Rabu, 16 Juni 2010

Ko Ciat: Persinggahan tradisi dari masa dinasti sampai era globalisasi!

Berenang-renang di Sungai Kapuas, berakit-rakit ke tepiannya dari pukul 11.00 – 13.00. Saya menaiki sampan bermotor menantang panas matahari Pontianak yang kadang tak bisa beramah tamah dengan kesadaran saya. Hari ini tanggal 16 Juni 2010 atau bertepatan dengan tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek/Yinli, sungai Kapuas menjadi tempat mandi ratusan etnis Tionghoa yang tinggal di sepanjang Kapuas. Ada peristiwa apakah hari ini?

Selamat Ko Ciat, beberapa status di tembok Facebook kawan-kawan Pontianak dan Singkawang bertaburan kalimat selamat Ko Ciat. Saya pikir kalimat itu artinya adalah Selamat Pagi! Ternyata dalam bahasa dialek Hakka, kalimat tersebut artinya adalah MAKAN BESAR. Ada perayaan apakah hari ini?

Tak sengaja saya pun hari ini bercakap dengan seorang tokoh Tionghoa yang banyak menulis tentang kebudayaan Tionghoa di Kalimantan Barat, X.F. Asali. “Agni, hari ini makan Bacang, ada peristiwa meninggalnya penyair terkenal di masa dinasti, tau?”
“Qu Yuan, Pak? Yang terkenal dengan Lisaonya,” jawab saya singkat.

Ya, hari ini hari diperingatinya kematian Qu Yuan 屈原 (340-278 SM), seorang penyair besar pada masa Dinasti Chu masa Negara Berperang Zhanguo Shidai (战国时代 475-221 SM), politisi kritis yang diduga bunuh diri pada masa pengasingannya. Jenasah Qu Yuan pun tidak pernah ditemukan. Masyarakat yang mencintainya kemudian membuat makanan yang dibungkus daun bambu, sekarang dikenal sebagai Bacang. Kemudian mereka melemparkan bacang tersebut ke sungai agar tubuh Qu Yuan tidak dimakan oleh ikan buas, mereka juga meletakkan bacang di tepi sungai agar jika Qu Yuan bersembunyi di dalam hutan ia akan keluar untuk mengambil makanan tersebut. Begitu pula ada banyak orang yang menggunakan perahu menyusuri sungai untuk mencari tubuh Qu Yuan, namun tubuh itu tak pernah ditemukan. Setiap tahun, masyarakat Cina mengingat Qu Yuan dengan acara makan Bacang, Perahu Naga dan diselingi pesta Lampion. Sebuah tradisi tua yang terus singgah dari generasi satu ke generasi yang lain, dari masa dinasti hingga era globalisasi. Terkadang juga mengalami komodifikasi.

Mengapa ada Ko Ciat? Mengapa ada tradisi berenang di sungai dan mengambil air Wushi sui pada tengah hari?

Tradisi Ko Ciat atau makan besar hari ini disiapkan oleh para perempuan untuk menyambut perayaan makan Bacang. Bukan pesta, tetapi memasak untuk seluruh anggota keluarga besar. Makan bersama, bersama duduk dan bercerita memperkenalkan tradisi. Biasanya Ko Ciat dilakukan untuk makan sore atau malam. Tak heran, banyak etnis Tionghoa di Pontianak menutup tokonya setelah pukul 13.00. Mereka bersiap untuk Ko Ciat bahkan banyak di antara mereka yang mengikuti tradisi mandi di Kapuas sebelum merayakan Ko Ciat.

Setiap tahun, antara pukul 11.00-13.00, para pemuda dan amoy-amoy tak terkecuali anak-anak bersampan ria di tengah sungai Kapuas, mereka yang telah dewasa biasanya menceburkan diri ke Sungai Kapuas, berenang-renang dan mengambil air sungai tepat pada pukul 12.00 siang. Tradisi ini dipercaya untuk membuang sial, duka dan lara. Menumpahkan segala gundah dan gulana, membersihkan diri dengan air yang dianggap mampu menghanyutkan segala bentuk energi negatif sekaligus mendatangkan kebaikan dan keberuntungan. Mereka juga mengambil air, membungkusnya dalam plastik-plastik atau menyimpannya dalam jerigen. Konon air ini kemudian disimpan di rumah, sering digunakan untuk air obat, setahun pun tak akan berubah rasa dan tiada berbau.

Berperahu selama 20 menit pun tak terasa. Sempat seorang amoy belia pingsan dan dinaikkan ke sampan yang saya naiki. Masih sangat belia dan mengikuti kegembiraan perang lempar air dari sampan satu ke sampan lainnya. Ketika waktu mulai bergeser tak lagi di tengah hari, satu-persatu sampan yang membawa muda-mudi itu pun bergerak ke tepi. Sempat kubertanya pada seorang pemuda, “acara apa hari ini? Mengapa berenang?” dan si dia hanya menjawab,”berenang saja di hari Ko Ciat, melepas sial.”

Dia terus berenang ke tepi Kapuas, sambil berteriak Selamat Ko Ciat! Semoga dia akan selalu mengingat tradisi keluarganya, tidak seperti aku yang sudah kehilangan akar tradisiku. Entah aku berada dimana dan melakukan apa? Aku tak ingat lagi apa itu simbolisasi upacara tedak siten, atau pun upacara adat pernikahan Jawa. Semua yang kualami telah mereduksi ingatan masa kecilku yang erat dengan tradisi Jawa. Mereka yang semuda itu masih berenang dengan jumawa di Kapuas, masih percaya keberuntungan akan datang setelah melarung duka di Kapuas. Tak peduli budaya tradisinya masih tradisional atau dianggap sudah ketinggalan jaman, mereka tetap berenang menyambut Ko Ciat. Sampai pada titik ini, budaya tradisional transnasional Tionghoa di Indonesia bertahan, mengalami reproduksi regenerasi untuk bertahan. Selamat Ko Ciat!

salam hangat
agni malagina
pengamat naga

Tidak ada komentar: