Jumat, 28 November 2008

Batu Kuya: kisah tentang batu

Batu Kuya: sepenggal kisah tentang riwayat batu
agni malagina

Batu pun laku jual!
Itulah bukti kekayaan Indonesia. Bahkan sebongkah batu unik pun laku jual hingga menembus angka 9 digit. Kita bisa menengok kasus Batu Kuya di salah satu titik daerah Kabupaten Bogor, yaitu Kampung Cisusuh, Desa Cileksa Kecamatan Sukajaya. Tak jauh jaraknya dari tempat yang diduga sebagai pusat ritual keagamaan jaman kerajaan Sunda Pajajaran sekitar abad 15 – 16 M. Atau mungkin lebih tua lagi, Sindangbarang, kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Batu Kuya ramai dibicarakan pada bulan September, beberapa hari sebelum hari raya Idul Fitri 2008. Saat itu beritanya muncul di beberapa harian terkemuka ibu kota. Batu Kuya, batu besar unik berbentuk kura-kura sempat dibawa keluar sarangnya oleh sekelompok orang karena batu tersebut akan dijual ke Korea dengan nilai sangat tinggi. Tak tanggung-tanggung, angka 40 milyar akan menjadi bagian dari transaksi si Kuya. Sejak pemberitaan itu, Batu Kuya mendapat perhatian dari Pemda kabupaten Bogor yang diwakili oleh dinas pariwisatanya. Polemik pun terjadi. Sejumlah peneliti, arkeolog pun diminta untuk meneliti batu Kuya dari sudut pandang arkeologi. Tak lama, seorang arkeolog gaek dari FIB UI, Mang Hasan, memberikan pernyataan bahwa batu Kuya adalah batu alam biasa walaupun dia berada dalam wilayah bentangan situs-situs bersejarah. Pernyataan inipun sempat mengejutkan pihak dinas pariwisata. Namun apa daya, pakar sudah berbicara.

Mengapa batu alam si Kuya sampai ditaksir berharga milyaran?

Pastilah batu tersebut memiliki ‘sesuatu’, entah nilai arkeologi, nilai sejarah, nilai budaya, nilai spiritual, nilai estetika dan nilai-nilai lainnya. Menyitir beberapa pendapat warga setempat, batu Kuya merupakan perlambang dan memiliki nilai mistis bagi warga di sekitarnya. Bahkan ada yang memberi tafsiran bahwa diangkatnya batu Kuya dari daerah tersebut merupakan pertanda bahwa pemimpin bermental Kuya telah dihilangkan. Naaaah…ini yang perlu dikritisi. Mental Kuya? Seperti apakah mental Kuya? Mental yang buruk? Hal ini menggelitik hati saya. Perbincangan saya dengan bapak Agus Arismunandar mengenai batu Kuya memiliki tafsiran lain. Kuya atau kura-kura dalam kebudayaan peradaban masa lalu - masa Hindu, Cina, Bali dan beberapa tempat lainnya – merupakan simbol kemakmuran, kesejahteraan, panjang umur. Bagaimana dengan kuya dalam kebudayaan Sunda? Pak Agus menceritakan bahwa di daerah Cirebon selatan ada sebuah kolam berisi kura-kura, disebut Kolam Belawa. Anda penasaran dengan kolam ini? Silakan mampir ke FIB UI dan bercakap-cakap dengan Pak Agus Arismunandar. Beliau juga menyebutkan bahwa konsep kura-kura di Sunda ini berhubungan dengan masa Tarumanegara ketika Purnawarman memimpin. Purnawarman disebut-sebut sebagai titisan Dewa Wisnu, dewa yang kadang disimbolkan dengan kura-kura, perlambang kesejahteraan dan kesuburan.

Bentuk menyerupai kura-kura si Kuya ini kemungkinan adalah bentuk alami. Saat inilah, batu alami mempunya nilai unik bagi beberapa negara yang memiliki kebudayaan seni batu. Korea, salah satu negara yang memulai seni batu sejak 2.000 tahun yang lalu. Seni batu ini datang dari Cina sejak jaman Dinasti Tang (618 – 907 SM). Di Jepang terkenal dengan suiseki. Tradisi seni batu ini erat kaitannya dengan tradisi Konfusian dan Daois. Bentuk yang sering disuguhkah oleh seni batu ini adalah bentuk-bentuk batu alami yang unik, memiliki bentuk pemandangan gunung, bentuk abstrak, bentuk figure Budha, bentuk hewan-hewan mitologi, bentuk stalagnit dan stalagtit, bentuk yang dianggap magis dan bentuk menyerupai flora. Batu-batu alam ini sering diletakkan di taman sebagai unsur penting dalam landskap taman di Cina, Korea dan Jepang. Juga sebagai koleksi yang diletakkan di dalam ruang sebagai pelengkap interior. Karena batu alami dan seni batu merupakan bagian dari tradisi Konfusian dan Daois, tak heran, semakin magis dan alami bentuk batu tersebut, semakin mahal harganya. Karena batu tersebut tidak hanya berhubungan dengan gengsi si pemilik tapi juga berhubungan dengan ketulusan hubungan si pemilik dengan ‘Langit’, filsafat, dan leluhurnya.

Tak heran, batu Kuya dihargai sampai bermilyar rupiah. Betapa Indonesia merupakan negara yang sangat kaya raya, bahkan batu pun laku jual! Saat seperti inilah…saya bengga menjadi warga Indonesia. Tapi tidak di saat saya melihat betapa ‘aneh’nya sistem dan politik negeri yang kaya-raya ini. Ketika batu Kuya menjadi bahan perdebatan di antara anggota dewan di Bogor, jelas tampak ada kalangan yang bersi keras batu tersebut dijual, namun ada yang tetap berusaha mempertahankan batu itu tetap ‘in situ’, tetap berada di tempat asalnya. Batu Kuya seakan hanya menjadi kambing hitam ajang kesempatan para pemimpin daerah untuk memperjuangkan pelbagai kepentingan golongannya. Sangat disayangkan.


Salam,
Agni Malagina
tulisan ini dibuat di Sindangbarang 9 Oktober 2009
terima kasih Pak Agus, Ama Maki atas cerita-ceritanya yang menarik

Tidak ada komentar: