Balada Seorang Pantuners sejati
Hahha....saya kasi judul Balada Patuners sejati tu karena saya takjub sama seorang kakek tua yang tetap eksis membawakan pantun Siliwangi dalam keadaan buta, Luar Biasaaa!
Abah Ucup panggilannya, tinggal di suatu titik di daerah pinggiran kabupaten Bogor. Seorang diri, tiada beranak, tiada sanak saudara. Konon...sekarang malah tinggal nebeng di rumah tetangga. Sayang sekali....
Abah Ucup disinyalir sebagai pembaca pantun Sunda tertua di kota Bogor dan apabila beliau wafat maka tradisi membaca pantun tradisional akan punah. Bahkan diduga apabila si Abah Ucup wafat maka tiada lagi pembaca pantun ini. Pantuners sejati ini tidak mewariskan ilmunya pada generasi muda. Entah alasan apa yang ada dalam benak Abah Ucup sampai beliau berkeras tidak menurunkan ilmunya. Dengar punya dengar siy...ada beberapa dugaan berkenaan dengan pewarisan pantun kepada seseorang. Konon, pantun diwariskan kepada anak si pantuners. Pertalian darah yang kuat diduga menjadi faktor utama menurunkan ilmu. Namun apabila si anak ini dianggap tidak layak mendapat ilmu pantun, maka si ayah tidak akan mewariskan pada anaknya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pantun dapat diwariskan dari seorang pantuners kepada orang lain yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya. Mungkin ada pelbagai pertimbangan yang bisa menjadikan seseorang dianggap bisa diisi ilmu pantuners. Luar Biasa....sebuah proses yang rumit.
Saya datang ke Sindang Barang pada tanggal 26 Mei 2007 dengan membawa pesanan Kang Mumu untuk merekam pembacaan pantun Sunda yang diduga nyaris punah ini. Tak sangka tak dinyana, di kampung adat Sindang Barang yang baru akan diresmikan bulan Juni 2007 tersebut saya bertemu dengan beberapa orang baru yang belakangan saya menganggapnya sebagai mutiara-mutiara yang bersinar di tanah Sunda. Tapi siapa mutiara-mutiara itu akan saya ceritakan nanti setelah saya tulis tentang Abah Ucup si Pantuners yang selalu tabah sampai akhir ini.
Abah Ucup sudah sangat tua. Tiada lagi bergigi lengkap dan utuh. Namun masih bersemangat menggulung rokok racikannya sebelum jemarinya menyentuh kecapi indung. Kerutan-kerutan di wajahnya menandakan dia yang sudah tak lagi tergolong tua, tapi sangat tua, kempot berkerut bibirnya. Ia memakai kacamata hitam ala rayban yang membuatnya tampak trendy dalam setelah baju tradisional yang ia kenakan. Sayang penampilannya ini hanya disaksikan beberapa orang dalam hitungan 20 jari tangan dan kaki. Ia ditinggalkan oleh puluhan penonton yang semula berkerumun di sekitar panggung untuk menyaksikan aksi tari-tarian dan ngagondang. Dari hitungan 20 orangan ini pun mungkin hanya hitungan 10 jari yang bertahan nangkring dalam radius 2 meter dari abah Ucup. Itu pun mungkin hanya 4 orang yang benar-benar mendampingi abah ucup dengan serius yaitu pemain gendang, pemain gong, dan seorang juru pantun dari gunung kumbang. Jujur, saya mampu bertahan di tepi panggung sampai akhir pembacaan pantun dengan perjuangan luar biasa untuk menahan kantuk. Plus ada kelompok kecil yang membicarakan tentang banalitas sehari-hari....ngalor ngidul membicarakan eksistesialisme, komunisme, ateis, kesadaran diri, sonoritas, musik kontemporer sampai tafsir mimpi...dan itu semua dilakukan selama abah Ucup nembang. Namun sesekali kami melihat abah nembang sambil terkagum-kagum dengan kecanggihan petikan kecapinya. Luar Biasaaaa!
12.30 lewat tengah malam, saya meninggalkan kelompok kecil yang sedang seru-serunya membicarakan keseimbangan notasi musik dengan alam di sekitarnya. Sambil sibuk mengganyi kaset mini dv saya selalu berpikir, siapa siy abah Ucup itu? Bagaimana perkembangan karirnya sebagai seorang Pantuners? Bagaimana orang lain mengapresiasi pantun yang ia bawakan? Bagaimana kehidupan sehari-harinya sampai ia tua kini? Apa rencananya untuk pantun di masa yang akan datang? Apa angan-angannya yang belum tercapai? Apa harapannya atas pantun Sunda? Apa masih ada yang ia ingin lakukan atau ia dapatkan? Entahlah...itu hanya pertanyaan-pertanyaan yang sempat terlintas dalam benak saya tanpa sempat terkatakan. Mungkin suatu hari ada yang bisa menjawabnya...mungkin....
agni malagina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar