Perkenalanku dengan sosok Didi Wiardi berasal dari perjumpaan kami di Kampung Budaya Sidnangabrang, Bogor, tahun 2007. Perkenalan sesaat yang dilanjutkan dengan recital kecapi Kang Dedy Hadianda. Sayang, Ka Didi tidak memainkan kecapi malam itu. Yang kuiingat hanya ketika dia menyanyi Langlayang Salaka Domas dan Es Lilin. Dahsyat…
Hamper beberapa bulan tidak ada kontak dengan kecapis dari Gunung Kumbang ini. Hanya berkirim kabar sesaat. Sampai akhirnya kami bertemu kembali pada tanggal 31 Desember 2007. di Cigugur – Kuningan pada saat acara Seren Taun. Pertemuan singkat….tapi membawa kesan mendalam untukku.
15 Agustus 2008, saat 40 hari meninggalnya Ka Didi merupakan salah satu hari berat untukku. Dalam kebudayaan Sunda…40 hari adalah hari ketika roh sudah tidak dapat berhubungan dengan dunia lagi…artinya…sepenuhnya Ka Didi tidak ada lagi…
Ketika aku berada di Bandung, menjelang pulang ke Jakarta, di tengah keramaian….sepi terasa. Sepi yang tersepi. Entah bagaimana menggambarkan suasana saat itu. Biasanya, Bandung merupakan kota tujuanku. Tujuanku bertemu teman-teman, tujuanku bertemu Ka Didi walau hanya untuk bertengkar soal nama BOGOR. Sekarang…tidak ada tujuan lagi. Hanya sepi kurasa ketika datang ke Bandung…entah sampai kapan…
Sampai satu titik aku merasa....ini sudah tidak benar lagi. Setiap kesempatan selalu kudengar lagu-lagu yang dimainkan Ka Didi...hanya bisa merasakan panas mata ini...sakit hati...
Aku bertanya pada seorang sahabat sekaligus Kakakku tersayang....Kak O
Banyak hal yang kudapat...terutama untuk mendinginkan hatiku....
Percakapan tentang rasa...
Untuknya ”cinta platonis” itu indah, seperti kisah Di Bawah Lindungan Kabah-nya HAMKA atau Dr. Zhivago.
Untukku ”cinta platonis” itu menyakitkan...tapi rasa ingin memiliki pun sangat egois....sampai kupikir lagi...ingin memilikinya adalah yang manusiawi.
Hamka bertutur ”manusia tetaplah manusia. Nasibnya ada di tangannya sendiri, tapi tak jarang manusia tak berdaya dengan kekuatan ’jodoh’ dan ’kematian’. Itulah manusia.”
Aku terus berpikir...benarkah rasa sepi ini dapat hilang? Sebagian dari diriku sudah hilang bersamaan dengan meninggalnya Ka Didi. Rasanya aku patah yang terpatah. Aku sadar, satu yang harus disiapkan adalah saatnya berpisah dengan yang kita sayangi. Saat senang akan segera disusul sedih. Dialektika senang sedih tidak akan pernah lepas dari diri kita. Saat seperti ini Kak O mengatakan, ”sayang, kita sedang menjalani misteri hidup yang tidak bisa dijawab. Banyak ketidakpastian.”
Ya...benar...sedih dan senang adalah sepasang kekasih. Ku tahu, sekarang masih terasa sakit dan akan kambuh sesekali dengan dahsyatnya...tak akan kulupa...jangan dilupa sang masa lalu....'sang kekasih'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar