Senin, 24 Juni 2013

Tjan Tjoe Som 1903 – 1969: Sepenggal kisah sunyi di Sinological Institute, Fakultet Sastra Universitet indonesia

Agni Malagina (Tulisan ini dibuat berdasarkan arsip-arsip yang ditemukan di Program Studi Cina pada tahun 2009, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris serta ditambahkan beberapa aspek substansi oleh Prof. A.Dahana) “In any case I try – however difficult this maybe – to see everything ‘sub specie aeternitatis’ ” – Tjan Tjoe Som, 1968 Dalam sejarah perkembangan Sinologi di Indonesia, nama Prof. Dr. Tjan Tjoe Som (曾祖森) seharusnya menjadi nama besar yang ada di garda depan pendidikan Sinologi Indonesia. Sejarah mencatat namanya sebagai orang pertama yang diminta oleh pemerintah untuk memimpin Lembaga Sinologi (漢學研究院), Fakultet Sastra, Universitet Indonesia. [1] Selama 50 tahun terakhir, namanya masih tetap dikenal sebagai seorang sinolog yang dipupuk oleh Sinological Institute Universitas Leiden, Belanda di bawah bimbingan JJL Duyvendak. Namun di Indonesia, tak banyak generasi muda mengenal nama Tjan Tjoe Som yang pernah menduduki jabatan kepala Lembaga Sinologi Universitas Indonesia pada tahun 1953 – 1958. Masa Remaja dan Pendidikannya Tjan Tjoe Som lahir di Solo pada tanggal 15 Februari 1903, dan besar dalam keluarga muslim taat. Keluarganya juga menjalankan perusahaan batik di Solo. Beliau sempat menjalani pendidikan HCS (Hollandsch-Chineesche School) Surakarta, kemudian melanjutkan pendidikannya di AMS (Algemeene Middlebare School) di Jogjakarta. Sebelum sempat menyelesaikan AMS, Tjan muda kembali ke Solo untuk melanjutkan bisnis batik “De Bliksem” keluarganya yang mengalami penurunan sejak berakhirnya Perang Dunia I. Saat berada Solo itulah Tjan muda mempelajari Sinologi dan Islamologi secara otodidak. Ia juga tertarik kepada filsafat dan antropologi. Kemudian ia berjumpa dengan Dr. H. Kraemer (penulis A Christian Message in a Non Christian World, kemudian menjadi kepala Oecumenical Institute) yang mendorong Tjan Tjoe Som belajar Sinologi ke Belanda untuk menjadi murid Prof. Duyvendak.[2] Tjan tiba di Belanda pada tahun 1953 dan masuk Universitas Leiden jurusan Sinologi pada tahun 1936. Dalam tulisan A.H T’oung Pao, disebutkan bahwa Tjan Tjoe Som mengisi hari-harinya dengan belajar tekun bahkan menjadi pustakawan handal yang mengurusi koleksi Institut Sinologi Leiden. Pada tahun 1947 Leiden mempunyai ide untuk mendirikan semacam perkumpulan Studi Cina di Eropa. Ide ini mendapat sambutan baik dari beberapa universitas penyelenggara kajian Cina. Kemudian mereka pun bertemudi Universitas Cambridge (Inggris) dalam acara Conference of Junior Sinologues, Cambridge and Oxford, pada tahun 1948. Saat itu Leiden diwakili oleh Tjan Tjoe Som, AFH Hulwese, R.P.Kramers, P. Swann, dan Mrs. H.Wink. Hasil pertemuan perwakilan Sinolog Junior dari Leiden, Cambridge, Oxford, Stockholm, Paris, dan London itu berhasil membentuk Eropean Association for Chinese Studies, EACS, (欧洲汉学学会), tahun ini EACS berusia 60 tahun.[3] Pada tahun 1949 Tjan Tjoe Som mendapat gelar doktornya setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Po Hu T’ung: The Comprehensive Discussions in the White Tiger Hall: A Contribution to the History of Classical Studies in the Han Period, dengan predikat Cum Laude, dan dianugerahi Prix Stanilas Julien. Puncak karir ahli Cina Klasik ini pun ditandai dengan pengangkatannya sebagai profesor luar biasa bidang Filsafat Cina di Universitas Leiden. Pemahamannya tentang filsafat Cina dan Islam membuatnya dikenal sebagai orang yang sangat halus dan bijak.[4] Setelah itu, Prof. Tjan diangkat sebagai kepala Departemen Filsafat Cina. Pada tahun 1952 terbit volume kedua dari Po Hu T’ung dan pada tahun inilah Tjan Tjoe Som pulang untuk memenuhi panggilan negara, mengabdikan diri sepenuhnya kepada negara Indonesia. Berkarir di Indonesia Tahun 1952, Pemerintah Republik Indonesia memintanya untuk datang dan menduduki jabatan sebagai ketua Lembaga Sinologi di Universitas Indonesia. Sudah 17 tahun di Belanda, tjan yang banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan ini pun kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah airnya, Indonesia. Ia meninggalkan kemapanan dan nama besar sebagai seorang Sinolog di Belanda sekaligus Eropa pada masa itu. Koleganya di Leiden mencoba untuk menghalangi niat Tjan Tjoe Som untuk pulang. Namun Tjan sudah memutuskan, dari pada duduk di menara gading, ia memilih kembali ke tanah air walaupun penuh ketidakpastian. Ia percaya bahwa selain dapat terus belajar danmengajar di Indonesia, ia akan mampu melakukan sesuatu untuk Republik Indonesia yang masih belia. Kehidupan Berorganisasi Tahun-tahun pertama Tjan kembali ke Indonesia, ia disibukkan mengurusi Lembaga Sinologi yang dipimpinnya bersama beberapa pengajar, diantaranya Drs. Sie Ing Djiang, Oe Soan Nio, Koh Chung Chuen, dan Aman Kombali. Buku-buku dari pelbagai penerbit pun dipesan dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Tak heran, koleksi perpustakaan Sinologi sampai saat ini memiliki koleksi terbitan sejak awal abad 19.[5] Tahun 1957, A.H. T’oung Pao bertemu dengan Tjan pada acara “Junior Sinologues Conference” di Padua, Itali. Presiden Sukarno memberi penghargaan kepadanya dengan mengangkat Tjan sebagai salah seorang anggota Madjalis Permusjawaratan Rakjat Sementara (1959). Pada tahun yang sama, Tjan juga diangkat sebagai anggota Dewan Perancang Nasional Perwakilan Ilmuwan. Pada tahun 1960, ia diundang dalam acara XIII International Conference on the Problems of Chin di Moskow, Rusia. Beberapa kali beliau juga mengadakan kunjungan ke Peking, RRT. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1968) Tjan Tjoe Som menjadi anggota HSI (Himpunan Sardjana Indonesia) yang dianggap sebagai organisasi underbow Partai Komunis Indonesia. Dalam arsip catatan surat masuk dan surat keluar Program Studi Cina sejak tahun 1957 tercatat, Prof. Tjan melakukan lawatan ke luar negeri, diantaranya ke Rusia, Itali, dan Cina. Tahun 1963 – 1965 Tjan menjadi penasehat di kantor berita Warta Bakti versi bahasa Cina Zhong Cheng Bao. Masa tua Gerakan 30 S/PKI agaknya menjadi titik balik seorang ahli filsafat Cina dan hukum Islam ini. Tak dinyana tak diduga, pada tanggal 10 November 1965 berdasarkan surat Dekan FS UI No: S/18/FS/XI/Pedek.II/65 mengenai pembebasan sementara dari segala tugas dan kewajiban di FS UI bagi mahasiswa di lingkungan FS UI dan dilanjutkan dengan surat rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965 lampiran nama para dosen, Prof. Dr. Tjan Tjoe Som dinonaktifkan dari dunia akademis Universitas Indonesia. Tak hanya Tjan Tjoe Som, adiknya – Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem pun ikut dinonaktifkan.[6] Pada tahun 1968, datang Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Republik Indonesia tertanggal 12 Januari 1968 yang menyebutkan bahwa Prof. Dr. Tjan Tjoe Som yang memiliki status Guru Besar (gol /VII) pada FS UI di Jakarta, diberhentikan tidak dengan hormat dengan hak pensiun. Surat keputusan tersebut jelas menyebutkan bahwa atas dasar pemeriksaan yang teliti dan seksama terdapat petunjuk atau patut diduga, bahwa ia secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam gerakan apa yang menamakan dirinya ”G 30 S” dan karena ia ternyata menjadi anggota biasa dari bekas organisasi massa terlarang yang seazas/bernaung/berlindung di bawah partai terlarang PKI. Disebutkan juga bahwa ia sebagai pegawai negeri dianggap telah melakukan perbuatan/pelanggaran yang ternyata yang bertentangan dengan kepentingan dinas dan negara.[7] Pada waktu surat tersebut dikeluarkan, Prof. Dr. Tjan Tjoe Som berusia 64 tahun 10 bulan. Beberapa bulan sebelum Prof. Tjan meninggal, ia menulis: “after all, I have had such a curious life that my present experiences should not astonish me. Who knows what all this is good for.” Prof. Dr. Tjan Tjoe Som meninggal di Bandung enam minggu sebelum ulang tahunnya ke 66 dikarenakan serangan jantung. Kemudian jenasahnya dibawa dan dimakamkan di Solo. Tahun 1976 sang adik, Prof.Dr. Tjan Tjoe Siem meninggal ketika mengambil air wudlu dan dimakamkan di sebelah sang kakak. Memoar Tjan Tjoe Som Sudah 60 tahun terlewati sejak Tjan Tjoe Som yang dikenal oleh sahabatnya (diantaranya adalah Ibu Yesi Agusdin, Program Studi Arab, FS UI) di Fakultas Sastra sebagai sosok bijaksana, rendah hati, berpandangan luas dan paham akan syariat Islam ini menancapkan namanya di dunia Sinologi Internasional. Ketelitian, keahliannya dalam filsafat Cina tentu tak perlu diragukan. Penulis menemukan tulisan-tulisan terjemahan naskah klasik yang kiranya hanya untuk digunakan sebagai catatan pribadi Tjan Tjoe Som. Bundelan-bundelan kertas aus itu tentu menjadi saksi bisu pengabdian Tjan Tjoe Som kepada dunia Sinologi di Indonesia. Karyanya besarnya Po Hu T’ung yang diterbitkan oleh Leiden Brill menjadi saksi kebesaran namanya. Beberapa karya ilmiah sempat ia tulis, seperti De Plaats van de Studie der Kanonieke Boeken in de Chinese Filosofie, Leiden: Brill (1950 dan 1952); On the Rendering of the Word “Ti” as “Emperor” (Journal of American Oriental Society Vol. 71 No.2, Apr – Jun, 1951); Sardjana Sastra dan Pembangunan Kebudyaan Nasional: Sebuah Prasaran (Jakarta, 1961); Tao de Tjing (Jakarta, 1962). Tjan Tjoe Som memang ahli filsafat Cina yang gemar menghabiskan waktunya di perpustakaan Sinologi sampai larut malam sambil menerjemahkan naskah klasik, namun ia turut mengembangkan pemahaman multidisiplin terhadap Studi Cina di Universitas Indonesia.[8] Terlihat dari skripsi lulusan tahun 1955 pun jenisnya beraneka ragam, linguistik, sejarah, sastra, filsafat pun dipilih mahasiswa Sinologi saat itu sebagai bahan kajian. Kurikulum sekitar tahun 1950 sampai 1960 pun sangat menekankan pada bidang keterampilan berbahasa, dan pengetahuan tentang studi Cina. Semasa Tjan Tjoe Som menjadi pengajar, didampingi koleganya yang tak putus semangat mampu mencetak sinolog-sinolog seperti Lie Chuan Siu, Sie Ing Djiang, Tan lang Hiang, Lie Swan Nio, Oe Soan Nio, Oei Ertie Nio, Tan Giok Lan (Mely Tan), Gondomono, Warin Dijo Sukisman, Bastomi Ervan, Abdulah Dahana. Sistem pengembangan Sinologi di Indonesia dibawa oleh Tjan Tjoe Som dari Leiden Belanda sekaligus meneruskan pendahulunya Dr. M.J. Meijer. Maka sejarah perkembangan Sinologi/Studi di Cina dapat disebut mengadopsi sistem Eropa, sebagaimana diketahui pada masanya, Eropa sebagai pelopor studi Cina di dunia. Tjan pun mampu mengawinkan Studi Cina dengan ilmu lainnya yaitu sosiologi dan antropologi. Maka lahirlah formula studi Cina di Indonesia yang sangat khas, kajian Cina di Indonesia pun sah menjadi bahan kajian di Universitas Indonesia.[9] Prof. Dr. Tjan Tjoe Som mungkin menjadi korban tuduhan yang kurang beralasan hanya karena ia menjadi anggota HSI yang notabene ada di bawah PKI. Keterlibatannya dengan PKI pun tidak dapat dibuktikan secara langsung. Apakah Tjan yang mengabdikan seumur hidupnya untuk perkembangan Sinologi mampu berkhianat kapada Ibu Pertiwi? Semua sudah terkubur bersama lukanya. Namun sejarah Indonesia tidak bisa menafikkan bahwa Tjan Tjoe Som adalah peletak batu pertama Studi Cina di Indonesia. Putra bangsa pertama yang memimpin Lembaga Sinologi tertua di nusantara. Tjan Tjoe Som akan tetap menjadi bagian dari sejarah perjalanan Studi Cina di Universitas Indonesia, di Indonesia. 60 tahun pendidikan Sinologi di Indonesia, Tjan Tjoe Som layak dijuluki sebagai Bapak Sinologi Indonesia. Referensi: A.H. T’oung Pao. 1969. Tjan Tjoe Som 1903 – 1969, “T’oung Pao”, Vol. 55, No. 1-3. Leiden: Brill. European Association for Chinese Studies. 2008. EACS Newsletter, No. 40. Jahja, Junus. 2003. Peranakan Idealis Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: KPG. Suryadinata, Leo. 1995. Prominent Indonesian Chinese Biographical Sketches. Institute of South East Asian Studies. Arsip surat menyurat Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Arsip Perpustakaan Sinologi FIB UI. * Agni Malagina asisten pengajar Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. [1] Dalam dokumen surat tulisan tangan Sie Ing Djiang yang ditemukan dalam arsip Program Studi Cina pada tanggal 17 November 2008, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, disebutkan bahwa Lembaga Sinologi – pada tahun 1960 surat itu dibuat disebut dengan Jurusan Sastra Tionghoa – dibentuk pada tahun 1948. Mata kuliah yang diajarkan pada tahun awal berdirinya Lembaga Sinologi untuk menghasilkan ‘sardjana sastra dan Bahasa Tionghoa’ adalah Modern en Documentair Chinees, Klassiek Chinees Teksten, Chinese Cultuurgeschiedenis. (Lihat dokumen ‘Ontwerp regeling van het Examen Sardjana Sastra Bahasa Tionghoa dan Bahasanya’, dikeluarkan oleh Dr. M.J. Meijer dan Dr. R.P. Kramers pada tanggal 3 Februari 1951, arsip Program Studi Cina FIB UI) Dalam Pedoman untuk tahun akademi 1952 – 1953 Universitet Indonesia, disebutkan bahwa Lembaga Bahasa dan Sastra Tionghoa memiliki pengajar dan konservator yaitu Dr.M.J.Meijer. Meijer dibantu Dr.R.P Kramers dan J.King sebagai dosen di lembaga tersebut. Adapun tujuan pengadaan lembaga ini adalah sebagai sebuah seminari Lembaga Sinologi tersebut memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkuliah dalam hal pengetahuan Bahasa dan Sastera Tionghoa. Lembaga tersebut juga didirikan sebagai lembaga penelitian yang disebut memiliki perpustakaan dengan koleksi terbanyak di Asia (saat ini sebagian koleksi yang masih dapat diselamatkan berada di dalam Perpustakaan Koleksi Cina FIB UI yang dibangun atas sumbangan dari Lee Foundation 2003, Singapura. Terdiri dari koleksi salinan naskah klasik, buku-buku tua dari pelbagai penerbit di Eropa dan Amerika yang berkaitan dengan sejarah sastra filsafat dan budaya, jurnal EFEO dari tahun 1920, koleksi kamus, ensiklopedia, dan buku-buku sumbangan dari Kedutaan Besar Rakyat Tionghoa di Indonesia) [2] JJL Duyvendak (28 Juni 1889 – 9 juli 1954) menjadi Profesor di Universitas Leiden pada tahun 1930. Kemudian mendirikan Sinological Institute. Tjan Tjoe Som menjadi pustakawan di konservatori naskah Cina. [3] Pada pertemuan tersebut, London diwakili oleh E.G.Pulleyblank dan H.M.Wright; Paris diwakili oleh J.Gernet dan J.W.de Jong; Stockholm diwakili oleh H.Bielenstein; Cambridge diwakili oleh E.B.Ceadel, P.Van der Loon, M.C.Van der Loon, J. de Morpurgo, dan G.Scott; Oxford diwakili oleh W.A.C.H.Dobson, D.Hawks, K.G.Robinson. Hadir pula Sinolog Senior yang mempresentasikan makalahnya yaitu Prof. Haloun (Cambridge), Dr. A. Waley dan Prof.W.Simon (London), dan Prof. H.H.Dubs (Oxford). Setiap tahun mereka mengadakan pertemuan. Bahkan pada tahun 1955 Amerika, Rusia, dan Cina bergabung dalam organisasi ini. Pada tahun 1975 barulah EACS memiliki formal organisasinya. Saat ini President EACS adalah Brunhild Staiger, Institute of Asian Studies, Hamburg, Jerman. Sekretariatnya berada di Cambridge, dipimpin oleh Roel Sterckx, Departement of East Asian Studies, Universitas Cambridge. (EACS Newsletter, No. 40, 2008) [4] Tjan Tjoe Som menulis banyak terjemahan naskah klasik. Pada tanggal 19 November 2008 ditemukan tulisan-tulisan Tjan Tjoe Som dalam amplop-amplop kecil. Berisi terjemahan naskah klasik, tulisan tangan dalam kondisi masih terbaca jelas, runut, namun kertas sudah dalam kondisi tua kecoklatan. [5] Dalam dokumen pemesanan buku terdapat beberapa kota antara lain, Hong Kong, Peking, Taiwan, Malaysia, Singapura, Tokyo, Den Haag, Cambridge, Leiden, Petty Curry Inggris, Hamburg, New York. Dokumen berasal dari tahun 1953 – 1964. Pembelian buku terbesar terjadi pada tahun 1957 – 1959. Dana pembelian buku berasal dari dana UNESCO coupon, ada juga beberapa dana milik Jurusan Sastra Tionghoa. (lihat dokumen tanda terima pembelian buku Perpustakaan Sinologi. Disimpan di Koleksi Cina, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia) [6] Berikut daftar 18 orang pengajar Fakultas Sastra yang dibebastugaskan: Prof. Dr. Tjan Tjoe Som, Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, Ny. E Kamil, Drs Ave, Drs. Rahardjo, Drs. Sie Ing Djiang, Dra. Ina Slamet – Velsink, Ny. J.B. Ave, Aman Kombali, Ny. Soehadiono, Soehadiono, Ny. Hartini Soegiono, Ny. Murtini Suwardhi Pendit, Abdullah Umar, Tjipta Trunadjaja, Sjukri Siregar, Usaha Tarigan, T.W.Kamil. Dalam dokumen tersebut juga dilampirkan nama-nama mahasiswa Fakultas Sastra yang dibebastugaskan, terdiri dari Jurusan Indonesia(8), Sinologi(5), Jerman(5), Purbakala(3), Rusia(6), Nusantara(2), Antropologi(6), Inggris(3), Arab(2), Sejarah(3), total adalah 43 mahasiswa. Mahasiswa Jurusan Sinologi adalah Wenly Lie, Nani Retno Pamungkas, Tity Soemiati, Ming Ya, Lie Ming In. (Surat Rektor No: S/17/FS/XI/65 tertanggal 13 November 1965, ditemukan dalam arsip Program Studi Cina pada tanggal 18 November 2008) Mereka kemudian disebut oknum-oknum kontrarevolusioner. Dalam seruan tersebut disebutkan kategori para oknum yaitu orang yang menjadi ketua/anggota pengurus pusat HSI, anggota pimpinan Universitas Republica, pengajar Aliareham, Ronggowarsito, Multatuli, Universitas Rakyat dan Lekra. (Lihat SERUAN Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, tertanggal 11 Desember 1965. Arsip Program Studi Cina, FIB UI.) [7] Surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudajaan Republik Indonesia tertanggal 12 januari 1968, berdasarkan Surat Rektor Universitas Indonesia di Jakarta tanggal 23 desember 1966 no 242/BR/66 tentang pemberhentian pada dosen dalam lingkungan Fakultas Sastra UI. [8] Pada tahun 1953, Lembaga Sinologi juga memberi pelajaran khusus pada mahasiswa tugas belajar yang berasal dari Dinas Luar Negeri untuk Kementrian Luar Negeri. Pendidikannya disebut berupa kursus, dan diadakan untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah akan tenaga ahli Sinologi praktis. Mata pelajarannya antara lain adalah Bahasa Cina Moderen, sejarah politik, kebudyaan Tionghoa, dan ilmu pengetahuan masyarakat. Pada tahun itu, kursus tersebut sedang dipersiapkan untuk menjadi acara Perguruan Tinggi. Lembaga Sinologi juga memberikan bantuan kursus menengah untuk Ilmu Sejarah untuk kepentingan Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. (Lihat dokumen surat UMS464-BD, 10 oktober 1953, ditujukan kepada Mr. Hatnan Moh. Ahmad, Direksi Asia Pasifik, Kementerian Luar Negeri R.I. di Jakarta, ditandatangani oleh Prof. Dr. Tjan Tjoe Som). [9] Pada masa selanjutnya, Program Studi Cina FIB UI mengembangkan diri tidak hanya meneruskan peninggalan Tjan Tjoe Som, namun turut memperkaya khasanah Studi Cina dengan paradigma baru yang dibawa oleh Abdulah Dahana, Christine Tala Bachrun yang membawa angin segar dari University of Hawaii dan Cornell University. RRT dan Taiwan pun menjadi sumber ilmu Bahasa Cina yang dikembangkan Program Studi Cina, FIB UI.

Tidak ada komentar: