turut memajukan perekonomian, mobilitas penduduk, dan aksesibilitas yang tinggi di daerah sekitarnya. Hampir 3 jam perjalanan saya rasakan dengan sangat nyaman. Melintasi jalan naik turun berliku berkelok, melewati persawahan dan sungai, tak lupa pula melewati dua pabrik AQUA di Cidahu.

Ketika sampai di Giri Jaya, saya dapat merasakan segarnya udara bersih. Harumnya udara di sana terasa sangat ramah, hembusan anginnya pun sangat lembut menyentuh permukaan kulit saya. Keramahan udara di sana pun sebanding dengan keramahan warga dan keluarga Abah Eneng. Setelah menyampaikan maksud dan undangan Festival Budaya Jawa Barat kepada Abah eneng, kami disuguhi ketela rebus yang dimakan dengan gula pasir plus segelas teh manis panas….luar biasa….
Dengan terbata-bata… saya pun sok akrab dengan bertanya tentang sebuah rumah besar berarsitektur, arsitektur yang sangat saya kenal…karena mirip dengan rumah kakek di Jogjakarta. Karena saya agak terkejut, mengapa bentuk rumahnya bukan seperti imah gede yang ada di Ciptagelar atau Sindangbarang.Terlebih dulu saya harus meyakinkan Abah Eneng bahwa saya bukan penutur bahasa Sunda yang aktif berbahasa Sunda, hanya saja memang ada darah Sunda yang mengalir dalam tubuh ini. Untunglah Abah Eneng cukup memahami keterbatasan saya sebagai orang yang mengaku orang Sunda namun tidak bisa berbahasa Sunda. Dan mulailah beliau bercerita…
“Neng, rumah itu dibangun tahun 1830 oleh Abah Abu. Nah Abah Abu teh datang ke sini (Giri Jaya) tahun 1927 dari Solo.”
Sepenggal kalimat itu masih saya ingat sampai sekarang. Dari sepenggal kalimat itu saya pun menjadi banyak bertanya….bertanya lagi…bertanya lagi….entah berapa pertanyaan yang sudah muncul dalam seri Road to Holy Land ini. Saya berusaha mencari jawaban atas pertanyaan awal seri ini…”Siapakah Saya?”
Saya berpikir akan mendapat jawaban dari pertanyaan saya dalam perjalanan-perjalanan yang saya lakukan bersama kawan-kawan dari FIB UI. Namun semakin lama berjalan…semakin banyak pertanyaan yang terlintas…
Giri Jaya pun membuat saya bertanya lagi….

Sejarah keluarga Abah Abu di Giri Jaya sudah dituliskan. Jelas bahwa keluarga ini berasala dari Solo...dan masih ada hubungan dengan keraton Surakarta. Namun mengapa mereka memilih Gunung Salak sebagai tempat tinggal mereka merupakan pertanyaan tersendiri. Mengapa Kasepuhan ini ada di Giri Jaya?…padahal masa mereka ada sangat jauh dari masa Pakwan Pajajaran. Namun menurut Bapak Agus Aris Munandar keberadaan kasepuhan Giri Jaya merupakan hal penting di sekitar Mandala Gunung Salak. Begitu pula naskah kuno yang disimpan oleh Abah Eneng. Naskah yang menggunakan tulisan huruf Jawa masih menungu untuk dibaca. Menguak tabir sejarah keberadaan kasepuhan Giri Jaya. Fakta yang menarik adalah….Abah Eneng yang notabene adalah keturunan Keraton Surakarta ternyata tidak bisa membaca huruf Jawa yang ada dalam naskah tersebut atau pun berbahasa Jawa. Tradisi Solo pun tidak ada di kampung ini. Hanya ada berupa bangunan Imah Gede yang masih menggunakan ragam hias dan arsitektur rumah adat Jawa Tengah. Pun mereka melaksanakan upacara Seren Taun setiap tahunnya. Sama seperti kasepuhan Ciptagelar, Cigugur dan lainnya. Menarik sekali…permasalahan identitas di sini menjadi sangat beragam. Mulai dengan pertanyaan dari mana asal Abah Abu membuat saya bertanya, apa yang Abah Abu pikirkan ketika memutuskan pindah/lari ke sisi timur Gunung Salak. Apakah Abah Abu yang konon adalah bangsawan Solo tidak menurunkan adat istiadat dari keraton Surakarta kepada penerusnya…? Mengapa kasepuhan Giri Jaya yang masih mempunyai darah Solo justru sekarang sudah menjadi orang Sunda, berbahasa Sunda dengan baik dan menganut tradisi Sunda, salah satunya Seren Taun? Upacara Seren Taun pun menjadi penanda terjadinya identitas hybrid dalam kasepuhuan Giri Jaya. Abah eneng tidak lagi bisa berbahasa Jawa. Saat ini beliau adalah kepala kasepuhan Giri Jaya….sayang…pertemuan kami sangat terbatas. Hanya 30 menit…tidak mungkin menjawab semua pertanyaan yang bersliweran dalam benak saya pada saat itu…

Pencarian pemahaman jati diri segelintir anak muda ini masih panjang. Masih banyak perjalanan-perjalanan yang akan kami lakukan. Dan masih akan ada lagi tulisan-tulisan seri Road to Holy Land untuk mencari secercah cahaya pelipur lara, mendapatkan setetes air peluruh dahaga…..dan tetap dimulai dari Sindangbarang…pencarian jati diri ini kami harap dapat mewakili mungkin ada beberapa perasaan yang sama dengan kami di luar sana…entah di mana….entah siapa….

Kami pun pamit bergerak pulang menuju Sindangbarang. Saya akan segera bertemu kawan-kawan yang sedang bersemangat membantu kampung Budaya Sindangbarang. Mungkin saya akan kembali lagi saat mengembalikan lisung Giri Jaya yang turut bergerak menuju Sindangbarang. Kembali lagi ke Giri Jaya untuk mencari jawaban….mencari….tidak hanya sekedar menanti….Menanti Sebuah Jawaban seperti kata grup band PADI.

Salam
Agni malagina


[1] Tulisan tentang Gunung Salak yang berhubungan dengan nama Pakwan Pajajaran adalah hasil pemikiran bapak Agus Aris Munandar (FIB UI). Keterangan lebih lanjut, silahkan menghubungi beliau. Pada saat ini, beliau sudah mengemukakan pendapatnya dalam tulisan ilmiahnya.

Tidak ada komentar: