Masyarakat Betawi di Jakarta tak dapat memungkiri bahwa dirinya adalah bagian dari legenda si Pitung. Sosok fenomenal pemberani yang membela rakyat kecil jaman kolonial Belanda ini tetap mashyur sampai saat ini. Kisah-kisah perjuangan tangguh si Pitung pun sudah beberapa kali naik tayang ke layar kaca dan layar lebar. Si Pitung benar-benar memiliki pesona dalam hati penggemarnya. Apalagi sosok si Pitung digambarkan sebagai sosok pemuda gagah berani asal Rawa belong, rajin mengaji, dan fasih berlaga dengan ilmu silatnya. Itulah si Pitung.
Lain Betawi lain Jogjakarta. Si Pitung yang saya jumpai di Jogja Agustus 2008 lalu memang teruji ketangguhannya. Itulah si Yahama XS V1 Sakura yang berjaya pada tahun 1970-an. Dinamai si Pitung karena mengambil tahun lahirnya 1970-an, dalam bahasa Jawa yaitu taun pitung puluh (tahun 70-an), disebutlah si Pitung. Jujur waktu pertama kali melihat perawakannya, saya sempat ragu apakah saya dan kawan saya sanggup mengendarai motor yang besarannya tergolong mungil. Tidak seimbang dengan besaran bobot kami berdua. Tampaknya motor itu hanya cocok dikendarai model bertubuh langsing saja. Pertama kali mendorong si Pitung keluar garasi rumah, saya merasa sudah mengalami peristiwa batin yang spektakuler. Saya merasakan kekuatan hati yang yakin sekali bahwa saya mampu mengendarai si Pitung. Perasaan itu masih bertahan sampai waktunya men-starter si Pitung. Pada saat itulah, keyakinan saya rontok seketika. Saya tidak mampu menggenjot starter si Pitung. Berkali-kali...saya gagal. Mengetahui saya mulai putus asa, ibu saya, Arahmaiani, datang membantu. Dalam sekali starter, dia mampur menghidupkan si Pitung dari mati surinya. Akhirnya saya terpacu untuk berjuang. Ibu saya saja bisa, kenapa saya tidak bisa?
Setelah itu, kami memulai petualangan sambil mengendarai si Pitung. Keliling kota Jogja mengendarai si Pitung bagi saya merupakan pengalaman hidup yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Bagaimana tidak? Berdua kami mengendarainya, untuk mengejar sepeda kayuh pun tak bisa. Entah, kesalahan ada dimana?! Apakah sepedanya yang terlalu cepat dikayuh? Entah karena si Pitung memang sudah renta sehingga tak lagi mampu ngebut? Atau mungkin karena saya memang tak mampu mengendalikan si Pitung? Atau mungkin Tuhan memang tidak mengijinkan saya ngebut? Entahlah. Ketakutan kami adalah menghadapi keramaian jalan raya. Kami sangat percaya diri ketika mengendarai si Pitung di jalanan kampung dekat rumah. Ketakutan pun muncul ketika kami sadar bahwa kami akan segera melewati jalan raya. Benar saja, keberanian saya langsung menciut melihat ramainya lalu lintas jalan raya. Apalagi ketika berpacu menyeberangi perempatan ringroad yang cukup panjang jalurnya. Kami berteori untuk menyeberangi perempatan itu kami harus mencondongkan ke depan untuk mempercepat lajunya si Pitung. Namun rupanya teori kami salah. Sudah mencondongkan badan ke depan sedemikian rupa, namun si Pitung tak juga lari kencang. Dan kami kecewa. Kekecewaan rupanya tidak berlanjut lama karena saya kembali menguasai keadaan, walaupun tetap dalam keadaan tidak mampu mengejar becak.
Keliling sambil mampir-mampir belanja-belanji makanan kecil pun menjadi agenda utama perjalanan siang itu. Cukup menghibur sekaligus melupakan kekecewaan karena kurang gesit mengendarai si Pitung. Tradisi investigasi kuliner kali ini tak kalah dahsyat dengan perburuan makanan kampung di Ciptagelar. Dimulai dengan makan siang di Pia-Pia dilanjutkan makan cemilan di Malioboro. Canggiiih…menu sate manis nan berlemak-lemak ditambah martabak telur cihuy merupakan kombinasi ampuh untuk menghibur hati saya yang remuk redam karena gagal menguasai si Pitung. Malam hari, kami singgah di sebuah restoran berbasis makanan organik. Sekaligus bertemu kawan lama yang sering saya panggil Brojo, Johanes Herlijanto, yang datang tiba-tiba untuk memeberi kejutan pada saya. Bro, sayang…gw udah tau duluaaaan!
Malam itu diselingi obrolan-obrolan yang tergolong bukan obrolan penting. Namun saya merasakan hal yang sangat indah. Persahabatan adalah hal yang berharga. Saya pun kembali mengingat banyak peristiwa dalam kancah pertemanan saya. Ada beberapa yang saya kecewakan, tapi ada pula beberapa orang yang jelas mengecewakan saya. Saya pikir itu adalah bentuk dinamika pergaulan. Sangat indah. Malampurna empurna ditutup dengan salam perpisahan. Naah..lagi-lagi kami harus mengendarai si Pitung untuk menuju rumah. Saat inilah, kami dipecundangi oleh si Pitung. Pukul 11 malam, hampir tengah malam, ban depan si Pitung bocor. Untunglah ada pemuda harapan bangsa yang baik hati membukakan pintu bengkelnya dan mengganti ban depan si Pitung. Sekejap, si Pitung kembali prima.
Dan kami pun pulang dengan perasaan bangga. Melewati jejak-jejak reruntuhan gempa Jogja 2006. masih tampak bangunan yang tetap teronggok tiada tersentuh program renovasi dan rehabilitasi. Mungkin memang dibiarkan untuk dijadikan memoar. Kenangan atas derita jiwa raga dua tahun lalu memang tidak akan bisa dilupakan….
Salam, Agni malagina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar