Tubuhmu adalah kecapiku
Kulihat jariku
Ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis, kelingking...
Ingin kugerakkan satu persatu
Memetik senar bisu tubuhmu
Kujentikkan telunjukku pada dawai tipis ujung rambutmu
Kutekan senar jingga di kabut matamu
Kupetik serabut merah darahmu
Kumainkan sebuah komposisi tak berlaras
Tiada pelog, tiada salendro, tiada madenda
Kusatukan dengan alam
Membuat sonoritas terbuka di alamku
Tubuhmu meronta bersemuka denganku
Aku mengaggumi nada semu katamu
Tubuhmu adalah kecapiku
Kan kumainkan sampai retas airmataku di ujung gelap cumbumu
27 Mei 2007 kegundahanku dalam gelap
Kecapi banyak kita jumpai di pelbagai tempat di pelbagai negara. Sebutlah kecapi, sitar, siter, zithar, koto di Jepang, gucheng di Cina. Alat musik petik dengan tabung resonansi segi empat memanjang pada umumnya. Cara memainkannya adalah dengan dipetik menggunakan jari jemari kedua tangan. Ada banyak jenis kecapi dan sitar ini. Yaaa...itu urusan ahli etnomusikologi dan pengamat musik lah. Saya mah hanya ingin menuliskan kesan-kesan mendengar bunyi kecapi dan sitar.
Pada perjalanan ke Sindangbarang pada saat Seren Taun dilaksanakan (Maret 2007), saya sempat kepincut dengan permainan kecapi suling di panggung depan Rumah Bali (rumah Pak Maki). Sayang....karena hujan yang terus mengguyur, saya tidak bisa menikmati permainan kecapi suling tersebut. Alih-alih saya lebih memilih jalan-jalan ke warung Ceuceu untuk mencicipi hangat-hangat goreng pisang sekaligus minum kopi item instant. Nah....sebelum masuk ke kecapi...ngobrol-ngobrol tentang kopi niy...kemaren tanggal 26 Mei di Sindangbarang teh...saya disuguhi kopi tengah malam yang luar biasa enaknya. Entah terbuat dari komposisi apa...rasa kopi ini baru saya temui. Baru saya jumpai dan rasakan kopi hitam manis panas yang mungkin sepadan dengan nasgitel (panas legit kentel). Luar biasa! Saya dibuatnya ngejegleg sampai jam 4.30 pagi. Menurut Kang Mumu, konon, di Bogor ada yang namanya Kopi Bogor, dan hanya ada di Bogor. Mungkin kopi Bogor inilah yang saya tenggak sampai habis malam itu. Luar Biasa....
Kembali ke kecapi....
Di panggung kampung adat Sindangbarang saya melihat ada dua buah alat musik petik, yaitu sitar dan kecapi yang seperti perahu bentuknya. Kecapi indung ya? Semula saya bingung membedakan kecapi dengan sitar. Tapi setelah mendapat petunjuk tentang bentuk fisik setidaknya kesalahan mengidentifikasi kedua benda tersebut dapat diminimalisasikan.
Saya agak terperangah melihat ukuran kecapi indung yang sedemikian besarnya. Saya bayangkan...pasti berat sangat ya?!
Tak lama setelah sibuk dengan tetek bengek peralatan kamera, saya melihat abah Ucup sudah dalam keadaan PW (puosisi wuenak) di depan kacapi indung. Tak lama setelah menata pelbagai alat dan sesajen, abah mulai mendendangkan cerita pantun diiringi petikan kecapinya. Rasanya begitu bernyawa, begitu berjiwa. Petikan ekspresif penuh kejutan. Berbeda dengan petikan suara kecapi yang saya dengar siang hari Sabtu tanggal 26 Mei. Saat itu sebuah sitar dipetik oleh Kang Didi, seorang pantuner/tembanger/kecapis yang belajar main kecapi sejak tahun 89. beliau berasal dari Sindangheula Kabupaten Brebes, tentunya dekat dengan Gunung Kumbang yang legendaris itu. Sitar pun bergantian dipetik juga oleh Kang Dedy seorang kecapis/sitaris dari STSI Bandung yang sudah manggung berkolaborasi dengan musikus di panggung nasional dan internasional. Nada-nada melodius yang dipadukan dengan lantunan tembang. Saya sempat terkagum-kagum ketika mengabadikan gambar dan suara tersebut. Ada yaaa.....musik yang bisa membuat saya merasa tenang. Mungkin bisa disejajarkan dengan kelezatan hidangan buatan Ibu Maki yang Luar Biasaaaa....
Malam dini hari setelah pantun Abah Ucup selesai, tepatnya pukul 01:06, saya dan 3 orang kawan (Ocid, Risna, Mufhti) segera meminta Kang Dedy, Kang Didi, dan Kang Nata untuk mengadakan ’renungan’ ...atau lebih tepatnya memaksa mereka untuk mengadakan resital kecapi. Sebenarnya kami sudah siap menerima jawaban tidak, tapi rupanya akang-akang teh tidak bisa menolak permintaan kami yang menatap mereka dengan tatapan nanar dan memelas. Dan terjadilah apa yang harus terjadi dalam skenario. Resital kecapi plus kuliah tentang kecapi, tembang, pantun sekaligus diselingi obrolan ringan dan celoteh celetuk ga nyambung. Jaka Sembung makan ikan tongkol, ga nyambung dodol! Luar biasa.....
Menjelang pukul 2 pagi, bunyi-bunyi kecapi dimeriahkan oleh nyanyian Kang Nata yang penuh semangat membahana menyanyikan sepotong lagu....saya hanya dengar sedikit....seperti ini: Pajajaran kari ngaran, pangrango geus narik kolot, mandala wangi ngeleungit.....keren banget.
Selesai beberapa baris... pertunjukkan nyanyian dan kecapi pun dialihkan ke kang Didi. Kali ini suara Kang Didi sangat ramah menyapa telinga saya. Sedikit berbeda dengan suara Kang Nata yang menggelegar di gelap malam. Hahahha.....(Kang Nata, suara kang mah luar biasaaaa! Semangat yaaa)
Yang saya ingat waktu itu Kang Didi menyanyikan tembang yang ada kata-kata Pangapungan, Lalayang Salaka Domas, puputon kembang keraton. Saat mendengar Kang Didi nembang, terbersit pertanyaan lagi...lagi-lagi pertanyaan seperti sudah berapa lama kang Didi belajar nembang ini? Dari Brebes, masih muda tapi sudah memiliki kemampuan yang ...Luar Biasaaaaa.....
Selesai pertunjukkan singkat itu, Kak Ocid mulai mengorek informasi dari Kang Dedy tentang kecapi dan sitar. Dasar semua itu adalah bahwa kami sangat ingin mendengar komposisi ciptaan Kang Dedy yang liar. Belakangan kami sebut Kang Dedy si siter edan! Luar Biasaaaa...
Kuliah pun dimulai dengan teknik memetik. Perbedaan petikan tradisional dan yang sudah dimodifikasi. Tak lupa juga dibahas tentang iringan dan lirik saling mengisi...ngarumpaka lagu, ngalaguan rumpaka. Pun disinggung tentang
2 ekspresi dalam penciptaan lagu, yaitu ekspresi yang diciptakan untuk kebutuhan musikal atau ekspresi berupa struktur lagu untuk kebutuhan ekspresi lagu. Banyak proses dalam pembentukan lagu dalam musik tradisional Sunda, misalnya lirik hanya difungsikan semacam pemukul alat tabuh. Sudah tidak memperhatikan lagi pemenggalan kata. Tergantung kebutuhan. Namun dalam lagu tradisional masih memperhatikan keduanya. Aturan sastra maupun pelafalan.
Seperti kuliah musik layaknya. Celetuk seorang kawan pun muncul: ”belajar setaun juga ga akan bisa seedan Kang Dedy euy!” Luar Biasaaaa.....
Kami sempat bertanya apa perbedaan tembang, kawih, mamaos, pantun...dan penjelasan singkat pun terkatakan dari si pendekar siter edan ini ditambah celetukan dari Kang Didi. Terkadang Kang Nata pun menjawab semena-mena karena ga nyambung! Ada beberapa catatan seperti: Iringan yang dipakai untuk mamaos sering tidak ada beat atau beat tidak menentu. Lain dengan tembang yang punya kekonstanan aksentuasi. Diperkenalkan juga cara metik ala Mang Koko yang banyak dijadikan standar permainan kecapi di Bandung. Petikan ala Mang Koko ini paling populer, stuktur komposisinya lebih nyaman didengar. Aturan sistem nadanya lebih dianggap tidak mengganggu telinga. Karena pada petikan tradisional ada nada yang tidak sesuai dengan struktur kenong, struktur kendangan. Jadi Mang Koko sering dijadikan rujukan. Karena terasa lebih mudah dinikmati oleh telinga-telinga masa kini yang kadang sulit mendengar petikan kecapi tradisional
Kang Dedy yang belajar main kecapi sejak umur 10 tahum juga menambahkan bahwa ia mengembangkan teknik bermain kecapi, bidangnya adalah yang liar-liar. Bukan sesuatu yang baru secara teknis, namun bisa disebut mengadaptasi. Kadang mengadaptasi gucheng kecapi dari Cina. Atau memainkan kecapi dengan inspirasi dari bunyi slap bass. Ada juga memetik ala ngagenjreng gitar, seperti yang biasa dimainkan di kacapi biola atau di kacapi kopi. Kata orang dari tradisi cianjuran sering ada celetukan ”kecapi kok digucrek-gucrek”. Kang Dedy rupanya melihat ada yang bisa berkembang dari kecapi. Sebuah senar kecapi bisa menghasilkan beberapa bunyi dengan perlbagai teknik petikan yang dikembangkan...sampai ke nada mikrotone. Apapun yang bisa memungkinkan menjadi bunyi pun dieksplorasi. Sebelum membuat komposisi dicari dulu kemungkinan bunyi yang bisa terjadi. Sitar pun bisa dieksplorasi, kunci disetel bisa menghasilkan bermacam laras....salendro, pelog, madenda, bahkan laras yang digunakan oleh kecapi Cina, laras dalam gambang kromong, dan beberapa komposisi sitar dari Jawa Tengah. Luar biasaaaaa....
Malam makin larut pagi menjelah Subuh, kami pun menodong Kang Dedy memainkan satu komposisi yang kami nobatkan sebagi salah satu komposisi edan. Waktu itu kang Dedy mengambil sebuah lagu tradisional Lalayang Salaka Domas yang ia interpretasikan dengan gayanya. Entah apa yang bisa saya katakan waktu mendengar komposisi itu. Imajinasi saya tak terbebaskan, terkungkung dengan putaran nada yang bervariasi. Musik macam apa ini? Luar Biasaaa....
Saya hanya memikirkan, sepiawai ini permainan kecapinya membutuhkan waktu berapa lama untuk menguasainya? Saya berusaha mencari kekurangan dan kelemahannya, tetap belum saya temukan. Saya tonton rekaman videonya pun tetap tidak menemukan kelamahannya. Luar Biasaaaa....
Resital pun diakhiri dengan berbagai bentuk iringan sitar yang mengiringi lagu-lagu tradisional seperti Es Lilin, Jangkrik Genggong, si Jali-Jali. Saya sangat menyukai komposisi Es Lilin yang juga dinyanyikan oleh Kang Didi. Entah komposisi macam mana yang bisa sangat ramah di telinga saya. Kecapi yang dipetik kang Dedy, dan suara Kang Didi rasanya tak boleh dipisahkan lagi. Biarkan mereka menyatu pagi itu. Tarik menarik kedua kuasa, tradisional dan kontemporer sepertinya menambah kekayaan ragam budaya Sunda masa kini. Entah apakah jenis ini bisa disebut budaya Sunda? Masih adakah kontroversi antara mana yang asli tradisional dan mana yang liar? Bagaimana keduanya kelak dapat berjalan beriringan? Apakah keduanya dapat saling mengisi sesuai dengan kebutuhan masa kini? Apakah budaya lokal bisa bersaing dengan budaya global? Dapatkan yang lokal ini terus hidup dalam keglobalan? Apakah justru bisa bersatu sehingga dapat disebut glokalisasi? Hhh.....pentanyaan lagi....pertanyaan lagi....saat ini mungkin kami hanya bisa bertanya...sambil terus mencari jawabnya. Kami yakin, jawabnya ada di depan mata, hanya saja belum terlihat. Suatu saat kami yakin akan muncul jawaban jujur yang sejujurnya, asli yang seaslinya seperti kata Pak Agus Aris Munandar yang berlaiu kutip dari naskah Sunda kuno, Sirnaraga
4.30 pagi. Gelap masih yang tergelap. Dingin pun masih yang terdingin. Seusai Subuh, kami semua memilih nangkub di kamar sambil bersarung. Kami si geulis-geulis sempat diskusi, seharian ini kami banyak belajar. Sedikit tahu tentang seorang pantuner gaek si Abah Ucup, sedikit tahu tentang si siteredan, sedikit tahu tentang pantuner gunung kumbang, sedikit tahu tentang sejarah Sunda, sedikit tahu cerita bangunan istana Pajajaran, sedikit tahu tentang kisah Dewi Asri. Luar Biasaaaaa....
Sedikit tahu tapi membuat mata kami terbuka. Begitu kayanya budaya Sunda. Terbayang begitu banyaknya budaya di Indonesia...kami ada dimana? Kami milik siapa?
Abah Ucup, Kang Didi, Kang Dedy memiliki sinarnya masing-masing. Mutiara-mutiara tatar Sunda yang punya rohnya sendiri-sendiri. Perjalanan kami, ROAD TO HOLY LAND[1] akan mencoba mencari mutiara-mutiara yang masih menyembunyikan sinarannya. ROAD TO HOLY LAND akan mencari akarnya....ROAD TO THE ROOT...sepertinya akan menjadi perjalanan panjang kami-kami generasi muda kosmopolitan yang mencari akarnya....
agni malagina
[1] ROAD TO HOLY LAND ini kami gunakan hanya untuk keren-kerenan pada awalnya. Namun akhirnya ada motif untuk lebih serius menggunakan terminologi ini. Ada alasan kuat mengapa kami menggunakan kalimat Road to Holy Land. Kami mangacu pada keterangan pada tulisan Dr. Agus Aris Munandar yang berisi tentang penelusurannya terhadap situs Sindangbarang dan sekitarnya. Dalam beberapa naskah Sunda kuno disebutkan bahwa Sindangbarang disebut Lembur Luhur yang mengacu sebagai tempat suci di kaki Gunung Salak. Dr. Agus Aris Munandar juga menyebutkan dalam tulisannya, bahwa dari banyaknya punden berundak diduga pernah terjadi aktivitas keagamaan di Sindangbarang sekitar abad 14-15 an. Penemuan tersebut juga diperkuat dengan penemuan beberapa menhir, batu dakon, batu beryantra dan batu tapak kaki (tapak kaki manusia). Road to Holy Land ini mungkin alih-alih akan kami sebut dengan ‘perjalanan ke tanah suci’. Tanah suci di sini bukan mengacu pada tanah suci dalam agama Islam (Arab), atau Land of Religions di Yerusalem. Perjalanan ke tanah suci ini hanya digunakan oleh kami dalam rangka mengapresiasi dan bentuk kekaguman kami pada Sindangbarang dalam konteksnya abad 14-15an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar