Senin, 24 Juni 2013

Geliat Barongsai nan Eksotis: Dari global ke lokal, kembali ke global

Satu hal yang mencolok terjadi setelah Peristiwa Mei 1998 adalah munculnya Barongsai dan tarian singa dan naga di banyak kota di Indonesia. Mula-mula hanya pada perayaan tahun baru Imlek saja tarian itu diperagakan. Tapi selanjutnya tarian Barongsai (demikian disebut di Indonesia) diperagakan di banyak kesempatan. Misalnya, pada kesempatan pembukaan sebuah mall, atau peristiwa-peristiwa penting semacam pembukaan pesta olah raga, pawai di jalan protokol, dan lainnya. Dengan kata lain terjadilah boom tarian Barongsai, suatu hal yang mengagumkan, karena untuk jangka waktu yang amat panjang (30 tahun) tarian ini dilarang sama sekali diperagakan di tempat umum di seluruh wilayah Indonesia. Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh Presiden Abudrahman Wahid tarian Barongsai segera hidup lagi dan menjadi atraksi yang memikat di seluruh Indonesia. Saat ini di banyak kota Indonesia telah muncul banyak kelompok penari Liong (Naga) dan Barongsai, yang berciri profesional bahkan kormersil. Tak dapat diingkari bahwa maraknya tarian Barongsai ini akan menghubungkan Indonesia kepada gejala yang sama yang terjadi di seluruh kota-kota di Asia Tenggara yang didiami oleh etnis Cina. Di Kuala Lumpur misalnya diadakan lomba Barongsai internasional, yang mempertemukan kelompok Barongsai di Asia Tenggara. Peristiwa ini dengan sendirinya menghubungkan kelompok-kelompok serupa yang ada di Hong Kong, Taiwan, bahkan juga Daratan Cina. Lewat kelompok Barongsai ini Indonesia terhubung dengan simpul-simpul yang mementaskan tarian Barongsai. Tulisan ini bermaksud menanggapi geliat Barongsai yang sedemikian menggejala di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Mengapa bisa terjadi demikian? Apakah ini merupakan ekspresi kebebasan yang dialami oleh etnis Cina akibat Reformasi 1998? Ataukah ini merupakan kegiatan yang setelah 10 tahun sebenarnya sudah meluas, tidak ada terbatas pada etnis Cina, tapi telah menjadi ekspresi kebudayaan orang Indonesia pada umumnya? Makalah ini memaparkan tentang barongsai, tidak termasuk tari liong didalamnya. Pada bagian pertama dari makalah ini menyajikan asal usul tarian singa yang lebih sering kita kenal sebagai Barongsai. Bagian ini akan menguraikan sejarah tari singa di negeri asalnya, Cina. Pada bagian kedua diuraikan perkembangan Barongsai di Indonesia dengan menggunakan data wawancara yang dikumpulkan pada bulan Mei 2009 karena sumber tertulis masih sedikit yang dapat diperoleh.[1] Sementara pada bagian ketiga akan diuraikan bagaimana wacana Barongsai yang menggeliat cantik erotik di Indonesia bersinggungan dengan wacana kontestasi politik dan etnisitas yang berkembang di dunia. 1. Pementasan Barongsai ”Barongsai” yang dikenal dengan舞狮wǔshī merupakan tari tradisional rakyat Cina yang sudah ada sejak abad 3 SM. Hal ini berhubungan dengan kisah mitologi yang berkembang pada masa Dinasti Tang (618 – 906). Suatu ketika salah seorang raja bermimpi bertemu dengan mahluk yang menyelamatkanya. Keesokan hari sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dan menceritakan bentuk mahluk yang hadir dalam mimpinya. Menteri mangatakan bahwa mahluk itu adalah singa yang datang dari Barat (India). Raja kemudian memerintahkan agar menteri membuat replika mahluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu singa menjadi simbol keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Walaupun singa bukan binatang asli Cina, kreasi bentuknya digunakan sebagai hadiah bagi kaisar dari generasi ke generasi. Ragam hias bentuk singa pun tidak terlau banyak muncul dalam ragam hias Cina tradisional karena ragam ini diperkenalkan oleh pengaruh Budhisme yang masuk ke Cina sebagai simbol pembela kebenaran dan penjaga bangunan suci. Biasanya Barongsai dipentaskan pada kesempatan pesta atau perayaan tradisional Cina, misalnya Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Tarian ini biasanya ditampilkan sebagai sebuah tarian yang diiringi oleh tabuhan kendang dan genderang, juga simbal, alat-alat musik khas Cina. Suasana amat riuh dan sekaligus mengairahkan. Barongsai berbentuk seekor singa, yang berkepala besar sekali, dengan mulut menganga, gigi lancip dan taring besar serta mata yang melotot keluar, kelihatan menyeramkan. Tapi wajah dan kepala singa dihias indah, sehingga malah berkesan lucu. Tubuh singa bersisik-sisik, dan pada bagian belakang terdapat ekor yang kecil. Satu Barongsai dimainkan oleh dua orang, bagian kepala dan bagian badan. Dua orang ini memang harus sangat kompak sehingga Barongsai benar-benar kelihatan menari, dengan indah dan lincah. Tidak jarang Barongsai dipentaskan dalam gerak akrobatik yang memukau sekaligus mendebarkan. Inilah yang menambah daya tarik Barongsai. Selain diiringi genderang dan simbal, Barongsai juga sering dipentaskan dengan iringan letupan petasan, yang memekakkan telinga. Petasan dipercayai dapat menakut-nakuti serta menghalau roh jahat, dan sekaligus membawa keberuntungan dan kemakmuran. Untuk membuat tarian semakin atraktif, ditambahkan juga permainan bola (要狮子y1osh9z-) yang dimainkan oleh dua orang (laki-laki). Bola-bola ini dihias dengan warna-warna mencolok. Bola ini sering dimaknai sebagai matahari, tapi ada pula sebagai telur, simbol kekuatan alam. Konon singa barongsai ini dapat menghasilkan susu dari telapak kakinya. Maka penonton meletakkan bola dalam aneka macam corak yang dapat digunakan oleh singa untuk bermain-main dan menghasilkan susu untuk mereka. Dalam ragam hias, yang biasanya dalam bentuk arca, singa jantan digambarkan sedang membawa bola, sedangkan singa betina ditemani singa kecil atau kerincingan alat musik. Singa ini pun muncul menjadi ragam hias utama bak dua naga yang bertarung berebut mutiara kehidupan. [2] Sebelum pementasan diperlukan persiapan-persiapan khusus. Wawancara dengan kelompok Barongsai dari klenteng Ho Tek Ceng Sin, Bogor, mengungkapkan bagaimana persiapan-persiapan dijalankan, ketika perayaan Imlek akan dilaksanakan. Para pemainnya harus berpuasa tidak makan daging, hanya makan sayuran, selama dua minggu sebelum upacara berlangsung untuk menyucikan diri dari nafsu duniawi. Mereka pun harus melakukan beberapa ’ritual’ seperti membersihkan barongsai, kemudian meletakkannya di atas altar yang sudah tersedia sesaji buah jeruk atau apel yang berjumlah ganjil simbol kesejahteraan. Ritual ini dilakukan agar upacara dan pertunjukkan berjalan lancar. Sebelum upacara para pemain bersembahyang terlebih dahulu. Kemudian sebuah kertas mantra yang ditulis dengan ’darah’ dari upacara potong lidah pun ditempelkan pada kepala sang barongsai oleh sang saman yang sudah ’kerasukan’ roh leluhur. Setelah proses ini selesai, barongsai pun beraksi hampir selama 30 menit. Waktu 30 menit adalah waktu yang cukup lama untuk memainkan barongsai tanpa berganti pemain. Beberapa di antara pemain ini mengatakan bahwa sangat sulit mempertahankan stamina kekuatan, kecepatan, kelenturan dan ekpresi Barongsai pada kesempatan pertunjukan di luar klenteng agar tetap menarik di hadapan penontonnya. Namun tidak demikian jika mereka melakukan pertunjukan di klenteng. Odhi yang menganut agama Budha mengatakan bahwa bermain selama 30 menit tidak akan terasa lelah, bahkan ketika ada rasa lelah datang, tiba-tiba mereka sekan-akan memperoleh kekuatan baru untuk bermain sampai akhir. Para pemain ini pun mengaku merasakan dorongan kekuatan tersebut datang tiba-tiba dan mereka percaya bahwa kekuatan tersebut datang dari berkah para leluhur yang ’hadir’. Lain lagi jika barongsai dimainkan di lingkungan para praktisi kungfu. Sebuah sekolah kungfu belum disebut sekolah kungfu apabila belum memiliki tim Barongsai. Dalam membawakan tarian ini diperlukan kekuatan, stamina, kelenturan, keseimbangan dan kemampuan untuk memvisualisasikan serta memunculkan gerakan dan ekspresi dramatik. Pemain Barongsai berjumlah dua orang yang masing-masing memegang bagian kepala dan menjadi ekor. Kepala Barongsai sangat berat – biasanya dibebani logam, memerlukan bahu dan lengan yang kuat. Sedangkan pemain di bagian ekor lebih memerlukan kekuatan di pinggang dan kaki serta kecepatan ketepatan mengikuti gerak kepala Barongsai.[3] Apabila Anda penggemar Jet Li dan sempat menyaksikan film kungfu berjudul Once Upon Time in China (1991) dengan tokoh utamanya adalah Wong Fei Hung, Anda akan menyeksikan barongsai digunakan sebagai alat berkomunikasi adu kekuatan antar perkumpulan kungfu se-Cina yang sedang giat-giatnya mengobarkan semangat revolusi melawan Dinasti Qing. Kemudian muncullah tokoh legendaris Wong Fei Hung sebagai master barongsai. Pada saat itu barongsai memiliki fungsi sebagai wacana kekuasaan yang dimunculkan melalui representasi, simbol kekuatan dan ritus resistensi terhadap kekuasaan hegemoni. Selama beberapa abad, barongsai diturunkan dari guru di sekolah kungfu kepada muridnya. Seiring dengan diaspora etnis Cina, barongsai pun kemudian menyebar bersama diaspora etnis Cina ke segala penjuru dunia. 2. Barongsai di Indonesia Kata “barongsai” tidak dikenal dalam bahasa asal permainan ini. Kiranya ada pergeseran dalam hal pengucapan. Christin Bachrun dalam tulisannya “Barongsai: singa atau naga?”[4] menyebutkan bahwa kata ‘Barongsai’ bisa sepenuhnya berasal dari Bahasa Hokkian ‘bbu lang say’ (舞弄狮w&l$ngsh9) dilafalkan ‘bulangsai’ oleh kelompok masyarakat berbahasa Hokkian dan terdengar ‘barongsai’ oleh penduduk lokal.[5] Sejarah masuknya barongsai ke Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Kemungkinan barongsai muncul dan berkembang di Indonesia pada masa keemasan ketika warga Cina masuk dalam kategori penduduk Hindia Belanda golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) [6]. Pada masa kolonial, para imigran Cina yang datang ke Indonesia sudah cukup mapan untuk mengadakan acara pertunjukan barongsai. Pada masa itu barongsai menjadi bagian dari kegiatan di klenteng-klenteng yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Klenteng Dhanagun (Bogor), misalnya, didirikan pada abad ke-18 dan memiliki kelompok pemain barongsai. [7] Saat itu pertunjukkan Barongsai masih erat kaitannya dengan tradisi dan upacara keagamaan. Tradisi Barongsai masuk ke Indonesia diperkirakan datang bersama para imigran Cina yang berasal dari Provinsi Guangdong, sebagai terlihat dari bentuk barongsai yang ada di Indonesia.[8] Di Indonesia ditemukan varian lain dari barongsai, yaitu Kielin. Kielin (麒麟q0l0n)yang dimiliki oleh kelompok silat PGB[9] ”Bangau Putih” ini merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia. Oleh karenanya Kielin satu-satunya ini sangat dihormati oleh semua Barongsai yang ada di Indonesia. Bersama tiga binatang lain yaitu burung Hong, Naga, dan Harimau, Kielin dianggap sebagai binatang suci. Tarian Kielin ini dibuat dengan karakter Kielin binatang tunggangan para dewa dalam tradisi Cina klasik. Kielin menjadi istimewa karena karakteristik tarian yang jauh dari kesan dinamis, walaupun tetap atraktif.[10] Memasuki masa Republik Indonesia, Barongsai tetap dapat dipentaskan. Barongsai dimainkan pada acara dan festival etnis Cina, seperti Tahun Baru Imlek. Klenteng-klenteng biasanya menjadi pusat kelompok Barongsai. Salah satunya adalah Bio Hok Tek Ceng Sin di Bogor, yang sudah berdiri sejak tahun 1950-an. Dalam jangka waktu 30 tahun lebih barongsai lenyap dari wilayah publik di Indonesia. Kalau toh dimainkan, hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi. [11] Suharto jatuh pada Mei 1998, dan sebelumnya pecah Peristiwa Mei 1998 yang terdiri dari penjarahan dan pembakaran toko-toko milik etnis Cina. Dua peristiwa ini secara kebetulan membuka ruang kebebasan etnis Cina. Kemarahan dan frustrasi akibat Peristiwa Mei itu menemukan penyalurannya begitu pintu “reformasi” dibuka setelah Suharto dilengserkan. Bersama dengan kelompok-kelompok lain, kelompok etnis Cina juga menuntut diakhirnya otoritarianisme di Indonesia. Pada kesempatan yang sama etnis Cina mengambil langkah membebaskan diri dari kungkungan peraturan yang diskriminatif dari masa Suharto. Barongsai muncul sebagai bentuk ekspresi kebebasan ini. Tanpa mengindahkan peraturan maupun perundangan yang masih berlaku, permainan Barongsai dimainkan lagi di beberapa tempat. Tapi baru pada tahun 2000 Barongsai secara resmi boleh dipentaskan, yaitu sejak Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) mencabut Keputusan Presiden RI no.14/1967 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden no. 6 tahun 2000. Barongsai dari klenteng Bio Ho Tek Ceng Sin, misalnya, resmi aktif memulai latihan pertamanya pada tahun 2000. Kelompok yang memiliki anggota senior berusia sekitar 70-an itu pun kembali menggelar latihan tari barongsai dan liong di area klenteng. Tidak ada lagi agenda latihan sembunyi-sembunyi. Mereka generasi tua pun mengajari tehnik dasar bermain Barongsai kepada penerusnya yang tidak menguasai ilmu bela diri seperti mereka. Pada awal latihan, pesertanya adalah para pemain muda yang pernah berlatih era tahun 80 dan 90-an, berasal dari etnis Cina. Ditambah beberapa pemain baru yang terbilang masih ’hijau’ dan masih berasal dari kalangan etnis Cina. 3. Popularitas Barongsai Saat ini, menjadi pemain Barongsai tidak lagi memerlukan kemampuan bela diri berlatar belakang kungfu. Pemain hanya perlu berlatih kuda-kuda kokoh dan gaya utama. Latihan rutin merupakan kunci menguasai tari Barongsai dengan cepat, seperti Redi dan Robin yang mampu manguasai Barongsai dalam waktu enam bulan. Odhi pun mengakui hal yang sama, ia tidak membutuhkan waktu lebih dari dua tahun untuk mengusai teknik dasar dan puluhan variasi gaya yang dihasilkan dari proses kreatif kerja tim antara ’kepala’ dan ’ekor’. Kedua kelompok ini mengaku bermain di hadapan publik tidak pernah lebih dari 15 menit. Konsentrasi dan teknik memunculkan ekpresi Barongsai yang lucu adalah tantangan utama bagi setiap kelompok Barongsai. Semakin lucu ekspresi dan tingkah laku sang ’Barongsai’ semakin banyak akan mendapat perhatian penonton dan tentu akan mendapatkan angpao. Jika barongsai pada awalnya dimainkan oleh orang-orang dari kelompok etnis Cina, yang beragama Budha, kini dipentaskan oleh mereka yang beragama non-Budha. Rudi (22 tahun), Robin (16 tahun) dan Regi (13 tahun), keduanya dari etnis Cina tapi beragama Katolik. Keduanya menjadi anggota kesenian barongsai (Bogor) sejak tahun 2005. Mereka memilih ikut berlatih barongsai karena senang melihat barongsai dengan ekspresi lucu mampu bergerak cepat dan berloncatan tanpa terjatuh. Keduanya ikut berlatih pada sore hari, dua kali dalam seminggu. Rudi (22 tahun) mengatakan bahwa kedua anak tersebut merupakan pemain pemuda dengan gaya, kekuatan, dan kelenturan yang tak kalah dengan seniornya. Bahkan keduanya mampu mengembangan tehnik pertunjukan yang kreatif. Permainan barongsai juga menarik kelompok dari etnis lain non-Cina. Kini ditemukan banyak kelompok pemain barongsai yang beranggotakan pemuda dari etnis Jawa atau Sunda. Kelompok Kesenian Barongsai (KKB) di Bogor, misalnya, terdiri dari pemain etnis Cina dan juga kelompok suku lain. Bahkan jumlah pemuda dari suku Jawa dan Sunda lebih banyak. Perkembangan semakin jauh dengan adanya kelompok barongsai di Bogor yang didirikan oleh etnis Jawa atau Sunda dengan tujuan untuk mengembangkan barongsai sebagai salah satu cabang olah raga. Misalnya, Yungyung Wiharja mendirikan kelompok Barongsai Bogor tahun 2000 untuk mengembangkan olah raga. Barongsai sebagai kegiatan olah raga saat ini memang telah semakin diterima. Pak Uu, Sunda dan beragama Islam, sendiri memilih bergabung dengan Kelompok Kesenian Barongsai Bogor, karena ingin melatih fisik dan berolah raga rutin. Bagi mereka, menjadi pemain barongsai (dan juga liong) tidak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, hanya sebagai kesenangan dan olah raga. Mereka pun mengaku tidak pernah terlibat upacara ritual apapun selama menjadi pemain barongsai. Tim mereka lebih sering mengadakan pertunjukan atas undangan di pelbagai acara seperti pembukaan kegiatan, festival kesenian, dan acara keluarga. Barongsai tidak bisa tidak masuk mal-mal dan wilayah publik yang luas. Pada acara pembukaan mal atau restoran baru, misalnya, barongsai ditampilkan. Barongsai juga dimainkan pada acara peresmian gedung baru, kantor baru, restoran baru, juga bahkan rumah baru. Pementasan biasanya dipadati oleh penonton. Pementasan Barongsai, seperti dikatakan oleh kelompok barongsai Bio Ho Tek Ceng Sin juga dipakai untuk atraksi selama pemilihan umum. Secara perlahan pementasan barongsai memang mengalami pergeseran. Kecenderungan terbaru, barongsai muncul sebagai komoditas ’jajanan’ kaki lima yang permainannya muncul tanpa diundang dan sering disebut Barongsai ’ngamen’. Praktek komersialisasi barongsai di mal-mal ditiru oleh ”Barongsai mini” untuk menjajakan dirinya dengan mengetuk rumah-rumah dan toko-toko untuk memperoleh angpao ala kadarnya. Gairah terhadap Barongsai ini kemudian ditangkap oleh mereka yang berjiwa wiraswasta (entrepreneur), tentu saja. Tak jarang kelompok Barongsai dibentuk untuk memenuhi permintaan pasar. Kelompok-kelompok barongsai ini terdiri dari cukup banyak orang, dan berkembang secara profesional. Barongsai kini berwarna-warni mewah, bisa memainkan adegan-adegan yang mendebarkan. Para pemainnya – baik yang menarikan Barongsai maupun yang mengiringi dengan musik – semuanya nampak terlatih dengan baik. Tidak jarang lima atau enam barongsai dimainkan sekaligus, membuat suasana benar-benar semarak. Dengan demikian permainan Barongsai telah memasuki dunia komersial. Tapi tidak semua kelompok Barongsai bertujuan komersial. Kelompok Bio Ho Tek Ceng Sin dan kelompok Barongsai Bogor, misalnya, mengatakan bahwa mereka tidak memasang tarif tertentu untuk pementasan pertunjukan, kecuali biaya transportasi dan konsumsi para pemain yang disediakan oleh pengundang. Apabila yang mengundang dari golongan masyarakat berada, barulah mereka mengenakan tarif tertentu. Tak jarang kelompok Bio Ho Tek Ceng Sin mengadakan pertunjukan sosial tanpa dibayar. 4. Perkembangan barongsai di Indonesia Belum ada penelitian luas dan intensif tentang perkembangan Barongsai di Indonesia. Namun dapat dipastikan bahwa jumlah perkumpulan liong barongsai saat ini mampu menembus angka 100 grup yang tersebar di seluruh nusantara. Pada tahun 2000 pun terbentuk beberapa persatuan perkumpulan barongsai. Di Bogor, misalnya, terbentuk Persatuan Liong Barongsai Bogor (PLBB) yang memiliki misi pelestarian budaya. Bogor menjadi salah satu kota dengan pekembangan Barongsai terpadat di antara beberapa daerah lainnya seperti Jakarta, Sukabumi, Medan, Pontianak, dan Singkawang. Beberapa kelompok yang terkenal, misalnya kelompok barongsai PSMTI-Tarakan, yang merebut juara kompetisi internasional. Kong Ha Hong di Jakarta, Adi Pusaka di Surakarta, Long Ching di Bandung, Singa Mas di Magelang, Satya Dharma-Kudus, Adi Pusaka-Kartasura, Red Dragon-Jakarta, Genta Suci-Ambarawa. Semua kelompok tersebut adalah para pemenang Persobarin National Lion Dance Championship 2007. Mereka tidak hanya memainkan barongsai tunggal tetapi juga memainkan nomor tonggak. Pada nomor lantai juga terkenal kelompok Dharma Cinta Kasih di Tangerang, TITD Liong Hak Bio di Magelang, Suaka Insan di Jakarta, Lima Naga diSurabaya, Maha Virya di Tanggerang, dan Rajawali Sakti di Tegal.[12] Mereka itu semua memiliki induk organisasinya bernana PERSOBARIN yang berada di bawah KONI. Pertama kali ia berdiri sebagai anak cabang KONI dengan nama Pernabi (Persatuan Tarian Naga Barongsai Seluruh Indonesia). Pernabi dijadikan juru bicara perkumpulan barongsai di Indonesia untuk tampil di ajang perlombaan tari naga dan barongsai di dunia. Kiprah Pernabi tidaklah lama. Kemudian muncul Persatuan Kungfu dan Lion Seluruh Indonesia (PKLBSI) pada tahun 2006. Tahun 2006 dan 2007 perkumpulan ini mengikuti banyak kegiatan festival dan perlombaan Barongsai baik tingkat nasional maupun internasional. Bahkan tahun 2006, PKLBSI menjadi penyelenggara pertandingan dunia di Jakarta, disusul pada tahun 2007 di Surabaya. Sementera PKLBSI berjaya di kancah internasional, Persobarin tetap menjadi wadah alternatif perkumpulan seni Barongsai di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara. Kelompok Kesenian Barongsai Bogor mengatakan pernah mengikuti kejuaraan Barongsai nasional yang diadakan oleh PKLBSI. Sejak tahun 2008, kegiatan rutin PKLBSI dialihkan kepada Persobarin di bawah kepemimpinan Dahlan Iskan dengan Sekjen Budi Santoso Tanuwibowo. Barongsai terus berkembang dan semakin digandrungi banyak orang baik sebagai tontonan, hiburan maupun sebagai saran olah raga. Sampai pada suatu ketika, perkumpulan Barongsai di bawah KONI ini mengusulkan untuk menjadikan Barongsai sebagai anak cabang dalam KONI, bukan lagi menjadi bagian dari cabang Wushu. Saat ini Barongsai di seluruh dunia berada dalam naungan federasi internasional yang lebih dikenal dengan IDLDF (Internasional Dragon and Lion Dance Federation)[13] yang berpusat di Beijing, Cina. Dalam beberapa pemberitaan IDLDF ini tengah giat memperjuangkan agar cabang tari liong dan tari singa masuk dalam salah satu cabang lomba Olimpiade. Dengan alasan Barongsai sudah menjadi olah raga kelas dunia dengan adanya ILDF, maka Persobarin menjadi penggerak untuk mewujudkan independensi Barongsai pada tingkat organisasi KONI seiring perjuangan ILDF untuk memasukkan Barongsai dalam salah satu cabang Olimpiade. Jika ILDF berhasil maka Barongsai yang menjadi ciri budaya lokal Cina akan menjadi budaya global yang melewati batas geografis sekaligus batas imajiner budaya etnis Cina. 5. Barongsai sebagai ekspresi kebudayaan Apabila pada awal kemunculannya pada tahun 1998, Barongsai menjadi simbol kebebasan berekpresi dalam kerangka bereligi masyarakat etnis Cina. Perkembangan selanjutnya Barongsai tidak hanya sebagai pengisi acara pernikahan, pesta ulang tahun, perayaan hari besar tetapi juga menjadi sarana kesenian, olah raga, dan praktek komersialisasi. Semua perkembangan ini mendorong orang untuk bertanya apakah Barongsai masih menjadi milik etnis Cina? Ataukah ia telah menjadi milik bangsa Indonesia? Pada awal lahirnya pada 1998, Barongsai masih menjadi milik etnis Cina, dan menjadi ekspresi kebebasan etnis Cina. Setelah terkungkung selama 30 tahun, mereka mementaskan kembali Barongsai tidak hanya di kelenteng-kelenteng, tetapi juga di tempat-tempat umum. Berdirilah kelompok-kelompok Barongsai di berbagai kota dan mereka serentak dengan senang hati – tanpa dibayar – mementaskan Barongsai. Pada kesempatan itu mau dinyatakan bahwa etnis Cina telah bebas dari kungkungan rezim yang lalim. Gairah untuk menonton maupun untuk memainkan Barongsai mengubah status Barongsai. Sekarang tidak hanya orang dari etnis Cina yang mementaskan Barongsai, tetapi juga orang-orang dari etnis-etnis lain. Bahkan ada kelompok-kelompok Barongsai yang didirikan oleh etnis non-Cina. Hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan pertunjunkan dan pementasan yang sungguh menggairahkan, tetapi sekaligus juga untuk menanggapi sebuah permintaan (demand) yang nyata. Tidak mungkin mengandalkan kelompok-kelompok yang didirikan oleh etnis Cina saja karena permintaan makin banyak, terutama untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non-religius (peresmian mal baru, peresmian toko, keperluan pesta, dsb.). Lagipula permainan Barongsai tidaklah terlalu sulit sehingga hanya kelompok etnis tertentu saja yang bisa memainkan. Namun, pada saat yang bersamaan nampak jelas juga bahwa permainan Barongsai tetap tidak dapat dilepaskan dari lingkungan etnis Cina. Barongsai tidak mungkin dimainkan jika tidak berhubungan dengan pesta atau festival etnis Cina, misalnya pada waktu hari Natal atau hari Idul Fitri. Barongsai juga biasanya dipentaskan di mal-mal atau toko yang berada di lingkungan orang Cina, atau dapat menarik kehadiran orang Cina. Di kota-kota besar tempat ditemukan banyak orang Cina (Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, dsb.) pementasan Barongsai menjadi sebuah atraksi yang menarik. Tidak demikian halnya di tempat yang sama sekali tidak ada orang etnis Cina. Oleh sebab itu, tarian Barongsai sebenarnya masih terikat dengan identitas etnis Cina. Pertama, Barongsai tetap merupakan alat ekspersi etnis Cina. Ia telah menjadi ekspresi kebebasan dan representasi identitas etnis Cina yang pernah mengalami diskriminasi. Kedua, Barongsai merupakan juga upaya untuk mempertahankan tradisi leluhur kaum etnis Cina. Dengan memainkan Barongsai identitas mereka ditegaskan, mungkin diperkuat. Ketiga, akibat dari dua butir yang di atas, Barongsai tidak dapat bersentuhan dengan kesenian lokal Indonesia karena tidak terjadi proses seperti dalam ’melting pot’. Sampai pada titik ini, Barongsai tidak dapat disejajarkan dengan budaya Cina peranakan dengan tinggalanya seperti sastra melayu tionghoa, kebaya encim, motif batik pesisir utara Jawa, serta masakan Baba dan Nyonya. Barongsai tetap berwajah Cina, dengan iringan musik khas Cina. Akan tetapi, ikatan dengan budaya Cina bersifat ambigu ketika tarian barongsai dibawa ke pentas dan kontes internasional. Dalam kontes-kontes yang telah diadakan di beberapa negara di Asia Timur, tarian barongsai dari berbagai negara berlaga atas nama negara asal mereka. Ada ”barongsai Malaysia,” ”barongsai Singapura,” ”barongsai Thailand,” dan tentu saja ada ”Barongsai Indonesia.” Kemenangan kelompok barongsai dari Indonesia tetaplah mewakili Indonesia, bukan mewakili Cina. Dengan demikian identitas Indonesia melekat pada kelompok penari barongsai tersebut. Proses konstruksi identitas telah terjadi pada tataran yang lain sama sekali. Dengan ini sebenarnya barongsai telah meninggalkan “tanah leluhurnya.” Pertama, dia menjadi ikon global, barangkali setara dengan ikon-ikon bisnis Cina, seperti Lenovo, Huawei, Sinopec, dst. Tapi, barongsai menjadi milik dunia ketika barongsai masuk menjadi kegiatan olahraga di tingkat internasional, tidak ada bedanya dari wushu, karate, taekwondo, dsb. Barongsai kini telah memiliki status yang benar-benar Cina dan sekaligus juga global. Dalam dunia yang ditandai dengan “hibriditas” akibat globalisasi yang amat intensif, apapun, termasuk barongsai, menjadi milik komunitas global. Proses konstruksi yang mula-mula terbatas pada satu kelompok sosial, kini terjadi pada tingkat nasional, bahkan juga pada tingkat global.[14] Penutup Barongsai sebagai sebuah tarian yang dimiliki oleh salah satu kantung peradaban dunia kuno di Asia, merupakan hasil proses kreatif manusia, yang mencakup, religi, tradisi, etika, moralitas, bahkan budaya politik. Dalam pelbagai versinya, Barongsai menyebar ke pelbagai wilayah, mengikuti titik-titik daerah persebaran etnis Cina di seluruh dunia sebagai bagian dari simbol-simbol budaya orang etnis Cina. Di Indonesia, seperti diuraikan di atas, tarian barongsai (dan juga tarian liong) juga terlekat dengan budaya Cina. Memang barongsai telah keluar dari lingkungan masyarakat Cina, tapi barongsai nampak belum terserap seluruhnya dalam budaya Indonesia seperti makanan ataupun pakaian Cina. Tapi berbeda dari makanan dan pakaian, barongsai telah menjadi titik simpul yang menghubungkan Indonesia dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur karena berbagai kontes tarian barongsai. Dalam hal ini barongsai kemudian memperoleh identitas Indonesia! Barongsai dengan lokalisme Indonesianya. ”Barongsai Indonesia,” jika kelompok barongsai dari Indonesia memenangkan hadiah. Barongsai, dengan demikian memperoleh dua identitas sekaligus. Dia adalah ekspresi kebudayaan Cina, tetapi sekaligus juga merepresentasikan Indonesia. Hal yang sama dapat dikatakan tentang barongsai-barongsai lain yang tumbuh di banyak negara di Asia timur. Langkah geliat Barongsai dimanapun dia mengedipkan mata lentiknya, memainkan kekuatan otot kakinya, mengibaskan ekor mungilnya akan membawanya pada bentuk jejaring internasional yang akan menjadi ikon global Cina. Perkembangan ini sangat menguntungkan bagi kelompok etnis Cina di Indonesia. Mereka dapat memakai barongsai sebagai ekspresi kebudayaan mereka, tetapi sekaligus juga sebagai sarana untuk ambil bagian dalam sebuah ekspresi global. Di satu pihak kelompok etnis Cina masih bisa mendaku (claim) bahwa barongsai adalah “miliknya,” di lain pihak mereka juga bisa melepaskannya sebagai milik sebuah negara (antara lain Indonesia!), bahkan milik komunitas global. Dengan demikian barongsai sebenarnya telah mengalami proses konstruksi berlapis-lapis yang sangat rumit. Sulit untuk menyaring dan memilah-milah proses yang terjadi secara spontan, tanpa terencana. Mula-mula dia datang ke Indonesia dari Cina, dan ditangkap serta ditanam di Indonesia, tapi kini telah kembali menjadi fenomen global. *Penulis berterima kasih kepada narasumber yang meluangkan waktu untuk wawancara, dan juga kepada editor buku. I. Wibowo atas saran-sarannya untuk memperbaiki makalah ini. [1] Wawancara ini melibatkan beberapa narasumber yaitu (1) Odhi, 20 tahun, dari kelompok Bio Hok Tek Ceng Sin Jakarta Selatan, (2) Pak Uu, 40 tahun, dari Grup Kesenian Barongsai, Bogor, (3) Bapak Karta Lugina, 80 tahun, sesepuh PGB, (4) Bapak Arifin Himawan, Ketua PLBB (Persatuan Liong Barongsai Bogor), dan beberapa pemain Barongsai. Wawancara diadakan pada bulan April-Mei 2009. [2] Williams, CAS. Chinese Symbolism and Art Motifs. (Singapore: Berkeley Books, 1999), hlm. 254. [3] http://www.chinaculture.org/gb/en_chinaway/2004-01/21/content_45720.htm (diakses pada tanggal 14 April 2009) [4] Christin Bachrun, “ Barongsai: singa atau naga?” dlm. Lembaran Berita KATA, Vol. 3 No.1/April 2000, hlm. 11 – 12. [5] Dalam hal ini, penulis juga mengamati bahwa Bali memiliki tarian yang dinamakan Tari Barong dengan singa sebagai imaji fisik dari kepala barong. Jika diamati, binatang ’barongsai’ Cina datang dari India karena harimau/singa bukan hewan khas Cina. Begitu pula barong yang ada di Bali merupakan tarian masyarakat Hindu di Bali. Agaknya kata dengan bunyi ’Bulangsai’ dalam Bahasa Hokkian agak jauh jika kemudian dibunyikan dengan Barongsai oleh penduduk lokal karena bunyi vokal berbeda. Penulis menduga, kata barong dalam barongsai mengacu pada persamaan bentuk kepala (tarian yang menggunakan topeng) yang lebih dikenal oleh penduduk lokal. Agaknya penelitian asal kata Barongsai perlu dilanjutkan. [6] Coppel, 1994, hlm.23 [7] Wawancara dengan Pak Uu, Grup Kesenian Barongsai Bogor, pada tanggal Kamis 16 April 2009 [8] Provinsi Guangdong adalah daerah asal Barongsai dengan gaya selatan 南狮n2nsh9. http://en.wikipedia.org/wiki/Lion_dance [9] PGB didirikan oleh Subur Raharja pada tahun 1952. Sampai saat ini PGB yang dipimpin oleh Gunawan Raharja menjadi salah satu perkumpulan olah raga silat yang terkenal di Indonesia. Berawal dari pertemuan ramah tamah antar tokoh silat di Bogor pada tahun 1949, terbentuklah suatu bentuk perkumpulan silat yang menggabungkan seni silat kungfu dan silat tradisional. Pada awal tahun 1950-an, perkumpulan yang berbasis silat inipun memiliki wahana kesenian ’barongsai’ sebagai salah satu alat pembuktian tingkat ilmu silat mereka. Salah satu yang menarik adalah bahwa kelompok ini mencipkatan Kielin sebagai bentuk tarian ’barongsai’ yang hanya menjadi satu-satunya di Indonesia. Kielin PGB dibakar bada tahun 1965. Kielin kembali dimainkan pada tahun 2000 setelah Kielin baru selesai direkonstruksi. [10] Qilin (Kirin, bahasa Jepang) merupakan salah satu dari Empat Mahluk Supernatural/mahluk mitologi Cina (四灵/靈) bersama Naga, Burung Phoenix, dan Kura-kura. Qilin dikenal juga dengan ’Kuda naga’ (龙马). Ia merupakan lambang panjang umur, kemuliaan, dan kebahagiaan. Qilin dapat berjalan di atas air dan tanah. Tubuhnya terdiri dari bebapa bentuk bagian binatang. Tediri dari kombinasi kepala serigala, tanduk kijang, ekor sapi, kaki kuda, kulit naga dan sisik ikan. Kulitnya berwarna merah, kuning, biru, putih dan hitam. Suaranya seperti suara kerincingan instrumen musik. Williams, CAS. Chinese Symbolism and Art Motifs. (Singapore: Berkeley Books, 1999), hlm. 414. [11] Wawancara dengan Odhi, dari Bio Hok Tek Ceng Sin. 10 April 2009. [12] Perlombaan Barongsai dibedakan dalam kategori nomor Lantai dan nomor Tonggak. Nomor Lantai merupakan kelas khusus yang diadaptasi dari penguasaan Barongsai dengan gaya Utara (Beijing) yang menggunakan undakan/bangku pendek sebagai wahana loncat si barongsai. Sedangkan nomor tonggak merupakan gaya barongsai yang dikembangkan di Cina bagian selatan dan Malaysia dengan tiang pancang tonggak yang ketinggiannya bervariasi. [13] IDLDF mengeluarkan 6 kriteria penilaian pertandingan barongsai yaitu (1)kostum barong, pemusik, dan properti; (2) kesesuaian dengan pakem tradisional untuk cabang tertentu; (3) kesinambungan gerakan kepala, kekuatan kaki, dan ekor; (4) Harmoni gerakan dengan musik; (5) tingkat kesulitan; dan (6)formasi barongsai. Diunduh dari website: http://dragonlion.sport.org.cn/home/xhgg/2009-02/235079.html (diakses 3 September 2009, pukul 09.30) [14] Mackie dalam Coppel (2008:124), Coppel, Charles A. 2008. Anti Chinese Violence in Indonesia After Soeharto. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Hlm. 124., menyebutkan bahwa ekspresi terbuka dan sengaja, yang menunjukkan perbedaan etnik dan budaya di depan publik Indonesia – Barongsai – bisa menjadi pemicu kekerasan anti Cina. Kekhawatiran semacam ini tentu bisa terjadi kalau barongsai itu benar-benar bagaikan rumah abu, yang tidak terjamah oleh masyarakat sekitarnya dan menimbulkan ancaman.

Tidak ada komentar: