Januari 2008 merupakan bulan penuh ritual ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen. Masih teringat saat saat mengakhiri perjalanan Seren taun Cigigur yang mengakomodir keberagaman suku agama di Cigugur, saya diajak oleh seorang kawan dari STSI untuk datang ke Ruwatan Kampung Banceuy Subang. Saat itu saya menolak ajakan itu karena sudah memiliki agenda mengunjungi Upacara Tutup taun ngemban Taun di Cirendeu yang konon masih berafiliasi dengan Cigugur. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba kawan dari Bandung TV mengajak mengunjungi kampung Nagrak pada tanggal 16 Januari 2007 untuk mengikuti upacara Ruwatan Bumi.
Perjalanan diawali dengan menantikan kru bandung TV menjemput saya di Toko Buku Baca-Baca yang terletak di Sabuga. Jam 5 pagi datanglah kawan-kawan yang selalu ceria itu. Segeralah Kang Kiwil meluncur membawa mobil dan 4 orang yang mengaku kopilot menuju Lembang. Sempat kami beristirahat di rumah salah seorang penggerak pariwisata Nagrak sambil menikmati uli bumbu pedas dan semangkuk bubur ayam. Dinginnya lembang pagi itu tidak terasa menusuk, hiruk-pikuk pasar Lembang pun menjadi ‘pemanas’ udara saat itu.
Pukul 7, kami berangkat menuju Nagrak. Melewati taman wisata Sari Ater, jalan pun terus menanjak dan turun tiada beraspal total. Bocel-cocel jalanan pun semakin diperparah dengan konsisi licin setelah hujan. Namun keahlian Kang Kiwil membawa mobil memang sudah tidak perlu diragukan, entah bagaimana caranya, dia bisa meyakinkan saya yang duduk di jok depan bahwa dia memang handal. Dan tiba-tiba, mobil pun sudah berada di depan balai desa Nagrak.
Ruwatan Bumi Kampung Nagrak tahun 2008 ini adalah upacara yang dilakasanakan ke 63 kalinya. Tahun 2008 ini adalah upacara ruwatan yang istiwewa karena merupakan ruwatan yang menguburkan kepala kerbau. Setiap tahun biasanya menguburkan ayam, namun setiap tiga tahun sekali menggunakan kepala kerbau. Menurut kepala desa Nagrak, Bapak Dadang, Upacara Ruwatan Bumi ini mengandung banyak arti bagi warga Nagrak yakni untuk simbol ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan panen, selalu mengingatkan warga kepada leluhurnya, menjaga persatuan warga, dan mendekatkan warga Nagrak pada alam sekitarnya.
Pukul 9, segera setelah semua sesaji, pendukung acara siap, dimulailah upacara ngarak kepala munding menuju makam Eyang Embah Raden untuk ziarah. Arak-arakan dimulai dengan kuda yang dituntun oleh 2 orang ibu sambil memayungi sang kuda. Diikuti dengan jampana kepala munding, pemain gambyung, 2 kuda yang ditunggangi kepala desa dan pejabat desa, arak-arakan warga dan anak-anak, dan terakhir rombongan kuda lumping. Perjalanan cukup jauh, melewati sawah-sawah hijau dan air yang tumpah ruah, hijau, subur, air mengalir, dan gerimis. Wangi tanah yang tersegar hari itu. Perjalanan menuju makan Eyang Embah Dalem memiliki makna ritual yaitu perjalanan perjuangan mengingat leluhur sekaligus berdoa pada Tuhan mengucap syukur atas nikmat dan karunia, serta meminta keselamatan dan kesejahteraan untuk satu tahun mendatang. Sekembalinya dari ziarah, rombongan kembali ke desa Nagrak, melanjutkan upacara berikutnya yaitu numbal, penanaman kepala kerbau di pusat desa.
Upacara penguburan kepala kerbau dipimpin oleh Bapak Kalsim dan Bapak Dusim, sesepuh Kampung Nagrak. Sepetak tanah sati kali satu meter sudah tergali. Hiasan sawen pun telah tergantung. Di samping lubang tersebut terongok kepala kerbau yang sudah menjadi tulang benulang berwarna kehitaman. Tiga tahun yang lalu ia terkubur. Pak Kalsim membaca rajah pamunah dan beberapa doa agama Islam kemudian menyelipkan uang koin pada buah kelapa muda, meletakkan buah tersebut ke dalam lubang. Lalu berturut-turut beliau memasukkan bumbu dapur berupa cabe, kencur, garam, kelapa, beras, telur, pisang. Terakhir, kepala kerbau bertengger di atas sesaji tersebut. Tanah ditutup. Tebu dan hanjuang ditancapkan menjadi tanda bahwa warga harus mengingat apa yang yang menjadi ciri khas jiwa mereka. Terakhir, mereka menyiram petak tanah itu dengan air dari mata air terdekat dengan harapan supaya hati warga masyarakat Nagrak tetap dingin. Penggunaan semua sesaji dalam acara ini dimaknai masyarakat Nagrak sebagai sesuatu yang sakral. Misalnya saja penggunaan bumbu dapur mempunyai perumpamaan bahwa hidup adalah jalinan cerita yang memiliki rasa sebagaimana rasa bumpu dapur. Ada pedas, asin, pahang, manis, pahit, panas, dingin. Bahwa dalam hidup penuh dengan warna-warna dan rasa, susah senang sedih bahagia kaya miskin, namun kesemuanya ada dalam satu tempat yaitu di desa Nagrak. Pisang hijau dimaknai sebagai hasil bumi nagrak yang terus berbuah tanpa memandang musim. Telur ayam merupakan penanda bahwa hidup ini mempunyai asal dan akan kembali ke asal, menjadikan warga untuk tetap waspada. Semua sesaji yang disediakan juga merupakan sesaji yang diperuntukkan bagi leluhur. Makanan kesukaan leluhur pun disajikan. Hidangan puncak manik pun menjadi pusat harapan. Sangat romantis.
Agaknya Nagrak perlu mengembangkan diri untuk menjadi salah satu sentra kesenian dan kerajinan. Kesenian yang ada dalam khasanan perbendaharaan seni nagrak pun bermacam-macam, tari, jaipong, gambyung, wayang, terebang, gambyung sapingping dan lain-lain sepertinya perlahan akan mati ditelan jaman. Entah siapa yang akan membawanya ke pentas nasional atau ke pentas dunia. Mungkin kesenian tradisional semacam ini akan tergeser oleh hiruk-pikuk seni modern yang menjadi ikon globalisasi. Si lokal akan terhempas tersandung batu-batu besar efek rumah kaca.
Salah satu curhatan warga ketika ditanya: “Pak, apakah kesenian di sini bisa tampil di taman Sari Ater itu?”
Dijawab: “Wah….yang bisa tampil di situ mah pilihan. Seni tradisi mah tidak bisa tampil, kan orang kampong yang maen. Sedangkan yang nonton di sana orang kota semua.”
Seperti disambar petir mendengar celotehan macam itu. Hh…tapi apa yang bisa kami buat untuk seni tradisi? Hanya bisa mencurahkan kata hati.
Belum lagi kami mendengar curhatan salah seorang warga yang ikut makan nasi kuning di rumah Kepala Desa Nagrak saat itu.
“Desa kami ini pengrajin ukiran kayu. Lucu-lucu. Tapi dibeli oleh orang dari kota dalam jumlah besar dan barang-barang kami sampai ke luar negeri. Tapi orang itu membeli dari kami dengan harga yang renda.”
Saya menjawab, “itulah bisnis pak. Bagaimana dengan koperasi.”
Dijawab, “sudah mati.”
Entah bagaimana lagi Nagrak bisa berdiri di kaki sendiri? Apakah pemerintah daerahnya akan membantu menjadikan Nagrak dan desa-desa di sekitarnya menjadi pusat seni dan kerajinan? Entah….saya hanya bergumam…..”suatu hari nanti…mungkin suatu hari nanti.”
Perjalanan Road to holy land kali ini masih belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari seri RTHL seri pertama. Masih terus akan berjalan. Berjalan. Jalan saja…tidak perlu mencari…menghadirkan tradisi masyarakat di tatar Sunda dengan jujur.
PS: haduuuh...saha anu tiasa nulungan abdi ieu tulung diterjemahkeun ka bahasa sunda. kang mumu nuju riweuh deui, murangkalihna nuju teu damang...hiks
Salam,
Agni Malagina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar